PULANG
Pulang
Kadang, antara
datang dan pulang, hanyalah soal perbedaan sudut pandang, seperti
ketika kita memandang separuh air bening di dalam gelas yang hening.
Apakah gelas itu separuh terisi atau separuh kosong? Apapun
jawabannya, tidak ada yang benar-benar benar.
Pulang. Sebuah kata
yang sangat kurindukan. Sepuluh tahun sudah aku merantau di Jakarta.
Akhirnya, sekarang aku bisa pulang ke Pontianak. Mumpung tiket
pesawat sudah murah. Atau barangkali daya beli masyarakat Indonesia
yang meningkat, sehingga barang yang dulu dianggap mahal, sekarang
bisa terjangkau.
Aku tiba di bandara
Soekarno-Hatta yang megah. Ini pertama kalinya aku naik pesawat. Aku
begitu cemas dan takut ketinggian. Namun disisi lain, aku juga tak
sabaran. Berbagai perasaan berkecamuk dihatiku. Aku ingat
pembicaraanku di telepon dengan ibuku-yang kupanggil Mamak-tadi
malam.
“
Jadi besok sore kau
sampai di Supadio ya?”, tanya Mamak.
“
Iya, Mak. Ardi jam
tiga sore berangkat dari Jakarta.”, sahutku.
“
Nanti Mamak sewa
oplet Bang Yanto ya? ”
“
Jangan, Mak. Ardi
naik taksi saja.”
“
Janganlah! Masak
anak Mamak yang sudah sepuluh tahun ndak balek
kampong
mau naik taksi? Mamak nyewa oplet biar Mamak, Bapak, Nenek, dan tiga
keponakanmu bisa sekaligus ikut menjemput.”
“
Baiklah, Mak.”,
aku tak kuasa membantah.
“
Besok pagi Mamak mau
ke Pasar Flamboyan. Mamak mau belanja dan masak asam pedas ikan patin
dan sayur paceri nenas kesukaanmu. Kami akan menyambut kedatanganmu,
Nak. Anak Mamak yang sukses merantau di Jakarta.”
Sukses? Ach! Rasanya
selama aku bekerja di sini, aku merasa lebih akrab dengan kata kerja
berawalan ‘di’ daripada kata kerja yang berawalan ‘me’.
Kata-kata seperti disuruh, diperintah, dicaci, diusir, dijambret,
dipalak, seolah begitu akrab dengan keseharianku, dan sekaligus
menunjukkan level pekerjaanku. Apakah seperti itu bisa disebut
sukses?
Aku
menyibak kerumunan manusia yang memadati Soekarno-Hatta. Orang-orang
bergegas menuju tujuan mereka masing-masing. Berburu dengan waktu.
Kerumunan manusia di depanku semakin bertambah sesak. Mengerucut di
satu sudut. Aku mendekati sumber suara itu.
“ Maskapai
penerbangan ini gimana, sih? Delay
mulu! Mana Saya sudah ditunggu sama Pak Gubernur lagi.”
“ Maaf,
Pak. Mohon ditunggu sebentar. Pesawat kami sedang mengalami kerusakan
teknis.”
“
Halah! Saya nggak
mau tahu! Saya minta ganti rugi! Sudah dua kali saya mengalami
kejadian ini. Saya sudah rugi waktu, tahu!”, ujar si Bapak sambil
menggebrak meja.
Aku
berlalu meninggalkan mereka.
****
“ Ayuh, cepetan
dihabisin atuh donatnya, Neng! Bentar lagi pesawat kita mau
berangkat.”
“
Idih, Mami! Sabar
atuh, Mi. Donatnya sampai belepotan nih. Si Mami gimana sih? Kan aku
malu kalo di pesawat nanti mulutku belepotan donat.”
Anak itu
terburu-buru menghabiskan donatnya, dan membuang kertas kecil
pembungkus donat di ruang kecil di antara kursi yang ia dan ibunya
duduki. Tiba-tiba anak itu berjalan ke arah dinding dan mengeluarkan
ponsel pintarnya. Sambil tersenyum manis, ia memotret dirinya
sendiri. Lalu ia kembali berpose dengan mulut dimoncongkan seperti
bebek. Setelah itu, ia duduk kembali di dekat ibunya, tepat di
depanku.
“ Idih! Kamu teh
ngapain lagi pake moto-moto segala? Potoin Mami dong sekali-sekali.”
“
Idih, Mami! Aku kan
mau upload
foto-fotoku ke Facebook. Mau aku pamerin ke teman-teman di sekolah.”
“
Cepetan atuh, Neng!
Pesawat kita udah mo berangkat tuh. Ntar kita ditinggal lagi.”
“
Bentar dong, Mi. Aku
lagi nulis tweet
nih, ngasih tau ke followerku
posisi aku sekarang. Followerku
nambah loh, Mi.”
