Header Ads

Secangkir Kisah Lolita

Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.
– Menjadi Tua di Jakarta, Seno Gumira Ajidarma-

Tengah malam Jum’at Kliwon, Lolita sibuk mengetik tulisan di blognya: Iamnotgoblog.com, ditemani segelas kopi Luwak Borneo khas Kalimantan Barat, oleh-oleh dari sepupunya yang baru pulang dari liburan-sambil kerja-di Pontianak. Naomi, sepupu Lita, adalah seorang travel blogger yang kerjanya jalan-jalan keliling nusantara untuk mencicipi kopi khas masing-masing daerah, disponsori oleh sebuah brand produsen kopi pula.  Tanpa mempedulikan lolongan anjing tetangga di musim kawin, Lita fokus mengetik.


Namaku Lolita. Umur 37. Jomblo permanen. Aku bukanlah seorang sosialita ibukota yang gemar pamer tas Hermes ke mana-mana, baik yang asli mau pun KW. Bukan. Aku hanyalah bagian dari 134 juta konsumen kelas menengah di Indonesia-yang kebetulan berprofesi sebagai jurnalis senior-dengan pengeluaran harian sekitar US$2-US$4 atau Rp 1 juta-Rp 1,5 juta per bulan (38,5 persen dari total konsumen kelas menengah di Indonesia versi Bank Dunia). Hobiku minum cappuccino instan  sachetan sambil nonton serial Teletubbies dari selusin DVD bajakan. 

Gajiku sebagai wartawan senior di Majalah Urban Women (yang porsi gosipnya sekitar 80% dari total isi berita) Rp 4 juta per bulan, itu juga sebelum dipotong PPh dan denda karena telat ngantor. Di kantorku, kalo telat 5 menit saja, langsung dipotong Rp 50.000 setiap kali terlambat. Aku  tinggal di Bekasi, salah satu daerah sub-urban Jakarta yang kurang seksi dan sering banget di-bully. Aku harus berkali-kali ganti angkot untuk sampai ke kantorku di kawasan timur Ibukota. Makanya sering terlambat.

Kalo menurut  pakar marketing Hermawan Kartajaya, aku ini termasuk tipe social climber yang jumlahnya 40,1% dari total kelas menengah Indonesia. Social Climber adalah jenis konsumen kelas menengah yang selalu berusaha agar dapat dikenal dan diterima di pergaulan kalangan the have. Intinya, aku adalah seorang ‘pendaki’ status sosial yang takkan pernah bisa mencapai puncak strata sosial di negeri ini, dan mungkin takkan pernah mampu membeli kamera Canon DLSR EOS 5D yang setahuku harga pasaran kamera mahal itu berkisar Rp 12,5 jutaan. Entah berapa bulan nabung baru mampu terbeli. Ach!

Meskipun aku sering nongkrong di Senayan City dan Grand Indonesia setiap awal bulan, tetap saja aku dan teman-temanku memborong baju di ITC Mangga Dua, dan sekali-sekali di Rempoa. Jika kalian pernah melihat aku dan teman-temanku asyik hangout di Starbucks, sesungguhnya  aku lebih sering menyantap mi instan dan telur ceplok di rumah, sambil menghirup segelas kopi instan merek G-Bucks (kembaran Starbucks?) rasa Latte atau Cappuccino.  Tulisan  CAUTION HOT yang terpampang jelas di tutup gelas steriofoam kopi urban style itu seolah mengingatkan semua orang akan bahaya tersiram kopi panas, sama bahayanya dengan tulisan yang menempel di pantat sebuah angkot di Bekasi: MASUK GADIS KELUAR JANDA

Dan, asal kalian tahu, aku menulis di blog ini karena sudah muak menjalani rutinitas keseharianku sebagai wartawan merangkap karyawan yang bekerja dari pukul 08.00 pagi hingga 17.00 sore. Bahkan, hari Minggu tetap ngantor, karena banyak berita yang harus diliput.  Apakah aku akan menua di belantara Jakarta, dengan status jomblo permanen yang membawa sejuta kenangan pahit sebagai seorang karyawan? Entahlah.
***

