Mendu Malikian, Seni Pertunjukan Tradisional Kalbar
Seni
pertunjukan tradisional Mendu berasal dari Desa Malikian, Kecamatan Mempawah
Hilir, Kabupaten Mempawah (dulu bernama Kab. Pontianak) Kalimantan Barat. Kata
Mendu merujuk pada nama dewa Mendu. Pada tahun 1851, tiga pemuda dari Kampung Malikian, Desa Semudun, Negeri Mempawah,
bernama Ahmad Antu, Ahmad, dan Ali Kapot (Nek Ketol), merantau ke Brunai
Darussalam. Di sana, mereka menonton kesenian wayang Cina (wayang Potehi) yang
menampilkan kisah Dewa Mendu, putra Dewa Semadun dari kayangan. Tahun 1871,
mereka pulang ke Malikian dengan jalan darat melalui Sambas. Di kampung halaman
mereka itu, mereka mengabdikan diri dengan keahlian yang dipelajari dari
Brunai. Ahmad Antu mengajar pencak silat, Ahmad memberantas buta huruf, dan Ali
Kapot mengajar mengaji. Di waktu luang, mereka mengajar murid-muridnya berkesenian
Mendu yang mereka dapat dari Brunai.
foto: dok.pribadi |
Seni
Mendu sudah ada di Malikian sejak 1935. Mendu popular di Kepulauan Riau dan
Kalimantan Barat pada 1871 Masehi. Namun Mendu Kep. Riau dan Kalbar berbeda.
Perbedaan itu terletak pada setting panggung, syair/ ladon pembuka, dan gerakan
silat. Seni Mendu merupakan perpaduan antara kesenian Cina dan syair Melayu.
kuatnya kebudayaan Cina/ Tionghoa ini terdapat pada penggunaan dawat Cina
bertuliskan huruf Mandarin (foto terlampir). Dari Pulau Penang, Malaysia, seni
pertunjukan (teater) tradisional Mendu berkembang ke selatan (Indonesia) yaitu
Sumatera bagian timur dan Kepulauan Riau. Di bagian timur, seni Mendu berkembang
hingga ke Brunai dan Kalimantan Barat.
Seni
Mendu Malikian merupakan perpaduan unsur syair, lagu, musik, tari, dialog antar
tokoh, dan banyolan/ humor yang dibawakan dalam bahasa Melayu. Cerita yang
ditampilkan biasanya cerita tentang sejarah, dongeng, legenda, cerita lama, dan
hikayat 1001 malam.
MASA JAYA MENDU
Seni
pertunjukan tradisional Mendu pernah mengalami masa pasang surut. Pada jaman
kerajaan, seni Mendu tersebar dan berkembang hingga ke Pontianak, Sambas,
Sanggau, Ketapang, Sungai Duri, Sekurak, Teluk Keramat dan Sukadana. Di jaman
pendudukan Jepang, seni Mendu jarang dipentaskan dan nyaris punah.
foto: dok. pribadi |
Namun,
Mendu bangkit kembali pada 1978-1979 setelah adanya usaha menghidupkan kembali kesenian
Mendu, melalui diskusi dengan tokoh-tokoh tua kesenian Mendu di Mempawah. Pada
Maret 1980 kesenian Mendu mulai popular kembali dan sering dipentaskan di
Pontianak serta di beberapa kabupaten di Kalbar. Kelompok seni teater Mendu
juga sering diutus oleh Kanwil Depdikbud Kalbar mengikuti festival tingkat
nasional di TIM dan TMII Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta, Bandung, Semarang,
Nganjuk dan Banjarmasin. Seni Mendu juga sering tampil di keraton Mempawah,
terutama setiap tanggal 17 Agustus. Pemda
Kalbar juga pernah mengangkat seni pertunjukan Mendu di TVRI Nasional melalui
acara Cakra Budaya Nusantara dengan durasi 60 menit dari tahun 1980-1984.
Cerita yang ditampilkan berjudul Menghadang maut di Simpang Tiga, Ilham Maulana
Permata Dewi, Panglima Upari, dan Cembul Hikmat. Pada saat Sataruddin Ramli menjabat
sebagai Kadis Pariwisata Kab. Pontianak, kelompok seni Mendu juga mendapat
bantuan sebesar Rp 3 juta untuk kostum panggung para pemain.
NASIB MENDU KINI
Kesenian
Mendu terakhir kali tampil pada 2005 silam di Taman Budaya Pontianak. Kini,
senandung Mendu menjadi sendu. Saat ini, usia rata-rata semua pemain Mendu
50-85 tahun. Kurangnya perhatian pemerintah setempat ditambah minimnya minat
generasi muda Malikian untuk meneruskan seni pertunjukan asli Desa Malikian
ini, membuat Mendu terancam punah. Seni Mendu yang belum dipatenkan ini juga
terancam diakui oleh Malaysia.
GEOGRAFIS
Desa
Malikian berjarak 12 km dari pusat kota
Mempawah, dan 78 km dari Kota Pontianak. Dapat ditempuh lewat jalur darat
dengan lama perjalanan sekitar 2 jam. Desa Malikian berbatasan dengan:
-
Sebelah Barat : Laut Natuna
-
Sebelah Timur : Desa Sekabuk
-
Sebelah Utara : Desa Semudun
-
Sebelah Selatan : Desa Sengkubang
foto: dok.pribadi |
No comments:
Post a Comment