Belajar Membuat POV ala Ilana Tan
EntrepreneurKreatif.Com-Pernah
baca novel karya Ilana Tan? Mungkin sebagian SobatPreneur sudah pernah baca
novelnya. Ilana Tan sudah menulis 10 buah novel, 4 di antaranya best-seller. Konon kabarnya, Ilana Tan yang sangat identik dengan nama perempuan
itu adalah nama pena (baca: samaran) dari seorang penulis lelaki (Tere Liye?) Entahlah.
Hanya si penulis, Tuhan, dan tentu saja tim penerbit yang tau. Oke, next.
Mungkin
yang dimaksud dengan novel filmis itu, selain tentu saja penggambaran setting/
lokasi cerita yang sangat kuat dan dapat divisualisasikan, juga teknik
penceritaan dan point of view (POV) alias sudut pandang antar tokoh yang
berpindah dengan sangat cepat, persis seperti kita sedang menonton sebuah film
atau sinetron. Karena itulah, salah satu kekurangan dari POV orang pertama
tunggal atau ‘aku’ susah untuk berganti sudut pandang dengan cepat.
Saya
membaca tetralogi best-seller Ilana Tan yang sangat terkenal itu (Winter in Tokyo, Autumn
in Paris, Spring in London, Summer in Seoul) dan juga Sunshine Becomes You yang
setting-nya di New York. Apa yang istimewa dari novelnya Ms. Tan ini? bisa
dibilang tidak ada. Setting-nya tempelan semua. Silahkan baca tulisan saya
tentang setting tempelan. Ceritanya datar, tokoh utamanya biasanya perempuan
dan mempunyai darah campuran Indonesia dari ibu mereka. Ending mudah ditebak,
konflik teralu umum. Tapi, ada satu ciri khas yang sangat menonjol dari semua
novel karya Ilana yang sudah saya baca, yaitu pergantian POV nya yang sangat
cepat, sehingga pembaca seolah sedang menonton sebuah film. Dan Ilana tidak pernah membuat POV ‘aku’,
selalu dengan POV ‘dia’ sehingga POV bisa berpindah dengan cepat.
Saya
sering membaca cerita dengan POV orang ketiga atau ‘dia’, di mana keseluruhan
isi cerita hanya berpusat dari sudut pandang satu orang saja (biasanya tokoh
utama) yang menceritakan semua tokoh lain berdasarkan POV si tokoh utama. Contohnya
begini:
Ratih tiba-tiba terkenang akan sosok
Ibu. Baginya, Ibu adalah seorang wanita yang tegar, yang setelah berpisah
dengan Ayah karena tidak tahan lagi dengan perlakuan Ayah selama ini kepada
mereka, Ibu harus membesarkan Ratih dan kedua adiknya seorang diri. Setiap hari,
jam 4 subuh Ibu sudah bangun dan memasak nasi kuning untuk berjualan. Kadang Ratih
dan Dina, juga turut membantu Ibu. Adi, adik bungsunya, kerap membawa nasi
kuning untuk dijual ke sekolah. Begitulah mereka menjalani hidup selama belasan
tahun sejak orang tua mereka berpisah.
Cerita
di atas memakai sudut pandang si tokoh utama hingga cerita berakhir. Pembaca hanya
tau karakter lain dalam cerita hanya dari sudut pandang si tokoh utama saja
yang menceritakan keseluruhan sifat tokoh lainnya. Tentu SobatPreneur tidak
asing dengan cerita seperti itu, kan? Jika cerita tadi berupa cerita pendek
(cerpen) yang hanya 6-8 halaman saja mungkin tidak masalah.
Tapi
akan sangat membosankan jika kita membaca sebuah novel 100 halaman dengan
teknik penceritaan seperti itu. Kelebihan Ilana, ia mampu membuat cerita dari
POV semua tokoh yang terlibat. Masing-masing tokoh menceritakan hal yang sama,
dari sudut pandang berbeda. Contoh:
Keiko berlari ke dalam lift. Ia tak sabar
untuk menuju lantai 5. Di lift sudah ada delapan orang yang juga sama sibuknya
dan tak sabar untuk segera tiba di kantor mereka masing-masing. Saat pintu lift
hendak ditutup, tiba-tiba seorang pria menerobos masuk ke dalam lift. Pintu lift
tertutup. Pria itu menekan tombol 8. Keiko mencium aroma parfum yang lembut
dari tubuh sosok jangkung di hadapannya. Ketika tiba di kantornya yang berada
di lantai 5, Keiko sempat menoleh ke pria itu. Hidung mancung, rambut lebat,
dan mata sipit si pria balas menatapnya. Bibirnya tersenyum menatap Keiko. Sayang
Keiko tidak sempat menanyakan namanya. Dan pintu lift pun tertutup.
