PROLOG "DESEMBER TERAKHIR"
Desember
Terakhir
Vivi
Al-Hinduan
Sinopsis
Novel ini berkisah
tentang empat perempuan ( Maret, April, Mei, dan Juni). Empat sahabat yang baru
lulus dari SMAN 1 Kabupaten Mempawah, Kalbar, dan berjanji akan bertemu kembali
sepuluh tahun kemudian di tepi pantai Malikian, Mempawah, tempat terakhir kali
mereka bertemu dan berikrar, sebelum berpisah untuk melanjutkan hidup mereka.
Dan tepat di akhir Desember, sepuluh tahun kemudian, mereka kembali bertemu di
tepi pantai Malikian, dengan membawa kisah mereka masing-masing.
Di
Malikian, Aku Menunggu…
Pantai
Malikian, akhir Maret 2004
Subuh
di Malikian bagaikan seorang janda yang ditinggal selingkuh, biru dan cemburu. Angin
laut yang dingin bertiup kencang. Perahu-perahu nelayan mulai menjauhi bibir
pantai. Beberapa perahu terlihat justru mendekati pantai, membawa para nelayan pulang
melaut, membawa ikan hasil tangkapan mereka. Di ujung langit, matahari masih
malu-malu hendak muncul. Cahayanya samar terlihat. Kerang-kerang kecil dan
cacing mulai menggeliat di atas pasir, seolah baru terjaga dari tidur panjang.
Dan di atas batu besar dan tajam itu, seorang gadis kurus berjilbab ungu muda
lusuh asyik menggerakkan jari-jarinya di atas ponsel, sembari sesekali melihat
ke arah laut.
“Juni!”
Teriakan
itu mengejutkannya. Tangannya spontan berhenti mengetik pesan di ponsel Nokia
3315 hijau abu-abu miliknya.
“Mana
Mei? Belum datang, ya?” ujar perempuan berbadan bongsor sambil berlari kecil ke
arah Juni. Kaos kuning cerahnya berkilauan diterpa cahaya lampu. Rambut pendek
lurusnya terlihat basah dan segar.
“Belum,
Ril. Tadi Juni sedang SMS dia waktu kamu teriak. Suaramu itu loh, ngalahin
TOA.”
“Haha!
Ya udah, lanjut deh SMS si Mei, suruh cepat ke sini.”
“Oke.
Maret mana, Ril?”
“Lha?
Mana aku tahu? Kan kamu yang teman sebangkunya.”
“Kemaren
sudah Juni kabari. Tapi nggak tau juga.”
“Hey,
tau nggak, Jun? Tadi aku ngebut ke sini. Pake motor gede Papaku yang kupacu
sampai 80 kilometer per jam loh. Wuih, seru abis! Mumpung jalanan sepi.”
“Astagfirullah..hati-hati, Ril! April kan
baru belajar naik motor, nanti…”
“Hey, life is an adventure, girl! Don’t be
afraid to try something new.”
“Ya
ampun, April.”
Juni
membetulkan jilbabnya yang tertiup angin.
“Sudah
terkirim SMS nya, Jun ?”
Juni
mengangguk.
“Trus
dia bilang apa? Jangan-jangan masih tidur kali.”
“Dia
on the way ke sini. Bawa blackforest
sama teh kotak empat buah.”
“Asiik..”
“April
nanti mo lanjut ke mana?”
“Aku
pengennya sih ke IKJ, jurusan Sinematografi. Papa udah setuju. Kebetulan rumah
tanteku juga di dekat IKJ. Kamu?”
“Juni
sih ke Untan aja. Masuk FKIP. Milih Bahasa Inggris sebagai pilihan pertama.
Pilihan kedua Bahasa Indonesia.”
“Wuih!
Mantap nih, Bu Guru.”
“Iya,
doakan ya semoga lulus. Biar bisa melanjutkan profesi ayah dan ibu Juni.”