Lolita teringat ketika suatu pagi ia dipanggil Bu Gina menghadap ke kantornya.
“Lita, kita butuh liputan khusus nih tentang fenomena para sosialita ibukota,” Bu Gina, pemimpin redaksi Majalah Urban Women membuka pembicaraan.
“Oke. Trus siapa yang mesti saya tugasin meliput, Bu?”
“Ya, kamu sendirilah. Siapa lagi? Kamu kan wartawan senior di sini. Kamu harus bisa masuk ke lingkungan mereka. Bikin laporan jurnalistik investigasi yang heboh, biar oplah majalah kita naik.”
“Waduh, susah tuh, Bu,” Lita mencoba menghindar.
“Masak segitu aja susah?  Kamu kan pernah nyamar jadi PSK di lokalisasi demi mendapat berita yang betul-betul within. Dan kamu sukses. Pernah juga pura-pura jadi germo, jadi pengemis. Pokoknya komplit.”
“Iya sih, tapi..”
“Sudah. Pokoknya kamu saya kasih waktu tiga bulan buat tugas.  Saya penasaran, apakah mereka ini semata-mata hanya sekedar parasit kapitalisme, atau memang ada manfaatnya bagi sesama wanita,  seperti mengadakan kegiatan sosial misalnya. Kamu harus bikin berita tentang itu, terserah gimana caranya, saya nggak mau tahu.”
“Baik, Bu.”

Bu Gina melanjutkan, “Terus kamu harus liput apa saja merek favorit mereka, pesta apa saja yang biasa mereka adakan, dan jangan lupa partisipasi mereka dalam berpolitik. Pokoknya harus lengkap, kap. Kayak Ikan Kakap.” 
Nyamar jadi sosialita? Halah!
***

Lita mencari-cari nomor handphone para narasumber yang pernah diwawancarainya, hingga ia menemukan sebuah nomor handphone seorang dokter spesialis bedah plastik yang punya hobi mengoleksi berlian. Dokter itu pernah menjadi narasumbernya, dan si dokter pernah menolong Lita sewaktu ia tertabrak motor ketika sedang meliput sebuah berita. Dan dokter kaya itu menolak dibayar.

 “Apa kabar, Mbak Lita? Gimana lukanya, sudah sembuh?”
“Sudah, Bu Dokter. Terima kasih banget udah nolongin saya waktu itu.”
“Ah, biasa aja, kok. Itu sudah tugas saya.”

Dokter cantik  di hadapan Lita tersenyum ramah. Kalung dengan mata dari Batu Bacan hijau berkilauan diterpa cahaya restoran. Dan Lita pun menceritakan semuanya.

“Oh, nggak masalah, saya akan bantu. Kebetulan saya ikut arisan dengan ibu-ibu yang..yah, bisa dibilang sosialita kelas ataslah. Hehe..”
“Terus saya ngaku jadi asisten Ibu aja, ya?”
“Nggak usah. Kamu akan saya kenalkan sebagai staf suami saya. Kebetulan suami saya manajer pemasaran di Pertamina Pusat.”
“Thanks, Dok.”
“Lusa kita ada acara di hotel bintang lima. Zus Nance, ketua kelompok arisan ‘Sosialita Anti Selulit’ akan merayakan ulang tahun yang ke-43. Dia istrinya Suryo Gondokusumo, pengusaha batubara dan importir mobil mewah yang terkenal di Jakarta.”
“Oh.”
“Nanti saya siapkan satu undangan khusus buat Lita,”
“Oke. Makasih, Dok.”
***
Sebuah bajaj melaju kencang menuju ke salah satu hotel berbintang lima di kawasan selatan ibukota.Seorang wanita setengah muda tak berhenti berdoa selama berada di dalam bajaj itu. 

“Kiri, Pak,” ujar si wanita lega. 
 “Di sini, ya, Mbak?”
“Iya, betul. Berhenti di sini aja.”
“Lha, tapi hotelnya masih di depan sono, Mbak? Nggak capek jalan ke sana?”
“Nggak papa, kok. Saya sudah biasa jalan kaki 10.000 langkah.”
“ …..”

Lita berjalan cepat melewati beberapa pepohonan rimbun, hingga tiba dengan terburu-buru di lobi hotel.  Ia tak memedulikan kakinya yang sakit gara-gara memakai sepatu Prada KW dengan hak setebal 10 senti. Sepatu itu ia peroleh setelah blusukan di Pasar Ular. Ia memang diundang khusus untuk menghadiri  sebuah acara  fashion show yang diadakan di sebuah hotel berbintang lima di Jakarta. “Waduh, mampus! Gue telat nih. Masih bisa masuk nggak ya?” 

