Kerja Sesuai Minat = Hidup Melarat?
EntrepeneurKreatif.Com- Hingga detik ini, saya
tidak bisa tidak mengacungkan sepuluh jempol bagi para wanita yang merelakan
dirinya untuk diperistri oleh para lelaki yang memilih untuk berprofesi
tunggal sebagai seorang penulis puisi (penyair/ pujangga) atau menjadi
pelukis. Kenapa? Karena hingga detik ini, saya sama sekali belum siap untuk
itu. Kalau profesi sebagai pelukis atau penyair itu hanya sebagai profesi
sampingan sih nggak masalah. Biasanya seorang penyair pemula,
profesi utamanya kalau nggak wartawan, ya guru Bahasa Indonesia.
Untuk pelukis biasanya profesinya sebagai seorang kartunis di surat kabar.
Tapi, percaya atau tidak, hanya sebagian kecil yang mempunyai
profesi ganda. Biasanya para seniman seperti mereka terlalu idealis untuk
berprofesi ganda. Pelukis terkenal seperti Jehan, alm.Affandi, alm.Basuki
Abdullah, dan para penyair kawakan Indonesia macam alm.Rendra, alm.Chairil
Anwar, hingga Taufik Ismail semuanya total mengabdikan diri pada profesi mereka
masing-masing alias tidak nyambi kerjaan lain. Kecuali penyair Agus
R. Sarjono yang ‘nyambi’ jadi dosen jurusan Teater di STSI, Bandung. Dengan kenaifan
saya, saya sempat berpikir, mau jadi apa ya kawin sama penyair? Makan puisi
tiap hari? Halah!
Nggak kebayang gimana sulitnya keadaan ekonomi mereka di awal-awal
meniti karir. Karena menggantungkan hidup dengan menjadi penyair dan pelukis
berarti harus siap untuk hidup dalam ketidakpastian, terutama jika menyangkut
materi aka DUIT. Kalau masih bujangan sih nggak masalah, tapi
kalau sudah berkeluarga, mau dikasih makan apa anak istri? Mungkin itu pikiran
sebagian orang, termasuk saya tentu. Saya bahkan salut luar biasa untuk para
ayah yang merelakan anak perempuannya dinikahi oleh laki-laki yang total
mengabdikan hidupnya untuk menulis puisi. Sungguh bukan sesuatu yang mudah
karena menyangkut urusan perut.
Ramadan beberapa tahun lalu, saya pernah diajak seorang teman
untuk berbuka puasa bersama di rumah-sekaligus Galeri-seorang pelukis terkenal
di Kalbar. Profesi tunggal. Kebetulan setahu saya, beliau memang lulusan ISI
Yogya. Karena penasaran, akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya kepada si
pelukis. Ya. Pertanyaan yang sangat ‘kurang ajar’ ini, “Kok berani sih, abang
mencari nafkah dengan menjadi pelukis?” kira-kira seperti itu pertanyaan saya.
Sambil tersenyum dia bilang, “Rejeki itu kan sudah diatur Tuhan, Mbak.
Alhamdulilah, hingga detik ini saya masih bisa menafkahi anak istri saya. Kaya
itu, kan, relatif. Selama kita merasa cukup, berarti kita kaya.” Kira-kira
seperti itulah jawabannya. Agak lupa, soalnya sudah lama.
Rene Suhardono berulang kali menegaskan dalam
bukunya, Your Job is NOT Your Career, bahwa kerja dan
karir itu berbeda. Kerja hanyalah alat. Tidak lebih. Sedang karir adalah
kehidupan profesional yang kita jalani. Kita dapat dipecat setiap saat dari
pekerjaan kita, tapi tak satu orang pun yang dapat memisahkan kita dari karir
yang kita jalani. Tapi, lagi-lagi otak kiri saya masih saja suka mencari-cari
pembenaran. Iya, kalau perempuan sih enak, tidak dituntut untuk menafkahi
keluarga, jadi bebas bekerja sesuai passion/ minat. Kalau suami?
Aduh, jangan sampai deh. Kasihan keluarganya. Apakah Anda juga berpikiran
seperti saya?
Di tengah kehidupan hedonis dan mental PNS-minded seperti
sekarang ini, wajar kalau sebagian perempuan dan orang tua mereka berpendapat
bahwa menikahi seorang pria berprofesi seperti di atas = hidup melarat. Dan
memang, kalau mau jujur, di awal-awal karir mereka hal itu sangat terasa
sekali. Di negeri ini, memperjuangkan passion = bertarung
nyawa. Berapa banyak orang-orang yang nekat memilih menjadi penyair atau
pelukis, yang harus menerima risiko diusir orang tua mereka dari rumah karena
dianggap tidak punya masa depan? Almarhum Rendra adalah salah satunya.
Beberapa lelaki ‘malang’ yang saya kenal, pernah
merasakan sakitnya diputusin pacar atau batal menikah karena sang calon mertua
tidak siap punya mantu seniman. Apa yang mau dibanggain, coba? Mantu Bapak
pelukis? Mau dikasih makan apa anak Bapak? Anak Ibu tunangan sama penulis
puisi? Nggak ada yang lain, apa? Kenapa nggak dikawinin sama dokter aja atau
artis sinetron? Duitnya banyak euy…
Ada pepatah setengah jokes yang
berbunyi : money is relative. The more money you have, the
more relative you will get. Yihaa! Mungkin saya satu-satunya perempuan
‘bodoh’ di negeri ini yang tidak berminat menikahi seorang dokter. Saya juga
nggak tahu kenapa. Mungkin karena saya merasa kalau ‘gelombang’ kami bakalan
nggak nyambung. Tapi hingga detik ini, saya juga mungkin akan menolak jika ada
seorang pria berprofesi sebagai penyair atau pelukis mendekati saya. Barangkali
saya lebih memilih atlet, meskipun nasib atlet juga lumayan mengenaskan di
negeri ini. Di negeri ini yang bisa benar-benar hidup enak cuma dua: kalo nggak
anggota DPR ya koruptor. Setuju? Boleh kok beda pendapat. Halal.
Apakah bekerja sesuai minat = hidup melarat? Silahkan jawab sendiri
Maka para pelukis dan/ atau penyair
terkenal yang sekarang kita lihat di tivi hidupnya enak, punya Alphard, bahkan
mungkin punya istri lebih dari satu (kenapa ya, kekayaan orang Indonesia selalu
diukur dari jumlah istri? Kenapa nggak jumlah selingkuhan aja gitu) yakinlah
bahwa di masa lalu mereka pun pernah merasakan sakitnya hidup dan beratnya
memperjuangkan profesi sesuai minat mereka.
Dan jika ada dari mereka yang nekat mendekati
saya, mungkin saya pun akan berkata kepada para pelukis dan/ atau penyair muda
itu, sebuah penolakan halus yang saya kutip dari kalimat Penellope Cruz kepada
Tom Cruise dalam film Vanilla Sky sebagai berikut : semoga kita akan bertemu
lagi di kehidupan yang lain, ketika kita berdua telah menjadi kucing. Sekian.
No comments:
Post a Comment