Header Ads

Djalan

EntrepreneurKreatif.com-Djalan adalah salah satu tulisan-mirip-prosa karya Nirwan Dewanto yang (sengaja) sepenuhnya ditulis menggunakan ejaan lama. Berikut saya cuplikan tulisan keren yang sangat djadoel ini. Selamat membaca.




Ia ingat. Atau, djika ia tidak mengingat-ingat, gambar itu selalu kembali kepadanja. Sekian gambar dari masa ketjilnja. Atau, satu gambar selalu memanggil gambar-gambar jang lain, sampai tertjiptalah sebuah mosaik pandjang. Ia hanja akan memilih salah satu gambar, dan menerdjemahkan ke dalam bahasanja sekarang. Sebuah anakronisme: bagaimana mungkin jang sudah lampau itu ditubuhkan lagi dengan bahasa paling kini? Tapi ia berusaha. Supaja ia tahu ia tak pernah kehilangan. Atau, djika ia merasa terus-menerus pergi, ia selalu membawa kampungnja dalam tasnja, seperti jang ditulis oleh seorang tukang sjair Palestina. (Sebenarnja lebih tepat dikatakan djika ia dapat berumah di mana-mana, meski ia masih djuga bertanah air. Tanah tumpah darah, kata orang dari djaman dahulu.)

Sekarang ia ingat djalan itu. Atau, ia tengah melihat sebuah gambar djalan. Djalan di depan rumahnja, di mana bis malam (dan nama bis jang terkenal dengan klakson mautnja itu adalah SAA, atau Saja Antar Anda) dan prahoto menderu kentjang sehingga rumahnja (dan tentu djuga rumah tetangganja) berguntjang-guntjang seperti terkena gempa ketjil; suatu siang, ia hampir tertabrak truk karena ia tergesa-gesa menjeberang (dan para tetangga menjalahkannja sebagai anak paling sembrono). Di situ lewat djuga pedati jang mengangkut tebu dan sisa batang padi; ia dan teman-temannja biasa menguntit si pedati sambil menarik-tjuri muatannja: jang satu untuk dihisap-mamah sampai tinggal sepah, jang lain untuk dibikin serunai-serunaian. Ia masih di SD, dan djalan itu seperti pusat dunianja. Pada malam lebaran, djalan itu penuh dengan sisa kertas petasan, jang diledakkan dan diluntjurkan oleh jang sudah tua maupun jang masih muda, jang masih waras maupun jang hampir hilang harapan.

Djalan itu, jang kurang lebih membudjur utara-selatan, hanja sedikit lapang untuk dua delman berpapasan. Djadi engkau bisa membajangkan berapa lebarnja. Djalan itu seperti membimbing pandangnja ke arah selatan pada kantor pos dan telekom, jang lampu merahnja berpendar-pendar di waktu malam. Ke udjung jang lain, ia selalu membajangkan djalan itu menjambung dengan djedjalan lain menudju Ketapang, pelabuhan tempat menjeberang ke Gilimanuk; atau ke arah mana sawah warisan neneknja membentang. Sekali sebulan-dua, sebuah truk dari Tjurahdjati, sebuah desa di wilajah Pegunungan Selatan, jang membawa batu gamping bakaran untuk toko keluarganja, mengotori sepenggal djalan itu dengan tjetjeran debu kapur putih jang sengak pada tjuping hidung.

Ia ingat, hampir semua rumah di pinggir djalan itu tanpa halaman. Terlalu dekat djarak antara tepi djalan dengan muka rumah, kira-kira hanja satu setengah meter. Sampai ia kelas dua SD, rumahnja sendiri tampaknja terlalu dekat ke djalan; ia ingat, muka rumahnja harus mundur dua kali sampai ia mengindjak SMP ketika djalan itu mesti dilebarkan. Pernah ada sepetak tanah (ja, tak pantaslah dibilang halaman) di muka ambalan rumahnja di mana ibunja menanam pepokok bugenvil dan nusaindah. Karnaval 17 Agustusan melewati rumahnja hanja sampai ia di kelas lima SD; sesudahnja, tidak lagi. Sebab djalan-djalan lain tentu lebih penting untuk merajakan Hari Kemerdekaan. Djalan itu tampaknja hanja berarti bagi penduduk dua kampung jang dipisahkannja, Kampung Temenggungan dan Kampung Melaju.