Dengan langkah cepat, Lita menuju lift yang mengantarkannya ke lantai lima tempat acara fashion show diadakan. Tiba di depan pintu masuk, seorang panitia berdiri menghadang.
“Maaf, Bu, ada bawa undangannya?”
“Sebentar, ya.”
Lita mencari-cari di dalam tas Hermes ‘tembakan’ nya yang bela-belain dia beli seharga Rp 3 Juta di sebuah butik.
“Haduh, gawat! Aku lupa bawa.”
 “Maaf, Bu, kalau tidak menunjukkan undangan, Ibu tidak boleh masuk,” kata si panitia.
“Eh, sebentar, dong.”

Lita menuju meja panjang di samping pintu masuk tadi. Dengan panik, ia mengeluarkan semua isi tasnya. Mulai dari lipstik, bedak, BlackBerry Bellagio yang sudah lama ia beli dengan diskon 50% hasil dari ngantri selama dua hari dan nyaris pingsan, Tablet merek Samsung, hingga pembalut wanita mengandung klorin tingkat tinggi bertumpahan di atas meja. Cuma satu yang tidak kelihatan, undangan itu.

“Sebentar, saya telepon teman saya dulu. Dia panitia acara ini.”
Lita memencet tombol BB tuanya dan mencari sebuah nama yang sangat ia kenal. Dengan sedikit gemetar, ia merapatkan telinga ke BB, berharap sebuah suara yang sangat berpengaruh di kalangan sosialita ibukota itu bisa membantunya. Lalu tiba-tiba terdengar suara merdu seorang wanita dari seberang sana menyapanya lembut:
“Maaf, pulsa Anda tidak cukup untuk melakukan panggilan ini…”

foto: dimedan.co
“Aku capek, Mi. bosan!” Lolita menumpahkan kekesalannya kepada Naomi, sepupunya yang  sudah tujuh tahun fokus menjadi seorang travel blogger.
“Lo kenapa lagi, sih?” 
“Aku pengin resign aja.”
“Bos lo ngasih tugas aneh apa lagi?”
“Aku disuruh nyamar jadi sosialita,”
“What? Haha!”

Pesanan mereka tiba. Naomi langsung mengambil segelas Kopi Bali Kintamani pesanannya. Dan Lita mengambil Kopi Aceh Gayo yang beraroma tajam.

“Gue suka bau jeruknya,” ujar Naomi.
“Aku udah nggak tahan lagi. Aku pengin resign! Pokoknya resign!”
“Oke, gue denger.”
“Bayangin aja. Hidupku udah seperti mesin. Telat dikit gaji dikorting. Deadline  numpuk bikin pusing. Haduh!”
“Makanya kayak gue,dong.  Hidup bebas. Bekerja sesuai passion tanpa ada yang ngatur. Eh, dapat duit lagi,”
“Tapi aku takut, Mi. Aku mo kerja apa? Sementara blogku belum bisa menghasilkan uang.”
“Lit, waktu dua tahun pertama jadi blogger, gue nggak dapat duit sama sekali. Gue  hanya hidup dari menang lomba ngeblog aja, itu juga jarang. Baru-baru ini aja gue bisa hidup enakan dikit.”
“Tapi worth it banget ya dengan perjuanganmu, Mi?”
“Ya iyalah, my dearest cousin. Intinya fokus,”
Lita mendengarkan dengan seksama.
“Dan satu lagi, bekerjalah sesuai passion lo. Lo nggak harus jadi blogger kayak gue. Enggak. Yang penting lo happy dengan profesi yang lo jalani.”

Seusai meneguk kopi, Naomi bercerita tentang beberapa kota di Sumatera yang pernah dikunjunginya, yang terkenal akan kopinya yang mendunia. Kopi Medan Sidikalang salah satunya. Kopi ini sangat terkenal di kalangan pecinta kopi dunia dan kerap disebut rajanya kopi di Sumatera. Bagi yang belum terbiasa ngopi, jangan coba-coba menyeruput kopi ini,

“Kecuali lo mau jantung lo berdebar  kencang dan mata bisa melek sampai pagi,” kata Naomi.
“Tapi nggak mati, kan? Jangan mati dulu, dong. Aku belum laku, nih. Mana udah tuwir lagi.”
***

Tak terasa, dua bulan telah berlalu dari saat pertama kali Lita mendapat tugas liputan investigasi untuk Majalah Urban Women. Kini, jantung Lita serasa ingin meledak. Ia berada di ruangan Bu Gina untuk menerima omelan pemimpin redaksinya yang terkenal galak dan judes.

