CERPEN: TAMU DARI ISRAEL
Tamu
Dari Israel
Vivi
Al-Hinduan
Desa Tanjung
Sengat gempar. Penduduk desa kecil di seberang desa Sungai Kepinding
itu kaget bukan kepalang. Kecolongan, barangkali kata yang tepat
untuk menggambarkan kondisi mereka saat ini.
“ Bagaimana
mungkin?” tanya seorang tokoh agama di desa itu.
“Kok
bisa?” tanya yang lain.
Syaugi,
seorang mahasiswa asli desa itu yang kuliah di Pontianak dan sedang
pulang kampung punya teori lain,” Pasti telah terjadi sebuah
konspirasi besar.Jangan-jangan dia seorang agen Mossad yang sedang
menyamar menjadi peneliti.”
Tak
lama, gosip pun segera menyebar seperti kanker ganas di seantero desa
kecil itu yang 99,99% penduduknya beragama Islam. Penyebabnya cuma
satu, datangnya seorang Sosiologasing berkebangsaan Israel yang
kebetulan pula beragama Yahudi, Benjamin Askadot, ke desa itu. Tentu
saja aku ikut disalahkan, karena akulah yang menemani Benji ke desa
itu.
Perkenalanku
dengan Benji terjadi sebulan yang lalu, ketika Aline Van Gobus
menelponku. Aline, dosen cantik di salah satu universitas swasta
ternama di Jakarta, wanita blasteran Cina-Belanda itu kukenal sewaktu
aku mengambil S3 Sosiologi di National University of Singapore,
Singapura. Aline mengambil S2 jurusan bisnis di NUS. Kami sering
bertemu di acara-acara yang diadakan oleh Perhimpunan Mahasiswa
Indonesia di Singapura dan KBRI di Singapura.Ia berusia duapuluh
tahun dibawahku dan hingga kini ia belum juga mau menikah.Aku ingat
percakapanku dengannya sewaktu dia menelponku bulan lalu.
“ Aku
sudah terlanjur menikahi pekerjaanku, Prof. Tampoy.”,ungkapnya
padaku.
“ Ah,
Aline. Sayang sekali ya? “
“ Hahaha…anda
mau mencobanya, Prof?”
“ Mencoba
apa? Melamarmu?Aach.”
“ KenapaAacch?”
“ Aku
rasa aku sudah terlalu tua untukmu. Lagipula..”
“ Ssst..aku
suka pria mapan.”, dia mulai menggoda.
“ Tapi
aku sudah menikah. Lagipula, kita beda agama.”
“ Kau
menyesal? Aku mendengar nada penyesalan di suaramu.”
Menyesal?Kenapa
kau tanyakan itu?Apakah aku menyesal karena telah menikah dan punya
empat anak?Apakah aku menyesal terlambat mengenalmu?Apakah aku
menyesali segala perbedaan diantara kita?Apakah aku menyesal tidak
berani menceraikan istriku demi kamu? Aku ingin mengatakan YA untuk
semua pertanyaan itu, namun kalimat yang keluar dari bibirku hanyalah
ini:
“ Bisa
ganti topik lain?”
*****
“ Bagaimana
anda bisa masuk ke Indonesia? dengan paspor Israel?”
Benjamin
Askadot mengangguk.
“ Tapi…”
“ Aku
punya kenalan di imigrasi dan bandara. Dia yang meloloskan Benji.
Yaah,,dengan sedikit fulus lah.”, sahut Aline santai.
“ Ooooh..”,
hanya itu kalimat yang mampu keluar dari bibirku.
Aku
begitu takjub melihat ulah oknum aparat negeri ini. Jangankan Yahudi
Israel, barang bekas saja bisa lolos dengan mudah.Bahkan sampah
negeri tetangga pun bisa masuk ke Indonesia asal dipoles dengan
duit.Naudzubilah.Tiba-tiba
aku merasa seperti orang suci yang muak melihat korupsi yang telah
menjajah negeri.
“ Prof.
Tampoy, setahu saya di Manado sudah lama ada penganut Yahudi.”,
ujar Benji dengan bahasa Indonesia yang kurang lancar.
“ Iya,
Prof. Benji ini sering loh ke manado ketemu komunitas Yahudi
disana.”, sambung Aline.
“ Berartii…ada
Sinagog ya di Manado?”, tanyaku lugu.
“ Setahuku
bahkan dulu di Surabaya pun ada, tapi pernah disegel massa. Entah
bagaimana nasib tempat itu sekarang.” Ujar Aline.
“Logikanya,
tak mungkin orang beragama tanpa rumah ibadah bukan?”, Benji
menambahkan.
“ Well
Jew,
welcome in Wonderland.”,
sahutku pasrah.
“ Come
on,
Prof. biasa ajalah. Bukankah negara anda menjamin kebebasan beragama
bagi warganya dan kebebasan menjalankan ibadah agama mereka?”, kata
Benji.
“
Hehe...speechless.”,
Aline Van Gobus terbahak.