Rumah paling megah di djalan itu berada persis di depan rumahnja. Rumah dua lantai dengan ubin litjin mengilat milik keluarga Oei Tjwie Kie. Ia tidak tahu kenapa sang puan rumah begitu akrab kepada ibunja; mereka saling memanggil mevrouw. Ia dan ibunja kerap diundang ke situ untuk bersantap malam (dan ia berkawan pula dengan si bungsu keluarga itu, jang enam tahun lebih tua daripadanja). Dan ia paling suka djika ia, setelah menjantap bakmi bikinan Mevrouw Tjwie Kie, diberi es lilin (keluarga itu membuat kue dan es lilin, di samping membuka toko tjat dan bangunan). Di rumah itulah ia pertama kali melihat salib. Dan bukan itu belaka. Ia mulai mengerti bahwa ada nabi pendiri agama jang mati dengan tubuh hampir telandjang dan berlumur darah; nabi jang boleh digambarkan dengan terang-benderang (sajang, katanja waktu itu, dia berkulit putih dan berambut gondrong tjoklat), djauh berbeda dengan nabi dari agamanja sendiri dari Arabia jang terlarang dilukiskan.

Di djalan itu, ia menjaksikan bahwa orang bisa mendjadi gila tiba-tiba. Sedjarak dua rumah dari keluarga Tjwie Kie, tinggallah keluarga Tjina jang lain, keluarga Hong, jang miskin, di sebuah rumah papan kontrakan; si anak sulung bekerdja sebagai sopir sewaan. Suatu hari truk Dodge jang dibawanja terbakar di depan rumah; gagal memadamkan api, ia tiba-tiba masuk ke dalam mesin jang penuh kobaran api, tapi segera kaum tetangga menjelamatkannja. Suatu hari jang lain, seorang ajah Madura (pendjual kuas merang untuk mengapur dinding rumah) persis di samping rumahnya, tak sanggup menanggung kematian puri sulungnja jang baru berusia lima tahun oleh demam tinggi, tiba-tiba menghunus pisau ke tengah djalan mengantjam setiap orang lewat.

Tapi mestinja ia melihat pemandangan di djalan itu lebih berwarna. Rumahnja boleh dibilang berada persis di antara dua gudang beras, di utara dan selatan. Ketika ia masih di kelas satu atau dua SD, gudang beras jang utara disulap selama beberapa bulan mendjadi tempat pertundjukan wajang orang; jang di selatan sesekali dipakai untuk pertundjukan ludruk; itu dua kesenian jang tak berasal dari daerah berbahasa Using, daerah ajahnja. Waktu itu ibunja tak lagi bertjerita tentang kantjil jang tjerdik serta harimau dan buaja jang loba, tapi mulai memperkenalkan satria jang mendjadi pudjaan trah kakeknja di Ponorogo, misalnja sadja Wrekudara jang berkuku sakti dan Gatutkatja jang bisa mendjeladjahi angkasa (tentu sadja, ia djuga sudah tahu nama-nama itu dari kartu wajang jang didjual di warung-warung di dekat rumahnja dan sekolahnja).

Ibunja sering membawanja ke pentas wajang itu pada Sabtu malam; ia sendiri, tanpa idjin ibunja, sering menonton dari sisi panggung, menjelinap dari rumah tetangganja jang mendjadi tempat pondokan bagi anak-anak panggung itu. Sedjak itu ia mulai tahu kenapa Pandawa bisa mendjadi pahlawan, dan Kurawa harus mendjadi musuh setiap orang, djauh sebelum ia membatja komik R.A. Kosasih dan Mahabharata Njoman S. Pendit, djauh sebelum ia menonton pentas wajang kulit. (Dan ia heran bukan kepalang, kenapa kaum satria panggung itu harus mendjadi orang biasa seperti dirinja pada siang hari; mereka sering berselondjor bersarung menyantap ketan dan pisang goreng di warung di depan gudang itu.) Sementara dari panggung ludruk di gudang selatan (ia ingat, ia sering hanja terikut tetangganja) ia mulai tahu siapa Sakerah dan Sawunggaling; djuga tahu bahwa para perempuan gemulai di pentas itu sebenarnja lelaki belaka. Ia mengerti bahwa apa jang terdjadi panggung begitu djauh dari kenjataan di djalan itu, tapi masih djuga berada di tengah-tengahnja. Sampai di sini ia tiba-tiba sadar bahwa gambar pemandangan jang dilukiskannja kembali berwarna sepia, dan djalan itu belum lagi ia sebut namanja. 



No comments:

Powered by Blogger.