Header Ads

Kisah Seorang Penulis Amatir

Kisah Seorang Penulis Amatir
Vivi Al-Hinduan


Seorang penulis amatiran kelas kacangan tengah girang bukan kepalang. Akhirnya ia mendapat kesempatan untuk membuktikan kualitasnya dalam menghasilkan cerita sesungguhnya, bukan sekedar cerpen. Selama ini si penulis amatir hanya mengirim cerita pendek-alias cerpen, melulu. Cerpen itu sendiri panjang halamannya hanya sekitar 6-8 halaman kuarto. Cerpen-cerpen picisan karya si penulis amatir bertebaran di media cetak lokal maupun nasional.

Si penulis amatir kini benar-benar serius  ingin menguji dirinya sendiri dengan mencoba mengikuti tiga buah lomba menulis novel yang sedang diadakan oleh tiga penerbit berbeda, dalam bulan ini. Ia begitu bernafsu ingin mengikuti ketiganya sekaligus-kalau perlu empat. Sialnya, karena terlambat mendapat informasi, ternyata garismati pengiriman karya ketiga lomba itu nyaris bersamaan, yaitu hingga akhir bulan ini. Dan yang dimaksud dengan akhir bulan itu tinggal seminggu lagi, terhitung sejak hari ini. Si penulis amatir pusing tujuh keliling. Yang mana duluan yang harus diprioritaskan untuk dikirim? Apakah bisa terkejar mengirim naskah ke ketiga penerbit itu sekaligus? Ach!

HARI KE-2
Si penulis amatir bingung harus memulai darimana. Apalagi mulai mengetik sepanjang 150-250 halaman A4, dengan spasi 1,5 dan font 12 Times New Roman, sesuai permintaan panitia lomba. Si penulis amatir membuka-buka file dokumen di komputernya, guna mencari ide. Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah file PDF berjudul Araki. Aha! Ini dia! Si penulis amatir senang bukan kepalang. Ia langsung membukanya.
Konon, kata orang, jika anda penasaran ingin melihat sisi gelap (orang) Jepang, cobalah tengok hasil karya Nobuyoshi Araki. Fotografer kelas internasional kelahiran Tokyo, 25 Mei 1940 itu begitu berani teramat sangat menampilkan foto-foto telanjang (bulat) yang mengeksploitasi habis-habisan seksualitas para modelnya, yang sebagian besar perempuan belia.
Janganlah anda bayangkan seksualitas yang terekam di kamera Araki San itu sebagai seksualitas yang lembut dan ‘malu-malu mau’ ala fotografer di tanah air. Sama sekali tidak. Model-modelnya berpose dengan juktaposisi yang sangat vulgar, liar, brutal, dan cenderung sadomasotik. Bahkan karya-karya fotonya lebih berani dibanding karya Ray Stuart, apalagi jika melihat fakta bahwa Araki lahir dan besar di sebuah negara timur seperti Jepang. Jika melihat hasil karya Araki, si penulis amatir tidaklah heran jika seorang Miyabi bisa terlahir di Jepang. Dalam salah satu fotonya, terlihat tiga orang model perempuan dalam keadaan telanjang (bulat) diikat dengan tali di lantai, dengan pose mengangkang indah. Wow!

Di foto yang lain, dua orang model perempuan diikat dengan tali berpose tunggang-balik (kepala kebawah dan kaki keatas) sambil ngangkang, tanpa busana. Ada juga pose seorang perempuan Jepang memakai Kimono tradisional yang tersingkap hingga perut. Tentu saja si model kebetulan sedang ‘lupa’ memakai celana dalam. Apakah Araki sengaja menunjukkan protes terhadap budaya masyarakat Jepang yang sedang ‘jungkir-balik’ saat ini? Entahlah. Bahkan sang fotografer tak segan memotret istrinya sendiri-yang sekaligus merupakan model dalam foto-fotonya, dalam posisi telanjang bulat, dengan kedua tangan menutupi kelamin. Persisi seperti pose para pemain bola yang sedang berderet di depan gawang sambil memegang ‘burung’ nya erat-erat.

Araki juga mengabadikan sebuah ‘kisah tak terungkap’ tentang dunia malam di Tokyo yang begitu kelam. Dalam foto hitam-putih yang ia beri judul Tokyo Contemporary’s SexualUnderworld I itu terlihat seorang perempuan dan dua orang laki-laki sedang (maaf) 3-somediatas sebuah ring kecil yang mirip ring tinju tanpa diberi tali pembatas, dihadapan para penonton-yang semuanya laki-laki-yang duduk manis di kursi masing-masing, seperti sedang serius menonton film kartun Pink Panther. Rasanya si penulis amatir harus minum tiga kendi Sake sampai teler, untuk mencari keindahan seni dibalik karya fotografi super cabul itu.