“ Jadi
anda lulusanS3 Sosiologi dari Yale, dan sekarang bekerja di lembaga
penelitian milik pemerintah Israel?”, aku mengalihkan topik.
“ Iya,
saya tertarik meneliti tentang pengaruh internet terhadap perubahan
pola pikir masyarakat desa itu.”
“ Saya
bisa mengantar anda kesana. Tapi sekedar informasi, penduduk desa itu
bisa dibilang hampir semua muslim. Anda tahu, isu Yahudi dan Israel
sangat sensitif sekali.Saya tidak bisa membayangkan kalau mereka tahu
anda seorang Yahudi Israel.”
“ Memangnya
kenafa kalo saya Yahudi Israel? Ada yang salah, Prof?”
“ Benji,
please. Televisi dan internet sudah beberapa tahun masuk ke desa itu.
Kau tau berita apa yang sering mereka lihat tiap hari? Pembunuhan
muslim Palestina oleh tentara Israel.”, sahut Aline.
“ Tapi
aku bukan pembunuh, Aline! Aku peneliti, ilmuwan.Aku bukan Zionist!”
“ Mereka
tidak mau tahu itu, Ben. Yang mereka tahu hanya satu, kau Yahudi, dan
kau berasal dari Israel.Jelas?”
“ Tapi
aku bukan pembunuh umat muslim, Aline! Aku ilmuwan! Aku penganut
Yahudi yang anti Zionist..”
“ Oke,
enough
guys!
Aku yakin mereka tidak terlalu peduli dengan berita holocaust muslim
Gaza yang kalian debatkan. Karena mereka mungkin tidak pernah
menontonnya.”
“ Maksud
Prof mereka tidak suka nonton tivi?”, Benji terlihat bingung.
“ Oh,
tidak Ben. Justru sebaliknya, mereka sangaaat hobi menonton tivi dan
mengakses internet.Tapi aku yakin yang mereka tonton setiap hari
adalah sinetron dan berita gosip selebritis tanah air, dan yang
mereka lihat setiap saat di internet adalah gambar dan video porno
yang sangat mudah diakses.”
“ ………… “
*****
Malam
itu aku tak bisa tidur.Pertemuanku dengan Aline dan Benjamin tadi
siang memercikkan kembali kenangan masa lalu. Aline Van Gobuz ,
wanita berdarah kompeni dengan tinggi 168 dan berat 58 itu
betul-betul menggelitik otak kananku.Geli.
Aku
beristigfar.Disampingku terlelap istriku yang biasa kusapa Umi.
Maryam Bachdim, wanita berdarah Arab dengan hidung bangirnya yang
entah kenapa membuatku begitu tergila-gila. Membayangkan senyuman
Aline saja telah membuatku merasa berdosa terhadap wanita Arab yang
telah menemani hidupku selama 22 tahun dan memberiku empat anak ini.
Aku
ingat, tadi siang Aline bercerita tentang awal perkenalannya dengan
Benji.Mereka kenal lewat Facebook, lalu merambah ke Twitter, dan
saling curhat lewat blog masing-masing. Aku rasa tentu hubungan
mereka tambah akrab sekarang, karena Aline berani mengambil resiko
meloloskan seorang warga Israel ke Indonesia. Ach, rasanya mudah
sekali untuk jatuh cinta di era digital ini, tinggal buka
Facebooknya,saling memfollow di Twitter,dan selanjutnya tukaran nomer
hape. Hasil lebih penting dibanding proses, bukan?
Jadi
ingat, pertama kali mengenal Maryam. Aku bersahabat dengan Helmi
Bachdim, sepupu Maryam yang kebetulan rekan sesama dosen dikampus
tempatku mengajar. Helmi yang prihatin melihat usiaku sudah 34 dan
belum menikah, berinisiatif menjodohkanku dengan sepupunya, Maryam,
yang kala itu sudah berusia 32.Aku yang selalu kikuk berhadapan
dengan wanita, merasa mati kutu berhadapan dengan gadis Arab bertubuh
bongsor itu ketika pertama kali kerumahnya, itupun ditemani
Helmi.Kalau jadi salesman, barangkali aku bahkan tidak bisa menjual
pelampung kepada orang yang nyaris tenggelam.
Lama-kelamaan,
mulai timbul keberanian dalam diriku.Aku mulai merasa menjadi seorang
pria sejati.Aku memberanikan diri pergi sendirian kerumah Maryam
tanpa ditemani Helmi.Meskipun aku masih gemetaran berhadapan dan
berbicara dengan Ustad Ali Bachdim, ayah Maryam.Kopi pahit tanpa
gula, minuman kesukaan ayahmertuaku itu.Dengan perawakan yang tinggi
besar dan janggut lebat serta tatapan mata tajam khas Timur Tengah,
wajar jika aku langsung menciut berhadapan dengannya.
