Memantau Geliat Literasi di Kota Pontianak: Dari Pena Merah ke PenaBaru
EntrepreneurKreatif.com-Memantau Geliat Literasi di Kota Pontianak dalam lima tahun belakangan, sungguh menakjubkan. Sebagai Ketua Subsektor Literasi Rumah Muda Kreatif (RumAktif) Kota Pontianak, tentu saya bangga melihat berbagai komunitas
baca-tulis bermunculan bak jamur di musim hujan. Dari komunitas
menulis sebutlah misalnya Klub Menulis Pena Merah yang beranggotakan para
mahasiswa FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Untan, Forum Lingkar Pena (FLP)
Kalbar, Forum Indonesia Menulis (FIM), Library Creative Center (LCC), Forum
Sastra (FORSAS) Kalbar, Kelas Menulis Enggang Khatulistiwa, Penulis Era Baru
(PenaBaru), Komunitas Menulis MIP, Komunitas Menulis Pustaka Rumah Aloy,
Komunitas Anak Sastra (KANSAS), serta para blogger Pontianak yang tergabung
dalam Komunitas Blogger Pontianak. Ada juga yang terafiliasi dengan
kampus seperti Club Menulis IAIN dan komunitas penulis yang beranggotakan para
mahasiswa STIKES YARSI Pontianak. Di komunitas baca, kita mengenal Pontianak
Reader Club dan Intelligence Reading Community. Ditambah para penggerak baca
yang telah menjelajahi pelosok Kalimantan Barat demi mengampanyekan gerakan
cinta membaca (buku). Di antaranya adalah dua anak muda Pontianak bernama Varli
Pay Sandi yang menggagas Gerakan Kalbar Membaca serta Dadi Na’ang dengan
Gerakan Ngemil Buku yang ia dirikan. Mereka bekerja dalam sunyi, jauh dari
sorotan lampu media. Saya beruntung sekali dapat mengenal mereka.
Jum’at
sore (7/4) lalu, saya berkesempatan hadir di acara bincang penulis yang digagas
oleh komunitas penulisan PenaBaru (Penulis Era Baru) besutan Bung Ben,
bertempat di Rumah Melayu, Pontianak. Berbeda dengan komunitas kepenulisan
lainnya yang sebagian besar anggotanya adalah para pelajar SMA dan mahasiswa,
PenaBaru yang baru terbentuk sekitar seminggu itu beranggotakan ‘orang dewasa’,
mulai dari Sosiolog Untan, pegiat LSM yang bergerak di bidang media, ibu rumah
tangga, hingga tokoh politik di Pontianak. Menarik sekali. Bisa dibilang
PenaBaru merupakan sastra ‘pergerakan’ yang sangat kritis menentang segala
bentuk ketidakadilan yang menimpa rakyat kecil yang saat ini marak terjadi di
Indonesia, termasuk Kalbar. Mereka
‘bersuara’ lewat pena.
Saya
melihat, semangat masyarakat Pontianak untuk belajar membaca dan menulis, serta
tentunya menerbitkan tulisan tersebut dalam bentuk sebuah buku, sangatlah
besar. Ternyata kekhawatiran saya bahwa di era digital ini buku sudah
terabaikan oleh generasi milenial, tidak terbukti. Para anak muda Pontianak
justru sangat antusias menggeluti dunia baca-tulis dengan bergabung ke
komunitas-komunitas tadi.
Berbicara
tentang komunitas menulis, yang menjadi kendala saat ini-selain masih rendahnya
minat baca masyarakat Pontianak-juga masalah kualitas berupa karya (baca: buku)
yang dihasilkan oleh para ‘murid’ dari berbagai komunitas menulis yang ada di
Pontianak itu sendiri. Mau
jadi apa dunia literasi di Kalbar-khususnya Kota Pontianak sebagai barometer, jika
minat baca masyarakat yang masih rendah tadi diperparah dengan buruknya
kualitas karya yang dihasilkan oleh para penulis lokal? Mulai dari banyaknya
typo (typing error/ kesalahan tik) yang ‘bertaburan’ sepanjang buku, hingga
kualitas hasil cetakan buku itu. Saya rasa, masing-masing komunitas ikut
bertanggungjawab dalam menerapkan aturan yang ketat mengenai seleksi naskah
para peserta sebelum dapat diterbitkan.
Di
Kelas Menulis Enggang Khatulistiwa, misalnya, mereka menerapkan sistem
mentoring untuk masing-masing ‘kelas’ penulisan yang dipilih oleh peserta. Ada
4 jenis kelas yang ditawarkan yakni Kelas Menulis Cerpen, Kelas Menulis Puisi,
Kelas Menulis Novel, dan Kelas Menulis Nonfiksi, dengan mentor masing-masing
yang ahli di bidangnya. Naskah para peserta akan melalui tiga kali saringan, sebelum
naskah bisa diterbitkan menjadi buku. Saringan pertama oleh mentor di
masing-masing kelas, saringan kedua oleh semua mentor, dan saringan ketiga oleh
para penulis senior di luar komunitas tersebut. Lama masa pembelajaran selama 6
bulan. Sedang di Library Creative Center (LCC) lama masa belajar bahkan satu
tahun. Di akhir masa belajar, karya cerpen siswa akan diterbitkan bersama dalam
sebuah buku antologi cerpen.
Lamanya
masa belajar ini semata bertujuan agar karya yang dihasilkan peserta berkualitas
dan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat luas. Karena tidak ada istilah
instan untuk menjadi seorang penulis. Menjadi penulis dengan sekadar bisa
menulis adalah dua hal yang berbeda. Semua orang memang sudah bisa menulis
sejak SD, tapi tidak semua yang bisa menulis tadi otomatis dapat menjadi
penulis profesional. Ada tahapan bernama ‘jam terbang’ yang tidak bisa
dinafikan. Dalam proses yang panjang itu, tentu terdapat bedah buku di mana
penulis harus siap mental ketika bukunya dibedah dan dikritik orang lain di
panggung terbuka. Bahkan di Kelas Menulis Enggang Khatulistiwa, istilah bedah
buku diganti dengan bedah naskah. Karena naskah yang belum dibukukan tadi
sangat butuh untuk dibedah, dikritisi, dikoreksi, bahkan di ‘bantai’, sebelum
terlanjur dicetak. Jika seorang penulis pemula sudah anti dengan kritikan dan
hanya berharap pujian (baca: endorsement) semata, alamat namanya akan cepat
tenggelam, sebagaimana karyanya.
Di
antara sekian banyak komunitas menulis dan membaca tadi, semoga dapat membawa
perubahan bagi perkembangan dunia literasi di Kalbar, khususnya Kota Pontianak.
Penulis boleh mati, tapi karyanya akan tetap abadi. Saya berharap, paling tidak
lima tahun ke depan, dunia literasi di Kota Pontianak akan berkembang pesat dan
komunitas menulis yang sangat banyak jumlahnya itu, dapat menghasilkan karya
berkualitas yang mencerahkan dunia literasi di Pontianak. Semoga.
No comments:
Post a Comment