Dalam salah satu foto-foto karya Araki-tinggal di googling aja- yang sebagian besar hitam-putih itu , bahkan terlihat sang fotografer nyeleneh sedang berdiri memegang kameranya, disampingnya-atau lebih tepat di atasnya, seorang model berpakaian seperti seragam sekolah murid SMA di Jepang, sedang diikat dengan tali. Ada tulisan yang berisi pernyataan Araki tentang karya fotonya sendiri, “ I only tie-up a woman’s body because I know I can not tie up her heart. Only her physical parts can be tie up. Tying up a woman becomes an embrace.”
Sinting.

HARI KE-3
Karena muak dengan karya-karya Araki, si penulis amatir tidak jadi mengambilnya sebagai ide cerita untuk naskah novelnya. Ia terus membuka file-file yang ia simpan di dokumennya. Ada nggak ya yang menarik selain itu? Batin si penulis amatir. Akhirnya ia ‘bertemu’ dengan file-file lamanya. Ada file tentang kisah hidup pelukis Indonesia, Raden Saleh, ada juga file tentang sepuluh pelukis terkenal di dunia, yang semuanya ia salin-tempel dari internet. Hmm, sepertinya menarik juga jika mengangkat tentang kisah hidup seorang pelukis sebagai tokoh utama novelnya, pikir si penulis amatir. Si penulis amatir ingin membuat kisah Raden Saleh yang di-fiksi-kan, semacam novel biografi gitu loh. Tapi ia keburu ingat, kisah Raden Saleh sudah pernah ditulis orang lain dengan judul Rumah Dansa.
Bagaimana kalau aku menulis cerita tentang seorang lelaki yang berprofesi sebagaidancer? Sepertinya seru. Ia sudah menyiapkan nama untuk tokoh utama novelnya nanti, Ananta. Nama yang agak berbau sanksekerta. Si penulis amatir mulai mengetik dengan bersemangat.

HARI KE-4
Gawat! Batas terakhir pengiriman naskah tinggal tiga hari lagi. Cerita yang jadi baru satu. Tentang seorang pria berprofesi sebagai penari profesional, yang jatuh cinta setengah tewas dengan seorang mahasiswi S2 Filsafat UI. Wuih, keren! Si penulis amatir senang bukan kepalang. Si penulis amatir tak puas-puas membaca kembali naskahnya yang sudah ia jilid rapi dan siap dikirim itu. Tiba-tiba ia merasa ada yang kurang. Bukan cuma satu, tapi banyak. Naluri perfeksionisnya sebagai seorang melankolis tingkat kronis, memaksa si penulis amatir untuk melakukan hal ekstrem. Ia menulis ulang cerita setebal 150 halaman A4 itu dari awal. Gokil!

Ach, akhirnya selesai juga. Si penulis amatir senang melihat hasil revisinya. Ia memasukkanya kedalam amplop coklat besar. Siap dikirim. Sekarang tinggal dua lagi. Si penulis amatir begitu kelelahan. Kantung matanya tebal dan menghitam. Ia sudah kehabisan ide cerita. Tapi uang memang motivasi paling purba di muka bumi ini-selain seks, tentu saja, yang mampu memaksa siapapun untuk mati-matian mengejarnya.
Ngomong-ngomong soal seks, si penulis amatir teringat dengan Lucian Freud, cucu Sigmund Freud yang berprofesi sebagai seorang pelukis potret berdarah Yahudi itu. Lukisan-lukisan pria berkewargaan Inggris yang punya empat belas orang anak dari lima wanita yang berbeda itu, begitu nyata dan semuanya bertema telanjang, termasuk potret diri Freud sendiri. Freud juga pernah melukis supermodel Kate Moss dalam keadaan hamil tua. Seorang penawar gelap berhasil mendapatkan lukisan unik tersebut seharga US$ 7,29 juta.

Kenapa aku tidak menulis tentang dia saja? Sepertinya menarik.