Setelah
itu, cerita langsung pindah dari POV si pria. Misalnya seperti ini:
Haruko
terlambat bangun. Ia diserang mimpi buruk lagi malam ini. sudah seminggu
terakhir Haruko mengalami mimpi yang sama. Bergegas Haruko ke kamar mandi. Hampir
saja pintu lift tertutup, namun Haruko berhasil menahannya dan bergegas masuk. Matanya
sempat melihat sosok wanita cantik di sudut lift, yang berhimpitan dengan
orang-orang yang berdesakan di dalam lift. Wanita itu berambut panjang dan hitam,
berwajah Asia, dengan mata hitam dan bulat.
Namun
sayang, belum sempat Haruko berkenalan dengannya, wanita itu turun lebih dulu. Rupanya
kantornya berada di lantai 5 gedung itu. Sebelum pintu lift tertutup, mereka
sempat berpandangan. Haruko tersenyum padanya. Haruko sangat berharap, ia dapat
bertemu lagi dengan wanita itu di lain waktu.
Di
situ terlihat, cerita yang sama, dikisahkan dari dua sudut pandang berbeda. Memang,
kita harus sering mengulang cerita yang sama sampai dua kali untuk mendapat dua
POV itu, tapi justru di situlah serunya. Cerita menjadi ‘hidup’ dan tidak
monoton. Pembaca seperti tengah menonton adegan sebuah film karena perpindahan
POV dari satu tokoh ke tokoh lainnya berlangsung sangat cepat.
Saya
pernah mencoba teknik serupa sewaktu menulis cerber (cerita bersambung) yang saya
ikutkan kompetisi menulis cerber di sebuah majalah wanita nasional. Pengumuman pemenangnya
April 2017. Memang syaratnya selain POV harus ‘dia’ bukan ‘aku’, tokoh yang
kita hadirkan juga lebih dari 2 orang. Dalam cerber itu, saya membuat tokoh
utama dua orang wanita kakak beradik, ditambah tokoh pembantu sebanyak 4 orang;
suami si kakak, suami si adik, ibu mereka, dan ayah mereka. Ditambah beberapa
tokoh selingan untuk dialog. Banyak, ya?
Ketika
si tokoh A bercerita tentang ibu mereka, sebelum berganti POV, di paragraf terakhir,
harus kita jelaskan secara singkat tentang sosok si ibu agar pembaca tidak
bingung ketika tiba-tiba berganti POV. Kita ambil contoh cerita tentang Ratih
di atas.
Ratih tiba-tiba terkenang akan sosok
Ibu. Baginya, Ibu adalah seorang wanita yang tegar, yang setelah berpisah
dengan Ayah karena tidak tahan lagi dengan perlakuan Ayah selama ini kepada
mereka, Ibu harus membesarkan Ratih dan kedua adiknya seorang diri (…..)
Telepon dari Rian, adiknya, yang mengabarkan
bahwa Ibu sakit, membuat Ratih cemas. Rian mengatakan, sebelum dilarikan ke
rumah sakit tadi pagi, Ibu mengalami demam sejak dua hari belakangan. Ibu sering
mengigau dan menyebut nama Ratih. Sejak tinggal di Jakarta setahun terakhir,
Ratih belum pernah pulang kampung. Ia segera mengemas pakaian dan bergegas
menuju stasiun kereta api untuk pulang ke Bandung, menjenguk Ibu. Sepanjang perjalanan,
wajah Ariana Suharja, ibunya, selalu terbayang.
***
Ariana Suharja terbaring lemah di
ranjang RS. Hasan Sadikin, Bandung. Rian dan Dina berada di samping Ariana. Mereka
tak sabar menanti kedatangan Ratih dari Jakarta. Ariana sangat rindu dengan putri
sulungnya itu. Selama ini, Ratih ikut membantu sekolah kedua adiknya dengan
rutin mengirim uang setiap bulan. Ariana menatap Dina, anaknya yang nomor dua. Akhir-akhir
ini, perilaku Dina seperti orang yang sedang bingung. Entah apa yang tengah
dipikirkan oleh Dina, Ariana tak bisa menerka. Dina memang anak yang sangat
tertutup, beda dengan kedua saudaranya.
Jika
cerita dilanjutkan, kita dapat mengganti dengan cepat POV dari sudut pandang
Dina, dan seterusnya. Jika mencontoh cerber yang saya buat, bagian ending-nya
saya biarkan menggantung. Si tokoh A bertemu dengan ayah mereka yang pernah
melakukan kesalahan besar padanya di masa lalu hingga menyebabkan tokoh A
trauma dan membenci ayahnya seumur hidup. Ketika si ayah meminta maaf, awalnya ending yang ingin saya buat adalah si
tokoh A memaafkan ayah mereka. Tapi, apakah dalam kehidupan nyata bisa segampang
itu memaafkan seseorang yang pernah menggoreskan luka teramat dalam kepada
kita? Karena kesannya terlalu ‘sinetron-minded’, akhirnya setelah adegan si
ayah meminta maaf, POV langsung saya ganti ke tokoh B yang merupakan adik
kandung tokoh A. Si B ini melihat adegan itu dari jauh. Ia hanya melihat mulut
si kakak seperti mengucapkan sesuatu kepada ayah mereka, tapi ia tidak dapat
menerka apakah si kakak memaafkan ayahnya atau tidak. Penasaran, kan?
No comments:
Post a Comment