Header Ads

Ekonomi Berbagi, Teknologi Digital, dan Generasi Millenials Indonesia

EntrepreneurKreatif.Com- Ekonomi Berbagi, Teknologi Digital, dan Generasi Millenials Indonesia. Dahulu, orang-orang tua kita hidup dalam sistem berbagi. Mereka hidup di kampung dan bebas melintasi tanah milik orang lain atau tanah ulayat yang tak berpagar. Suasananya berubah, begitu tanah-tanah itu dikuasai orang lain yang mampu mengubah status tanahnya. Mereka tak lagi berbagi bahkan untuk sekadar numpang lewat saja.

Peradaban owning economy membuat individu-individu tertentu cepat mengendus harta-harta strategis, dan memagarinya, walau untuk jangka waktu yang lama tak digunakan. Akibatnya di abad 21 ini lebih dari 50 persen tanah-tanah itu menganggur. Termasuk lahan-lahan pertanian yang kelak akan dialihfungsikan. Maka ia hanya ditumbuhi ilalang dan dipagari tinggi. Para ekonom menyebut istilahnya sebagai underutilized atau idle capacity. Boros, menganggur, tak produktif. Pabrik-pabrik, perkebunan, vila mewah, mobil-mobil keren, semua dikuasai, tetapi belum tentu dipakai sebulan sekali oleh pemiliknya. Menjadi rumah hantu atau pajangan tak bermanfaat. Nice to have, only!

Sampailah muncul teknologi baru, dengan generasi millenials. Bagi kaum muda sharing economy dianggap sebagai penyelamat planet ini dari keserakahan manusia. Mereka menggagas ideologi-ideologi praktis tentang kesempatan berbagi. Setelah kewirausahaan sosial, lalu sharing economy. Mereka bilang, “Buat apa membeli yang baru, kalau barang-barang yang lama saja masih bisa dipakai orang lain.” Maka jutaan barang-barang bekas yang ada di garasi dan gudang rumah dijual kembali via e-Bay, OLX atau Kaskus. Gila, piringan hitam zaman dulu hidup lagi. Velg-velg mobil yang sudah langka kini bisa ditemui.
Lalu mereka juga bilang, ”buat apa beli sepeda motor baru, kalau yang ada di masyarakat bisa dijajakan oleh pemilik- pemiliknya.“ Itu menjadi Gojek dan Uber. Setelah itu kebun-kebun yang menganggur ditawarkan kepada anak-anak muda yang mau bertani, hasilnya mereka bantu jualkan langsung ke konsumen via igrow.com. Lalu pemilik-pemilik rumah-rumah atau satu-dua kamar yang kosong ditawarkan melalui . Bahkan ada tuan rumah yang menawarkan jasa plus sebagai guide buat jalan-jalan. Persis seperti menginap di rumah paman.

Di Prancis ada komunitas yang menawarkan mesin cuci pakaian, bahkan juga mesin cuci piring. Di Indonesia, ada yang menawarkan jasa pijet, yang pesertanya bahkan ada lulusan D3 fisioterapi untuk merawat pasien stroke. Prinsipnya, lebih baik jadi uang daripada rusak tak terawat; lebih baik murah tapi terpakai penuh ketimbang underutilized.

Ketika ekonomi berbagi menjadi gejala ekonomi yang marak, maka gelombang ini akan terjadi: Deflasi karena harga-harga akan turun, ledakan pariwisata dalam jumlah yang tak terduga karena banyak pilihan menginap yang murah, aset-aset milik masyarakat yang mengganggur menjadi produktif, dan kerusakan alam lebih terjaga. Sebaliknya, ia juga menimbulkan dampak-dampak negatif: Pengangguran bagi yang tak lolos dalam seleksi alam (persaingan) dengan business model baru ini, kerugian-kerugian besar dari sektor-sektor usaha konvensional yang konsumennya shifting (berpindah), dan kriminalisasi oleh para penegak hukum atau pembuat kebijakan yang terlambat mengatur. Sekarang negara punya dua pilihan. Pertama, tetap hidup dalam owning economy, dengan risiko pasar yang besar ini menjadi ilegal economy dengan operator pengendali dari luar Indonesia. Kedua, melegalkan sharing Economy dan mendorong pelaku-pelaku lama menyesuaikan diri.



Generasi millenials memang berbeda dengan orang-orang tua yang dibesarkan dalam peradapan “memiliki.” Orang-orang tua tahunya berbisnis itu harus membeli dan menguasai. Jadinya semua mahal. Mobil harus beli sendiri, tanah, gedung, pabrik, bahan baku, semua disatukan dengan nama pemilik yang jelas. Akibatnya modal jadi besar. Mau buka mal urusannya banyak. Sedangkan generasi milenials cukup pergi ke dunia maya. Serahkan pada pada robot (digital technology), lalu berkumpullah para pemilik barang untuk membuka lapak di sana dan berbagi hasil. Sama juga dengan membuka usaha transportasi. Yang mahal hanya ide, lalu buat aplikasinya. Siapa pun yang punya kendaraan bisa bergabung, dan malam harinya kendaraan tersebut diparkir di rumah masing-masing. Tak perlu jasa keamanan atau pol taksi. Akibatnya wajar, kalau sebagian generasi tua gagal paham menyaksikan ulah mereka yang memurahkan segala macam harga. Milenials bukan saja pribumi di dunia digital, melainkan juga ‘pelaku utama’ sharing economy.

Oleh Rhenald Kasali. Judul Asli ‘Cara Konvensional  VS  Cara Kreatif yang menguntungkan semua pihak’

No comments:

Powered by Blogger.