“Ayahmu
guru bahasa Inggris ya?”
“Iya,
Ril. Ngajar di SMPN 1. Kalau Ibu ngajar Bahasa Indonesia di SMPN 3.”
“Hei,
Itu, Mei. Meeii! Sini!”
Seorang
perempuan muda berdandan menor berjalan pelan menuju bibir pantai. Ia memakai
jeans ketat, kaos berwarna merah yang ngepas di badan, dan high heel setinggi delapan senti meter. Rambut ikalnya di cat
kuning kemerahan. Kedua tangannya menenteng dua kantong plastik hitam.
“Hello, gals. Sori ya, eike telat.”
“Gak
papa, Mei. Blackforestnya mana? Ada bawa, kan?” tanya April.
”Ada,
April. Tenang aja. Spesial buat April potongannya yang paling besar.”
“Cihuy!”
“Hadeuh!
Makan mulu yang dipikirkan.” Mei menyerahkan kantong plastik itu ke April.
“Mei
nanti mau lanjut kuliah di mana? Untan ya?”
“Iya,
Jun. itu juga kalau lulus SPMB.”
“Ni
anak dari tadi nanyain soal kuliah mulu. Capek deh..” celoteh April.
“Hei,
Maret mana? Nggak bisa datang ya?” tanya Mei.
“Haduh,
ni anak. Susah! sering ngaret, nggak punya hape...”
“Ril,
Juni takut…”
“Takut
kenapa?”
“Jangan-jangan
Maret tidak diijinkan keluar rumah sama ayahnya. Juni kasihan melihatnya.”
“Galak
amat sih bapaknya? Heran.” kata April sambil mengunyah blackforest.
“Memangnya
jadi tentara harus galak ya? Nggak juga kali.” kata Mei.
“Mungkin
memang karakter ayahnya seperti itu.” kata Juni.
“Kasihan
ya, dia. Jangan-jangan dia nggak diijinkan kuliah di Pontianak.” ujar Mei.
“Kenapa
nggak masuk polisi aja sih? Atau jadi Kowad? Kan bapaknya punya banyak koneksi
di sana.”
“Aduh,
Ril. Bapaknya Maret tuh nggak sekaya papamu. Banyak duit. Tinggal nyogok
sana-sini.” ujar Mei.
“Eh,
kita bikin ikrar yuk.”, ajak Juni sambil memandang matahari yang hendak terbit
di ujung langit.
“Ikrar?
Maksud lo?”, tanya April.
“Kita
sama-sama bikin janji, sepuluh tahun lagi kita berempat akan kembali bertemu di
tepi Pantai Malikian ini. Apa pun yang terjadi.”
“Hah??
Yang bener aja, Jun, sepuluh tahun lagi aku sudah punya anak sepuluh kali.”
ujar Mei sambil tertawa genit.
“Iya,
dari tiga suami yang berbeda ya, Mei Mei? Nggak heran.” sahut April sambil
menelan potongan blackforest ketiganya.
“Hihihi..tau
aja.”
“Eh,
setuju nggak?” tanya Juni.
“Setuju!
Sepuluh tahun lagi pas sunset tanggal
31 Desember tahun 2014 kita berempat harus, wajib, kudu, mesti ketemu di sini,
sekalian tahun baruan di sini. Gimana, Ril?” tanya Mei.
“Hellooww..sepuluh
tahun lagi aku entah berada di belahan dunia mana. Trus cara kita komunikasi
pake apa? SMS? Telepon? Email? Friendster? Yahoo Messager? Jangan-jangan mereka
semua sudah pada almarhum nanti.”
“Iya,
ya? gimana, Jun?”
“Hmm..Insya
Allah kita masih kontak-kontakan terus. Pokoknya sepuluh tahun lagi, tepat sore
hari tanggal 31 Desember 2014, kita
berempat harus berada di pantai Malikian ini. Dan saling menunggu teman yang
lain. Kita lihat aja siapa yang masih ingat ikrar kita hari ini. Setuju?”
