Header Ads

Bangsa yang Membaca

EntrepreneurKreatif.com-Bangsa yang Membaca. Hari Buku Sedunia jatuh pada Minggu 23 Mei 2017. Dua hari sebelumnya, kita memperingati Hari Kartini yang tahun ini bertepatan dengan Jum’at, 21 April. Kartini sendiri lebih terkenal dibanding para pahlawan wanita lain di Indonesia karena seorang Kartini meninggalkan ‘jejak’ berupa tulisan, lewat surat-surat yang ia tulis dalam bahasa Belanda dan ditujukan kepada sahabatnya, Ny. Abendanon, yang kemudian dibukukan dengan judul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Tentu kita layak mengenang seorang perempuan cerdas seperti Kartini, dan memperingati hari kelahirannya setiap tanggal 21 April.Membahas mengenai buku, tentu tidak dapat dipisahkan dari literasi. Dalam bahasa Inggris, literasi ditulis literacy yang berarti melek huruf; gerakan pemberantasan buta huruf. Ada 3 tahapan yang umum kita kenal dalam membaca yakni illiteracy (buta huruf)-literacy (melek huruf)-dan multi literacy (multi media). Bangsa besar seperti Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara di kawasan Eropa telah melalui tiga tahapan itu. Di Jepang, sebelum era internet melanda, lazim ditemui orang yang duduk di bus atau kereta api sambil membaca buku sepanjang perjalanan. Siswa Sekolah Dasar di Eropa terbiasa bertukar buku dengan teman sekolahnya, untuk menghemat biaya membeli buku baru. 



Dulu, waktu bus kota masih banyak jumlahnya di Pontianak dan saya belum bisa mengendarai motor, saya sering membaca buku di dalam bus kota. Semua orang menatap saya dengan pandangan menyelidik, seolah saya adalah makhluk asing yang ‘tersesat’ di dalam bus. Sepertinya budaya membaca belum menjadi sebuah kebiasaan. Apalagi me-review buku yang usai dibaca. Meski ada beberapa pegiat literasi seperti Gerakan Kalbar Membaca dan Gerakan Ngemil Buku yang rutin berkunjung ke daerah-daerah di Kalbar demi mengampanyekan gerakan ‘cinta buku’.

Membaca Menentukan Nasib Bangsa

Bangsa yang senang membaca adalah bangsa yang ‘senyap’, tidak ‘berisik’. Karena kita harus fokus dan senyap saat membaca buku. Kecuali bagi orang-orang tertentu yang memang harus membaca buku dengan suara yang dibunyikan.  Ternyata, kata-kata sangat berpengaruh terhadap pembacanya. Dalam skala lebih luas, kata-kata yang dibaca itu sangat memengaruhi nasib sebuah bangsa.

Dalam buku Imagined Communities (Komunitas Khayal). secara sistematis Ben Anderson-yang merupakan pakar sejarah dan politik Indonesia pada abad ke-20 ini-menulis faktor-faktor utama yang menyebabkan munculnya nasionalisme di dunia selama tiga abad terakhir. Ben Anderson mengungkapkan sebab utama munculnya nasionalisme dan terbentuknya suatu komunitas khayal karena berkurangnya akses istimewa terhadap bahasa-bahasa tulis tertentu (mis. bahasa Arab), gerakan untuk menghapuskan gagasan pemerintahan ilahi dan monarki, serta munculnya mesin cetak di bawah suatu sistem kapitalisme (Ben menyebutnya, 'kapitalisme cetak'). Pendekatan materialis historis Anderson dapat dibandingkan dengan pendekatan individualis metodologis Liah Greenfeld atau Max Weber dalam "Nationalism: Five Roads to Modernity" (Nasionalisme: Lima Jalan menuju Kemodernan").
Melalui cetakan-cetakan surat kabar dan karya-karya novel, gagasan negara-bangsa itu lahir. Ben, antara lain menggunakan contoh novel Eropa lalu novel produk pribumi, seperti Semarang Hitam-nya Mas Marco Kartodikromo dan Noli Me Tangere-nya Jose Rijal (bapak bangsa Filipina). Surat kabar, yang disebut Ben sebagai bentuk ekstrem dari buku ini, turut memelopori bayangan akan bangsa, khususnya di negara-negara seperti Indonesia dan Filipina di masa penjajahan.

Ben dalam buku Hidup di Luar Tempurung (hlm. 125-126) menulis bahwa politik berkait erat dengan sastra melalui praktik anarkisme dan tulisan-tulisan avant-garde. Hal ini sebagaimana juga pernah dilakukan oleh beberapa tokoh pergerakan Indonesia, seperti Tirtho Adhi Soerjo dengan menulis prosa berjudul Cerita Nyai Ratna (1909), Boesono (1910), Nyai Permana (1912) yang lebih lanjut bisa dibaca pada buku Sang Pemoela karya Pramoedya Ananta Toer, juga oleh Mas Marco Kartodikromo lewat  Studen Hidjo (1918), Mata Gelap (1919), dan Rasa Merdika (1924). Tirtho dan Marco merupakan aktivis politik era pra-kemerdekaan.


Cerdas Memilih Bacaan

Saat ini di Kota Pontianak, komunitas membaca dan komunitas menulis menjamur bak cendawan di musim hujan. Tentu hal ini sangat menggembirakan, terlebih jika berbagai komunitas membaca dan menulis itu mampu mendongkrak rendahnya minat baca-tulis di Pontianak saat ini.  Terlebih, sebagian besar anggota dan pendiri komunitas itu adalah anak muda kreatif Kota Pontianak. Di samping itu, maraknya buku sastra di toko buku juga sangat mendukung atmosfer tersebut. Sebagai ‘konsumen’ buku, tentu kita harus cerdas dalam memilah dan memilih bacaan, mengingat betapa dahsyatnya pengaruh bacaan terhadap perubahan nasib sebuah bangsa. Jika buku nonfiksi-baik ilmiah maupun popular-mampu mencerdaskan otak kiri, maka buku fiksi (buku sastra) mempunyai efek yang lebih dahsyat karena kata-kata dalam sastra mampu menembus ke dalam hati para pembacanya.

Karena itu, cerdas memilih bacaan sangatlah penting. Jangan membaca bacaan ‘tanggung’ yang hanya membuang waktu dan tidak menambah ilmu bagi kita. Sebaliknya, bagi para penulis dan komunitas menulis, hasilkanlah karya terbaik yang mampu mencerahkan pembaca. Tentu, sebelum karya tersebut terlanjur dicetak menjadi buku, harus dilakukan bedah naskah secara intensif yang melibatkan semua komunitas menulis. Karena penulis adalah pembaca yang baik dan kritis. Elok sekali jika komunitas menulis A menyerahkan naskah anggota mereka untuk dibedah, dikritisi, di ‘bantai’ oleh komunitas menulis B, dan sebaliknya.

Sepertinya budaya mengkritisi naskah-alih-alih membedah buku yang sudah terlanjur dicetak, harus menjadi budaya para penulis dan komunitas menulis di Pontianak, jika ingin buku yang dihasilkan berkualitas dan layak baca. Sepahit apa pun kritik terhadap naskah kita, percayalah, itu seribu kali lebih baik dibanding jutaan endorsement (testimoni) yang ‘memabukkan’, terutama bagi para penulis pemula yang memang sangat membutuhkan kritik ketimbang testimoni. Tabik.


1 comment:

Tukang Jalan Jajan said...

Semoga makin banyak orang yang memiliki perpustakaan pribadi dirumah. Semua penulis bisa bahagia karena bukunya dibeli dan bukan beli bajakan

Powered by Blogger.