Marketing Politik dan Pemilu 2019
EntrepreneurKreatif.com- Marketing Politik dan Pemilu 2019 sudah di depan mata. Para kontestan pemilu yang terdiri dari partai
politik (selanjutnya disebut parpol), calon legislatif (selanjutnya disebut
caleg), dan calon presiden (selanjutnya disebut capres) siap bersaing di ‘pasar
bebas’ pemilu 2019 dengan berlomba menawarkan produk politik mereka berupa
janji politik dan program kerja masing-masing kontestan. Persaingan adalah satu
konsekuensi logis dalam sistem demokrasi, di mana masing-masing kandidat harus
bersaing untuk meyakinkan pemilih-terutama pemilih pemula dan non-partisan yang
jumlahnya mencapai 70% dari total pemilih secara nasional- bahwa hanya kandidat
dan parpolnya sajalah yang paling layak dipilih dan keluar sebagai pemenang
pemilu 2019.
Bagi
kalangan pemilih kelas menengah di kota-kota besar seperti Jabodetabek dan
Bandung yang berpendidikan tinggi, kritis, melek teknologi, dan melek politik,
tindakan pemaksaan, intimidasi, dan politik uang sudah tidak relevan lagi
dilakukan untuk meraih suara mereka. Mereka akan melihat kapabilitas, reputasi,
dan latar belakang para kontestan pemilu, baik caleg, capres, maupun anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) yang akan mewakili propinsi mereka masing-masing di
Pemilu 2019 nanti. Mantan Ketua KPU alm.Husni Kamil Manik mengatakan bahwa
peranan kelas menengah dalam pemilu 2014 lalu sangat menentukan dalam mencapai
target partisipasi masyarakat pada pemilu 2014 yang sudah ditetapkan KPU
sebesar 75%. Dari total jumlah pemilih saat itu sekitar 175 juta orang sampai
200 juta orang, kelas menengah sangat dominan.
Marketing
politik adalah ilmu baru yang menggabungkan teori marketing dalam kehidupan
politik. Marketing politik berfungsi untuk mengemas kampanye menjadi menarik
bagi pemilih yang merupakan konsumen politik. Marketing politik disebut juga
political branding. Marketing-yang diadaptasi dalam dunia politik, dapat
digunaka untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas transfer ideologi dan
program kerja dari kontestan pemilu ke masyarakat luas. Marketing politik melibatkan banyak kalangan, mulai dari rakyat
biasa, media massa, dan kontestan itu sendiri (Firmansyah, 2007).
Marketing Politik: Dari Hubungan
Transaksional Menuju Relasional
Ibarat
perusahaan, hubungan pemasaran (marketing) yang terjadi antara kontestan pemilu
dengan pemilihnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu hubungan yang bersifat
transaksional dan hubungan yang bersifat relasional. Dalam suatu perusahaan
yang menerapkan hubungan pemasaran transaksional, kegiatan berfokus pada penjualan
produk dan jasa mereka, di mana efisiensi dan efektifitas metode pemasaran
menjadi prioritas utama. Yang terpenting adalah produk mereka laris manis di
pasaran, tanpa peduli jika produk tersebut merugikan dan membahayakan kesehatan
konsumen. Kontestan pemilu yang menerapkan metode ini akan menganggap pemilih
semata-mata sebagai objek politik belaka. Mereka akan melakukan segala cara
agar ‘dagangannya’ laku terjual, termasuk melakukan politik uang. Hubungan yang
terjalin bersifat jangka pendek. Tidak ada ikatan emosional antara pemilih dan
yang dipilih. Sedang dalam hubungan pemasaran relasional, kontestan
pemilu-termasuk calon anggota DPD, akan berusaha maksimal untuk menciptakan
kepuasan ‘konsumen politik’ yang telah ada sambil mencari ‘konsumen
politik’ baru. Para kontestan pemilu dituntut untuk benar-benar memahami
karakteristik pemilih mereka agar tercipta loyalitas. Pemilih harus dilihat
sebagai bagian penting dalam demokrasi dan tidak semata dianggap sebagai objek
politik lima tahunan, agar hubungan jangka panjang dapat tercipta. Dalam
hubungan relasional, fungsi brand (merek) sangat penting.
Kontestan
pemilu harus mempunyai positioning
yang kuat di benak pemilihnya agar pemilih selalu ingat dengan kontestan
tersebut dan dapat dengan mudah membedakannya dari pesaing. Sebagai contoh,
jika suatu parpol memakai azas Islam pada pemilu 2009 lalu dengan tujuan untuk
meraih suara pemilih muslim, lalu tiba-tiba merubah ideologi parpolnya di
pemilu 2019 nanti menjadi azas nasionalisme demi meraih suara pemilih non-muslim, hal
itu akan membuat positioning parpol
tersebut menjadi bias. Hal terburuk yang dapat terjadi, parpol tersebut akan
kehilangan suara dari pemilih lama dan belum tentu mendapat suara dari pemilih
baru yang mereka incar.
Dalam
banyak kasus marketing, brand (merek) yang memimpin pasar cenderung untuk tetap
memimpin pasar. Sedang dalam politik, pihak yang berkuasa dapat jatuh dan
partainya menjadi tidak popular ketika sang pemimpin mengeluarkan kebijakan
yang tidak populis seperti menaikkan harga BBM. Khusus mengenai calon anggota
DPD alias non-partai, personal branding
mereka sangat menentukan. Dalam politik, selalu ada yang namanya musuh politik.
Latar belakang dan masa lalu seorang senator DPD bisa dilacak, terutama bagi
orang-orang yang tidak menyukai mereka, lalu disebarkan ke media massa dan
media sosial. Jika terbukti benar, maka sehebat apa pun kampanye yang mereka
lakukan, jika track record-nya buruk,
dapat dipastikan bahwa karir politiknya sudah selesai, bahkan sebelum dimulai.
1 comment:
Semoga makin banyak pemilih cerdas yang bisa memilih pemimpin dengan tujuan memajukan wilayahnya tanpa ada maksud lain dan tidak menggunakan isu untuk berkampanye
Post a Comment