“Setuju!
Sekalian tukar kado, Jun.” usul Mei.
“Tukar
kado? Hmm..boleh. Tapi kado apa dulu nih? Kadonya bebas atau..”
“Pokoknya
yang mengingatkan kita akan tahun 2004 ini, Ril” ujar Mei, ”barang apa pun yang
sedang ngetrend sekarang. Misalnya kaset Greenday, Limp Bizkit..”
“DVD
Film Aviator, Closer..duh! aku suka mata birunya Jude Law.” ujar April.
“Atau novel Supernova: Akar.” ujar Juni.
“Yaelah..dasar
kutu buku!” gerutu April.
“Sepuluh
tahun lagi mungkin Juni sudah jadi guru bahasa Inggris atau bahasa Indonesia.
Entahlah. Menikah dengan seorang guru, dan membina keluarga kecil yang bahagia,
seperti keluarga Juni saat ini.”
“Hahaha..Juni,
Juni, hidupmu terlalu mudah ditebak, sayang.” ujar Mei, “nggak kreatif.”
“Sepuluh
tahun lagi aku bakalan jadi sutradara terkenal kelas Hollywood. Kalian pasti
akan bangga pernah berteman denganku. Tapi mohon maaf sebelumnya, aku mungkin
sudah lupa dengan kalian.” kata April sambil menelan blackforest kelimanya.
“Huuh,
sombong!” ujar Juni sambil tertawa.
“Gals, kalian pasti akan selalu ingat
aku. Karena sepuluh tahun lagi, aku pasti sudah jadi artis terkenal yang selalu
nongol di acara gosip selebritis di tivi. Dan aku akan ke sini bersama kru film
untuk syuting. Tapi tenang aja, aku ikhlas kok ngasih tanda tangan mahalku ini di
jidat kalian bertiga. Hahaha…” Mei tertawa cekikikan.
“Alah!
Paling sepuluh tahun lagi kamu jadi istri simpanan pejabat kelas kampung.
Gendut. Banyak anak. Ke mana-mana pake daster kumuh..” ujar April sambil
meneguk habis teh kotaknya.
“Enak
aja! Sepuluh tahun lagi kamu pasti tambah gembrot, jelek, item, lumus, nggak
kawin-kawin..”
“Aduh!
Kalian ini teman sebangku tapi kerjaannya ribut terus. Nggak pernah akur.” ujar
Juni.
“Dia
duluan tuh yang mulai. Sebel!” ujar Mei.
“Maret
kayaknya nggak bakalan datang nih. Susah!” ujar April.
“Sabar
ya, Ril..”
“Sampai
kapan kita akan nunggu dia terus? Sepuluh tahun lagi? Aku pulang aja ah. Mau
ngepak pakaian. Lusa aku berangkat ke Jakarta.” April duduk lemas di atas batu.
“OMG,
udah hampir jam enam! Eike mo ngantar Mami ke kantor. Nanti Mami ngomel.” ujar
Mei.
Rombongan
burung gereja berarak pelan melintasi awan. Beberapa nelayan berjalan di
hadapan mereka dengan membawa hasil tangkapannya untuk dijual di pasar. Bau
amis ikan basah hasil tangkapan nelayan melengkapi suasana pantai Malikian yang
mulai ramai. Para agen berteriak sambil menimbang hasil ikan tangkapan para
nelayan di pasar ikan tak jauh dari pantai.
“Hmm..jadi
penasaran. Kira-kira akan seperti apa ya kita sepuluh tahun mendatang? Apakah
semua mimpi kita akan terwujud? Apakah kita masih bisa seperti kita hari ini? ”
ujar Juni pelan sambil memandang rombongan perahu nelayan yang merapat ke bibir
pantai.
“Hmm..kawin sama siapa ya Maret sepuluh tahun
lagi?” tanya April.
No comments:
Post a Comment