Tentang Biara di Ujung Surga dan Perempuan Ba’alawy yang Menggoda
EntrepreneurKreatif.com-Selain berfoto bareng sepasang Ondel-Ondel Betawi yang
‘ajaib’ itu, salah satu keinginan saya yang belum terwujud hingga kini adalah
menulis sebuah novel-yang rencananya akan-berjudul Biara di Ujung Surga. Sebuah novel tentang kisah hidup seorang
perempuan Tionghoa yang memutuskan menjadi seorang biksuni, julukan bagi biksu
perempuan dalam ajaran Budha. Seorang biksu dan biksuni harus berkomitmen untuk
hidup selibat lho, alias tidak boleh menikah seumur hidup. Wow! Sanggup nggak
kalian?
Cerita sedikit, beberapa tahun lalu
(saya lupa) waktu itu hari Senin dan libur (entah libur Maulid atau Isra’
Mi’raj gitu deh) saya iseng pergi ke Jalan Gajahmada, sebuah daerah Pecinan di
Pontianak. Tujuannya cuma satu, nyari DVD bajakan #parah. Sampai di sana, tokonya tutup. Saya baru
ingat kalo itu hari libur. Pas mau putar balik, saya melihat sebuah pemandangan
langka yang nggak bisa saya lupakan sampai sekarang. Seorang biksuni keluar
dari sebuah gang sempit di Gajahmada.
Ia memakai jubah kuning kecoklatan
khas para biksu Budha, dengan kepala yang ditutup dengan ikat kepala dari kain
yang diikat layaknya anak-anak MAPALA. Ia berjalan pelan-sepertinya menuju
kelenteng-dan saya tercengang beberapa detik di atas motor. Seumur hidup baru
itu pertama kali saya melihat langsung seorang biksuni, bukan lewat tivi. Ingin
sekali saya mengejar dan mewawancarainya, tapi waktu itu saya belum jadi
wartawan. Rasanya konyol sekali kalo kepoin orang yang nggak kita kenal tanpa
tujuan jelas.
Kejadian itu membuat saya sempat
bikin film dokumenter tentang kehidupan seorang biksuni di Kecamatan Pemangkat,
Kabupaten Sambas, Kalbar, yang berjarak sekitar 4 jam dari Pontianak. Di sana
banyak terdapat vihara atau kelenteng. Tapi karena logistik yang mahal,
akhirnya nggak jadi.
Kalau ada waktu dan uang, saya ingin
meriset langsung ke Singkawang atau Pemangkat tentang kehidupan seorang biksuni,
untuk novel saya. Banyak sekali yang ingin saya tanyakan, di antaranya; Kenapa
ia memutuskan menjadi seorang biksuni? Apa yang ia rasakan selama tinggal di
biara/ vihara? Apakah ia sanggup
menjalani hidup selibat tanpa menikah seumur hidup? Bagaimana masyarakat
sekitar memperlakukan seorang biksuni? Dan berbagai pertanyaan lain yang
berkelindan di kepala saya hingga kini. Entah kapan bisa terjawab.
Selain etnis (bukan suku loh)
Tionghoa, salah satu yang sangat menarik perhatian masyarakat Indonesia adalah
mengenai perempuan dari etnis Arab, khususnya dari subetnis Arab Ba’alawy
(baca: keturunan habaib) yang dikenal dengan gelar Syarifah. Para syarifah ini
dikenal sering melakukan pernikahan sekufu alias endogamy dengan sesama Sayyid
(gelar bagi lelaki keturunan Habaib di Indonesia) dengan segala macam kisah dan
kontroversi yang menyelimutinya.
Selama ini, cerita mengenai perempuan
Ba’alawy dan pernikahan endogamy yang harus mereka jalani, begitu menarik
perhatian dari kalangan non-Arab sehingga terkadang mereka mengarang sendiri
cerpen atau membuat film tentang perempuan Ba’alawy dari sudut pandang mereka.
Terkadang, yang mereka ceritakan itu
cenderung tendesius dan mengarah ke SARA. Karena dua alasan, mereka bukanlah
perempuan dari kalangan Arab Ba’alawy dan mereka semata menulis cerita hanya
dengan ‘rasa’ tanpa riset sama sekali sehingga hasilnya asal-asalan. Padahal,
resikonya sangat riskan karena akan menyinggung etnis orang lain. Cerita itu
akan sangat berbeda jika yang menulis adalah perempuan dari subetnis Arab
Ba’alawy itu sendiri, dilengkapi dengan data riset yang sangat3x lengkap dan
akurat. Kabar baiknya, saya sedang menggarap naskah novel tentang kehidupan seorang
perempuan Ba’alawy lengkap dengan pernikahan endogamy mereka yang selalu
menjadi kontroversial di IndonEsia tercinta. Haduh, apa sih yang nggak pernah
jadi kontroversial di negeri ini? Cebong ngidolain kodok aja langsung jadi berita online. Hahahahanjir!
Yawda deh, nanti kalo novelnya sudah
jadi mungkin akan saya share di sini. Mungkin lho ya. Nggak bisa janji karena
kebentur perjanjian dengan penerbit dll itu. Kalau bisa sih saya pengin solo
traveling sekalian traveling ke Solo, mumpung ada maulid Habsyi di Kampung Arab
sana tanggal 17 Januari ini. semoga bisa terwujud. Aamiin.
3 comments:
Harus saling menghormati juga sesama agama lain, biar maik rukun Indonesiaku.
sepertinya seru jika kita bisa mendapatkan jawaban dari pertanyaan2 tadi ttg kehidupan biksuni dalam bentuk cerita, yg mungkin suatu saat bisa dibuat oleh mbak vivi :)
hidup bakal indah kalo seperti ini dan ga akan terjadi perpecahan , Pesona Indonesia
Post a Comment