HARI KE-5
Si penulis amatir akhirnya berhasil menyelesaikan naskah keduanya. Ia belum ingin mem-print-out nya, biar saja. Sekalian dengan naskah ketiga nanti. Bahkan naskah yang sudah siap kirim pun ia tunda. Biar saja, sekalian dikirim serentak dengan dua saudaranya ini, batin si penulis amatir. Biar seru.
Si penulis amatir berkhayal, seandainya ia mendapat juara satu untuk ketiga naskah novelnya sekaligus. Oh, betapa menyenangkan. Ketiga penerbit itu tentu akan langsung menyetak naskahnya menjadi novel, namanya pun akan terkenal. Sudah pasti novelnya akan laris, karena ia menang lomba. Uang yang ia dapat akan ia gunakan untuk liburan ke Bali.. eh, jangan ah. Bali mulu. Ke Gili Trawangan dong. Sudah lama si penulis amatir bermimpi ingin berlibur ke pulau kecil di seberang Pulau Lombok, NTB itu.
Ia tak sabar ingin ber-snorkeling-ria di Pantai Gili Trawangan yang jernih  berkilauan tertimpa sinar mentari pagi. Gili Trawangan merupakan salah satu dari trio ‘The Gilis’ , selain Gili Meno dan Gili Ayer. Di pulau kecil yang terkenal dengan alat transportasi berupa Cidomo ( cikar dokar motor) dan sepeda pancal itu, kendaraan bermotor dilarang hadir disana, karena hanya akan menyumbang polusi udara. Gili Trawangan dapat ditempuh dari Lombok dengan lama perjalanan sekitar lima belas menit menggunakan boat kecil. Jika dari Padang Bae, Bali, setidaknya butuh dua jam perjalanan dengan fast boat.
“ Uaaah..”, si penulis amatir menguap.
Ia terlelap di samping komputer yang menyala.

HARI KE-6
Tengah malam buta, ketika anjing-anjing saling menyalak seperti melihat hantu yang numpang lewat, lampu di ruang tamu sebuah rumah di komplek padat penduduk itu masih terang benderang. Di sudut ruang tamu itu, sebuah komputer dan printer menyala. Printer tua itu berdecit-decit kelelahan karena dari tiga jam yang lalu terus dipaksa ber-reproduksi tak kunjung henti. Beberapa kali pula komputer tua itu mati, karena salah satu komponen utama di dalam rahimnya, yang mirip baling-baling kipas angin itu, sudah tidak kuat lagi berputar.
Rupanya semua penyiksaan kejam itu adalah hasil kerjaan seorang penulis amatiran yang kurang kerjaan. Dari tadi, mesin printer itu terseok-seok ber-reproduksi, dipaksa melahirkan kertas-kertas lusuh yang di print-out (maaf, si penulis amatir belum menemukan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai EYD untuk kata print-out) dan keluar melalui vaginanya yang tua dan selebar jalan tol Cipularang.
Si penulis amatir sudah tiga kali bolak-balik ke dapur, menuang air panas dari dispensernya, demi menenangkan groginya dengan tiga bungkus kopi instan. Akhir-akhir ini, si penulis amatir sering terkena penyakit ‘insomnia buatan’, tidur larut malam-bahkan hingga subuh, demi mempersiapkan karya tulis terbaiknya untuk mengikuti tiga lomba menulis novel itu sekaligus. Rakus. Seperti tikus.
Batas akhir pengiriman naskah (cap pos) tinggal besok. Semua naskah sudah jadi, tinggal di print-out. Tengah malam menjelang subuh, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Sebuah SMS masuk, dari seorang lelaki yang selalu menggunakan kata sapaan dengan kasta tertinggi dalam bahasa Indonesia, Saya dan Anda, untuk menyebut dirinya dan si penulis amatir setiap kali ia mengirim SMS. Si penulis amatir sebenarnya benci sekali dengan segala formalitas itu. Kenapa kata Saya dan Anda seolah membentangkan jarak diantara mereka? Ingin rasanya si penulis amatir meruntuhkan tembok tebal itu hingga ia lelah dan berdarah. Hingga pecah semua gundah dalam dada. Ia benci sekali dengan fakta yang menyakitkan itu. Benci! Eits, tunggu dulu! Bukankah menurut para remaja alay era 80-an, kata benci adalah singkatan dari benar-benar cinta? Halah!
Oh, rupanya seorang pria yang pemalu dan tidak pintar merayu itu telah berhasil memporakporandakan susunan hati si penulis amatir yang selama ini tertata rapi. Bagaimana tidak? Dinegeri ini, dimana segalanya telah menjadi instan-termasuk proses dan hakikat (ber)cinta itu sendiri,  ternyata masih ada sesosok lelaki dewasa yang tentu saja masih perjaka, (sudah periksa?) yang malu-malu dalam berkomunikasi dengan perempuan.
Mesin printer itu tiba-tiba berhenti ber-reproduksi. Mungkin sudah saatnya ia memasuki masa menopause. Biarlah. Kopi instan di cangkir si penulis amatirpun sudah tandas. Sayup-sayup terdengar seruan iqamat dari kejauhan, tanda pergantian energi dari malam ke subuh sebentar lagi akan tiba. Proses tarian semesta yang gegap gempita itu akan dibuka oleh suara adzan subuh yang terdengar makin jauh. Jauuuh sekaliii tenggelam ditelan tsunami globalisasi yang melanda negeri. Si penulis amatir mematikan komputernya. Ia seperti tak kuasa lagi menahan kantuk. Ia tertidur lelap, hingga bahkan tak sempat lagi berucap: Lelakiku, aku sangat rindu.

No comments:

Powered by Blogger.