“Kamu gimana sih, Lit? penyamaran kamu gagal total!” Bu Gina berdiri bercakak pinggang sambil terus mengoceh.
“Padahal selama ini kamu nggak pernah gagal, Lita. Saya kecewa sekali dengan kamu.”
“Maafin saya, Bu. Sudah mengecewakan,” Lita menunduk malu.
“Kamu kenapa, Lit? sakit, ya? Atau..”
“Saya lelah, Bu. Saya jenuh. Saya pengin resign,” kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Lolita. Tanpa dirancang sebelumnya. Tanpa dilengkapi surat mengundurkan diri.
“Oke, Lita, saya paham. Kamu pasti lelah dengan pekerjaan wartawan yang nyaris tanpa libur dan penuh tekanan,”
Lita hanya menunduk.
“Saya akan beri kamu cuti selama lima hari penuh,”
“Cuti? Tapi saya maunya resign,”
“Mending kamu ambil cuti dulu deh. Sambil kamu pikir masak-masak, apa kamu sudah benar-benar siap untuk resign. Kantor ini selalu terbuka untukmu,”
Lita hanya terdiam.
“Saya akan beri kamu dua buah tiket pesawat menuju Tana Toraja dan sebuah voucher hotel untuk menginap di sana, oke?”
Lita  terkejut dengan reaksi atasannya yang tidak ia duga sebelumnya. Perasaannya campur aduk.
“Saya akan minta Desi untuk mengurus semuanya. Semoga besok sudah beres,”
“Tapi, Bu..”
“Selamat berlibur,Lita. Jangan lupa, bawain saya Kopi Toraja Kalossi ya?”
***

Tak ada yang lebih menyenangkan selain menikmati hobi yang dibayar. Itu prinsip Naomi, sepupuku. Tapi jangan lupa, ada harga yang harus dibayar sebelum mendapatkan semua itu. Jika kau belum sanggup, bertahanlah sebentar di tempatmu saat ini, dan nikmatilah rezekimu saat ini.bersyukurlah atas anugerah yang kau dapat untuk saat ini, sambil terus memperbaiki diri.

Itulah yang kulakukan saat ini. berlibur bersama Naomi  sambil mencicipi nikmatnya Kopi Toraja Kalossi yang menggoda. Seusai liburan singkat ini, aku siap kembali menikmati kemacetan ibukota, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, kembali menjadi robot, dan menua di Jakarta.

Dan Lolita mempublikasikan tulisan itu di blog pribadinya.




14 comments:

Unknown said...

mantap. saya suka gaya bahasanya, tidak monoton dan bagus sekali, ditunggu karya berikutnya ya kak.. saya suka saya suka.

Unknown said...

Moge cerpennye terpilih kak. Mantaps lah kk nulis ni, salutttt...

Vivi Al-Hinduan said...

aamiin..makasih ya, temans :)

lola said...

goodluck kak vivi semoga berhasil :)

Vivi Al-Hinduan said...

thank you, Lola :) makasih ya sudah berkunjung. semangat, Lola :)

adria indy said...

Good luck, Mba Vi.

Unknown said...

ya ya ya.. cukup membuat penasaran.. cuman aku masih penasaran sama tugas die nyamar jadi pecun...

Vivi Al-Hinduan said...

nantikan kisah seru Lolita lainnya di episode berikut

Adi Kusuma said...

Ceritanya sangat menarik Kak Vivi. Good job lah...

Vivi Al-Hinduan said...

thank you, Adi :)

Unknown said...

menarik ceritanya kak

Rafsablog said...

cerita panjaaaang tapi isinya keren banget :D
semangat terus kak :D
www.rafsablog.com

Unknown said...

:'( aaaaaaaa.........

Renaldi Ardiansyah said...

Hmm.. saya juga sedang membaca cerita ini sambil meminum kopi luwak. Tapi yang biasa beli di warung hehehe... ceritanya bagus kak.. tata bahasanya rapi, semoga ada kelanjutannya yaa..

Powered by Blogger.