Header Ads

Mengenal Setting dan Profesi Tempelan

EntrepreneurKreatif.Com-Dalam sebuah cerita fiksi, baik cerpen, cerber (novelet), maupun novel, peran sebuah latar tempat (setting) sebuah cerita serta profesi si tokoh utama memegang peranan penting. Kelihaian seorang penulis dalam menghubungkan setting dan profesi si tokoh utama ceritanya bahkan dapat menentukan jalan cerita itu sendiri. Namun sayangnya, masih banyak penulis-terutama pemula, yang sekedar menempelkan begitu saja setting dan profesi si tokoh ke dalam sebuah cerita.

Bagaimana cara mengetahui setting atau profesi dalam sebuah fiksi hanyalah sebuah tempelan atau bukan? Gampang sekali. Kita tinggal merubah setting dan profesi tersebut dengan setting dan profesi yang berbeda. Jika jalan cerita tidak berubah sama sekali, berarti itu cuma tempelan. Sebagai contoh sebuah profesi tempelan, sering kita jumpai di hampir semua novel karya Mira.W dan Marga. T misalnya. Nyaris semua tokoh utama dalam novel mereka adalah perempuan, biasanya mahasiswi kedokteran tingkat akhir atau seorang dokter muda. Jatuh cinta dengan sesama dokter, dan seterusnya. Note: selain menjadi penulis, Mira.W dan Marga T juga seorang dokter.

foto: bukalapak.com
Sangat disayangkan, profesi si tokoh dalam novel kedua pengarang tersebut hanya berupa tempelan belaka. Nggak percaya? Coba saja kita ganti dengan profesi lain seperti pengacara atau penulis, misalnya. Maka pergantian profesi tersebut sedikit pun tidak memengaruhi jalannya cerita. Ini sangat berbeda dengan novel karya Nova Riyanti Yusuf, seorang penulis yang juga berprofesi sebagai dokter spesialis kejiwaan/ psikiater. Nova menulis novel berjudul Mahadewa Mahadewi dan Imipramine yang keduanya bercerita tentang pasien rumah sakit jiwa, obat antidepresan (Imipramine), dokter jiwa, dan segala hal yang berhubungan dengan dunia psikiatri. Jika kita ganti profesi si tokoh utama menjadi dokter gigi misalnya, maka cerita akan berubah total. Itulah kekuatan sebuah profesi si tokoh utama sebuah cerita fiktif.

Setting tempelan lebih sering kita jumpai dibanding profesi tempelan. Banyak penulis pemula yang ingin terlihat ‘keren’, asal saja menempelkan setting luar negeri pada ceritanya. Padahal, jika setting itu kita ganti menjadi suasana pedesaan Indonesia, toh jalan cerita tidak berubah sedikit pun.


Ya, tentu sah-sah saja membuat cerita seperti itu. Masalahnya, jika kita menulis cerita tempelan seperti itu untuk diikutkan lomba/ sayembara kepenulisan, akibatnya fatal. Apalagi kalau dewan juri merupakan kumpulan penulis senior seperti pada Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta. Salah satu novel pememang IV Sayembara Novel DKJ 2014/2015 berjudul Puya ke Puya menunjukkan bahwa  setting yang kuat (bukan tempelan) menjadi tema utama cerita. Jika setting itu kita geser ke Minahasa atau Papua misalnya, cerita akan berubah total.

Beberapa cerita bersambung (cerber) pemenang sayembara Femina juga sangat kuat pada setting. Cerber pemenang I sayembara Cerber Femina 2015/ 2016, Susun Tarah berkisah tentang adat perkawinan Suku Melayu Semende di  kampung Bumi Betuah suku Semende, Kab. Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Kampung adat Melayu Semende itu warisan Raden Kasian, salah satu Putra Raja Sriwijaya yang selamat dari serbuan pasukan Raja Gorkha dari India ratusan tahun yang lalu, jauh sebelum orang-orang Belanda datang ke Indonesia.

Dalam cerita itu, si tokoh utama adalah seorang tunggu tubang, anak perempuan pertama Suku Semende yang mana diwajibkan seumur hidup tinggal di rumah dan mengurus orangtuanya. Ketika menikah dengan adat susun tarah khas suku itu, maka siapa pun suaminya wajib tinggal bersama istri seumur hidup. Perempuan tunggu tubang dilarang keras meninggalkan kampung mereka, Bahkan juga dilarang ikut suami pindah ke rumah mertua, meski satu kampung. Jika setting yang begitu kuat itu kita geser ke Palembang misalnya, dengan segala modernitas sebuah kota besar, otomatis adat tersebut sudah tidak berlaku lagi.

Menapak Jejak di Siberut adalah cerber karya Hembang Tambun, Pemenang III Sayembara Mengarang Cerber Femina 2014/2015. Cerber ini mendeskripsikan secara detail tentang Kabupaten Mentawai, Sumatera Barat, yang belum banyak diketahui orang (Jakarta). Tapi setting masih terasa seperti tempelan, yang jika cerita dipindah ke pedalaman Kalimantan misalnya, cerita tak banyak berubah. Mungkin karena itulah cerber itu hanya mampu meraih juara III.


Lalu, bagaimana solusi agar setting cerita kita  tidak menjadi tempelan? Saran saya, lebih baik tidak disebutkan setting-nya. Tulis saja di tempatku, di desa itu, di Kampus Ariaguna (nama fiktif), Negara Botoloco (nama fiktif), dan seterusnya. Selamat berkhayal!

No comments:

Powered by Blogger.