****
Penumpang yang
terhormat, berhubung ada kendala teknis pada mesin pesawat,
penerbangan dari Jakarta menuju Pontianak kami tunda untuk waktu yang
belum dapat ditentukan, bunyi pengumuman dari pengeras suara. Para
penumpang mulai gelisah. Aku melirik jam tanganku. Setengah lima
sore. Gawat! Jam berapa aku sampai di Pontianak nanti? Jangan-jangan
sayur paceri nenasnya sudah keburu basi. Aku segera menelepon adikku.
Berkali-kali kutelepon, nomornya tidak aktif. Akhirnya aku mengirim
pesan singkat ke ponselnya.
Suara
keras seorang perempuan membuatku menoleh.
“
Iya, ini pesawatnya
rusak! Sedang diperbaiki! Mama mungkin malam baru sampai ke Ponti!
Bilang Papa, ya!”
Aku tersenyum. Suara
si Ibu mengingatkanku dengan cerita bibiku yang tinggal di Entikong,
perbatasan Kalimantan Barat dengan Sarawak, Malaysia. Karena di sana
sinyal ponsel sangat sulit dijangkau, terpaksa bibiku harus berteriak
setiap berbicara di telepon seluler, agar suaranya terdengar jelas.
Aku
duduk kembali di bangkuku. Di sampingku, duduk seorang pria setengah
baya. Ia menyalakan rokok, menghisap rokoknya dengan santai, seolah
lupa kalau ruangan itu ber-AC.
“
Mau ke Pontianak
juga, Mas?”, Ia bertanya.
Aku
mengangguk.
“
Kerja di mana?”,
tanya si Bapak lagi.
“
Saya kerja di
Jakarta. Di Priok.”, jawabku acuh.
“
Oh, buruh pelabuhan
ya? Hebat dong bisa naik pesawat.”
Sok
tahu! Darimana dia tahu kalau aku buruh?
“
Bapak kerja di
mana?”, tanyaku.
“
Sintang. Perkebunan
Sawit.”
“
Oh.”
Kembali sunyi. Si
Bapak tenggelam dengan ponsel pintarnya. Tiba-tibanya ponselnya
berdering. Ia mengangkatnya.
“
Iya, sayang.
Pesawatnya mengalami kerusakan teknis, mungkin jam sembilan malam
baru tiba di Supadio.”
Terdengar
suara perempuan di seberang sana.
“
Nanti jemput aku
sekitar jam delapan aja. Kita langsung ke hotel. Besok pagi baru aku
ke Sintang.”
***
Aku mencari tempat
duduk di dalam pesawat. Aku senang mendapat tempat di pojok dekat
jendela. Aku ingin merebahkan diri sejenak di kursi empuk itu,
setelah hampir tiga jam menunggu. Aku mengintip langit dari jendela.
Bintang-bintang bertaburan menghias malam. Indah, meski tanpa
kehadiran bulan. Didepanku, kudengar tiga orang ibu sedang berbincang
dengan suara keras,
“ Eh, Jeng,
kemaren aku baru pulang dari Paris loh.”, Ibu pertama membuka
pembicaraan.
“
Saya barusan dari
Bali, jenguk cucu yang baru lahir. Sekalian menghadiri peresmian
butik putri saya di sana.”, ujar si Ibu ketiga, tanpa ditanya.
“
Aduh, ke Paris mulu
nih Jeng Ratna. Ngapain aja? Ngeborong ya?”, tanya Ibu kedua.
“
Nggak kok, aku cuma
ikut suami studi banding aja.”
“
Hah? Studi banding
apaan, Jeng?” , Ibu ketiga nimbrung.
“ Studi
membandingkan harga tas Hermes di Indonesia dengan di Paris.”
Mereka
bertiga tertawa bahagia.
Sedang asik melihat
dari jendela, suara pramugari mengumumkan agar penumpang segera
mematikan ponselnya. Dua bangku disebelahku masih kosong. Aku
memejamkan mata , berusaha keras menenangkan diri agar tidak takut
ketinggian. Ketika pintu pesawat hampir ditutup, tiba-tiba dua orang
penumpang bergegas masuk, setelah ribut sebentar dengan pramugari
yang menjaga pintu. Seorang bapak setengah baya, dengan anak
perempuan berumur kira-kira sembilan tahun, tergesa mendekati dua
kursi kosong di sampingku. Si Bapak itu menghampiriku.
“
Maaf Mas, bisa
tukeran tempat duduk nggak? Anak saya pengen duduk dekat jendela.
Pengen lihat bintang dari dekat, katanya. Maklum, anak saya ini baru
pertama kali naik pesawat.”
Pontianak,
13 Maret 2014
No comments:
Post a Comment