Valentine dan Generasi “Korting”
Valentine dan Generasi “Korting”
Vivi Al-Hinduan
Disadari atau tidak, budaya memperingati Valentine’s Day mulai merasuk ke Indonesia dan “hampir”
menjadi tradisi tahunan bagi setiap pasangan, khususnya anak muda. Kita bisa
lihat setiap menjelang tanggal 14 Februari pernak-pernik valentine mulai
bertebaran dimana-mana. Cokelat, permen dan segala sesuatu pernak-pernik
berwarna merah muda menghiasi pusat perbelanjaan di kota-kota besar. Namun
banyak orang yang merayakan hari valentine tanpa tahu asal muasal hari kasih
sayang yang sudah mengglobal ini.
Sejarah Hari Valentine
Sejarah Hari Valentine sendiri masih menjadi misteri sampai sekarang ini. Versi yang paling populer adalah versi pada masa pemerintahan raja Claudius II pada abad ketiga di Roma, Italia. Valentine merupakan nama seorang imam Khatolik yang melayani umat pada masa pemerintahan raja Claudius II. Valentine yang diberi gelar Santo (orang suci-red) masyarakat Kristen di Roma waktu itu menentang kebijakan raja Claudius II yang melarang para prajuritnya untuk menikah. Raja Claudius II beranggapan bahwa prajurit-prajurit yang tidak menikah akan memiliki agresifitas dan potensial yang tinggi saat berperang. Mereka tidak akan terbebani oleh istri, anak maupun kekasih. Santo Valentine tidak setuju dengan kebijakan Raja Claudius II ini. Secara diam-diam dia menikahkan prajurit-prajurit dengan masing-masing kekasihnya. Kegiatan penentangan Santo Valentine ini mendapatkan dukungan dari sahabatnya Santo Marius. Berdua mereka menentang kebijakan Raja Claudius II. Raja Claudius II berang dan kemudian memerintahkan untuk menangkap Santo Valentine dan Santo Marius. Saking berangnya, hukuman yang akan diberikan oleh Raja Claudius II kepada mereka berdua juga tidak main-main, yaitu hukuman mati.
Sebelum dieksekusi mati, Santo Valentine dan Santo Marius dipenjarakan terlebih dahulu. Selama dalam kurungan, Santo valentine bertemu dengan seorang gadis yang merupakan anak seorang sipir penjara. Gadis ini dengan setia menjenguk Santo Valentine dalam penjara setiap harinya. Sebelum menemui ajal di tiang eksekusi, Santo Valentine sempat menuliskan sebuah pesan ungkapan hatinya kepada gadis tersebut yang isinya “From Your Valentine”. Kata-kata ini kemudian menjadi trend hingga sekarang. Santo Valentine dan Santo Marius wafat tanggal 14 Februari 269 Masehi.
Orang-orang yang mengetahui kisahnya kemudian merayakan hari kematian Santo Valentine dan Santo Marius sebagai bentuk ekspresi cinta kasih mereka. Santo Valentine dan Santo Marius yang menemui ajal karena menikahkan para prajurit dengan kekasihnya pada masa pemerintahan raja Claudius II demi menyatukan cinta mereka dengan menentang sebuah kebijakan. Paus Galasius, pemimpin tertinggi gereja Katolik Roma kemudian menetapkan tanggal 14 Februari sebagai hari valentine atau hari kasih sayang pada tahun 496 Masehi.
Jika melihat dari sejarah Valentine itu sendiri yang
bernuansa religius, mestinya Valentine dapat disamakan dengan hari-hari suci
agama Nasrani lainnya seperti Natal dan Paskah, yang dirayakan penuh hidmat
dengan Misa di gereja, atau minimal dengan berziarah ke makam Santo Valentinus.
Namun yang terjadi saat ini-setidaknya
menurut pengamatan penulis-telah terjadi penyimpangan makna terhadap peringatan
Valentine. Para remaja dari berbagai bangsa dan lintas agama bisa ‘’seenaknya’’
merayakannya berduaan dengan Sang Kekasih.
Lebih lucu lagi, pada hari itu para muda-mudi
berlomba’’mewarnai’’ dunia dengan segala hal berwarna merah muda ( pink) ,
mulai dari baju hingga boneka Teddy Bear dan boneka berbentuk hati perlambang
cinta yang semu. Pernak-pernik berbau Valentine pun laris manis sebagai
perantara pengungkapan rasa cinta di hari “kasih sayang” itu, mulai dari kartu
ucapan hingga cokelat. Para remaja “abg” berusia 12-18 tahun banyak yang sedih
jika dihari itu belum juga menemukan pasangan hingga tak dapat melewatkan malam
paling romantis sedunia itu bersama sang kekasih. Gejala apa ini?
Pada
Sabtu, 14 Februari 2009, Bapak Anwar Azazi menulis di Kolom Opini Pontianak
Post sebagai berikut :
Merayakan
Hari Valentine bagi seseorang yang memang berhak merayakannya sebagai bagian
dari perayaan religius bagi agama yang diyakininya tentu sah-sah saja. Yang
menarik, Valentine’s Day menjelma menjadi produk global yang bisa dikonsumsi
oleh siapa saja. Di negara berkembang, produk global semacam ini bahkan di
akselerasi melalui efek meniru ( demonstration
effect ) bagi sebagian besar masyarakatnya..
Tampaknya
efek meniru ini telah mendarah daging, terutama pada generasi muda kita.
Sayangnya yang mereka tiru bukan budaya positif dari Barat seperti kerja keras,
sikap kritis, disiplin, menghargai perbedaan pendapat, mandiri dan sebagainya,
tapi justru budaya-budaya yang dapat melemahkan bahkan menghilangkan identitas
kita sebagai sebuah bangsa. Seolah tuntutan lingkungan untuk menjadi anak gaul,
mereka ramai-ramai meniru budaya Barat tanpa peduli sebab dan akibat dari apa
yang ditirunya. Selain Valentine, budaya pacaran dan tunangan juga tanpa sadar
telah jadi produk global.
Syukurlah,
ditengah maraknya fenomenal perayaan Valentine, masih ada remaja yang berani
terang-terangan menolak merayakan hari “kasih sayang” semu itu. Sejumlah siswi
SMPN 1 Pamulang di Tangerang Selatan mengecam hari Valentine yang dirayakan
sejumlah remaja secara negatif. Dalam gambar tampak dua remaja putri
masing-masing memegang spanduk bertuliskan Kasih Sayang YES, Valentine NO ! dan
Tolak Budaya Barat ( Pontianak Post, Sabtu 14 Februari 2009 ).
Ini
pertanda remaja kita kian sadar bahwa tidak semua budaya Barat itu pantas
ditiru. Tentu kita tidak ingin remaja kita menjadi generasi-mengutip sebuah
iklan di televisi- Korting, Korban Tuntutan, Ing.
*)
Penulis tinggal di Pontianak
Menaruh
minat pada Sejarah, Agama, dan Budaya
No comments:
Post a Comment