Hubunganku
dengan Maryam sempat ditentang ibuku.Beliau ingin aku mencari istri
seorang wanita Jawa yang usianya paling tidak sepuluh tahun
dibawahku, dengan perangai yang halus dan keibuan, taat pada
suami.Aku pikir, memangnya cuma wanita Jawa saja yang bisa seperti
itu?hingga akhirnya aku bisa meyakinkan Ibu agar mau menerima Maryam
sebagai menantunya.Tapi itulah proses. Tidak instan, dan butuh
waktu.Bahkan untuk membuat kopi instan pun dibutuhkan penelitian yang
tidak instan. Tapi bukankah kita akan lebih menghargai sesuatu yang
kita peroleh dengan susah payah ketimbang sesuatu yang bisa kita
dapatkan dengan mudahnya? Aku melirik Maryam yang terlelap
disampingku, dan rasa kantuk pun menyergapku.
***
Sok
tahu, itulah kata yang paling tepat ditujukan padaku .Ternyata
prediksiku keliru.Entah siapa yang menghembuskannya, tiba-tiba warga
Desa Tanjung Tungau heboh.Mereka tahu Benji seorang Yahudi.Bahkan
anak muda di desa itu beramai-ramai memeriksa dan menahan paspornya,
serta menginterogasi kami.
“ Hai,
Yahudi Laknatullah! Mau apa kau ke desa kami? Kamu intel Israel ya?
Ayo jawab!”, Syaugi berteriak lantang.
“ Tolong
dengarkan saya…”
“ Alah,
dasar kafir! Keluar kau dari desa ini !”
“ Syaugi,
tenang lah. Jangan main tuduh sembarangan..”, Aku berusaha
menengahi.
“ Prof.
Tampoy, anda muslim bukan? Kenapa anda bekerjasama dengan musuh
kita?Anda ingin menghancurkan Islam dari dalam?”
“ Syaugi,
jangan menuduhku sembarangan.”, emosiku mulai tinggi.
“ Sudahlah
Prof, jangan munafik. Bukankah Allah telah mengingatkan kita bahwa
Yahudi dan Nasrani itu musuh kita yang paling nyata?Kenapa anda
justru berteman dengan kaum laknat pembantai saudara-saudara kita di
Gaza? Berapa anda dibayar sama Askadot?”
“ Brengsek
kau, Syaugi! Apakah sesempit itu pemikiranmu sebagai mahasiswa?Apa
kau tidak bisa membedakan antara penganut Yahudi dan Zionist? Mereka
berbeda, Gi. Kau tahu, di negaranya, Benji dan teman-temannya sering
mendemo pemerintah Israel agar berhenti membunuh muslim Gaza,
berhenti membangun pemukiman Yahudi di Palestina, dan..”
“ Oh,
jadi sekarang Profesor malah membela mereka? Bagus.Prof, saya tidak
peduli Askadot ini Zionist atau bukan.Yang saya dan semua penduduk
desa ini tahu, dia seorang Yahudi dan dia berasal dari Israel.Titik.”
“ Kau
tau, dengan reaksimu yang seperti itu, berarti sama saja kau dengan
tentara Israel yang biadab itu. Mereka telah lama kehilangan sesuatu
yang membuat mereka layak disebut sebagai manusia, yaitu rasa
kemanusiaan itu sendiri.Dan sekarang kau ingin menghasut warga desa
ini agar menghakimi kami beramai-ramai? Perbuatanmu telah mengotori
ajaran Islam yang menghormati umat lain.”
Syaugi
terdiam.Wajahnya merah padam.
“ Syauki,
saya tidak salah. Jangan samakan saya dengan pemerintah kami yang
biadab. Sayapun bisa masuk ke Indonesia dengan mudah karena ulah
oknum aparat kalian yang mau meloloskan saya dengan imbalan uang.”,
Benji berusaha menjelaskan.
Akhirnya,
Syaugi dan beberapa pemuda desa itu pergi meninggalkan kami
berdua.Aku ingat, sewaktu mengambil S3 di NUS dulu, dalam sebuah
kelas hanya aku satu-satunya yang berasal dari Indonesia. Diantara 5
orang lainnya dalam kelas itu, 2 merupakan warga asli Singapura, 1
dari Vietnam, 1 dari Australia, dan 1 lagi seorang wanita dari Cina.
Dan materi yang kami bahas hari itu adalah mengenai budaya korupsi di
Indonesia.Reflek, aku menunduk malu dan rasanya ingin segera kabur
dari kelas.
Ajaib,tidak
satupun dari mereka menatapku sambil mengolok-olokku atau menuduhku
sebagai bagian dari budaya korupsi itu. Mereka semua tetap fokus pada
materi yang dibahas.Mereka mampu menunjukkan kedewasaan berpikir.Satu
lagi pelajaran penting yang kudapat hari itu.
***
“ Prof.
Tampoy dan Pak Benjamin, saya mohon besok pagi anda berdua segera
meninggalkan desa ini. Penduduk desa akan melaporkan anda berdua ke
polisi.”, Pak Ustad mengingatkan kami.
“ Afasalah
kami, Pak Ustad? Saya bukan Zionist.”, Benji berusaha menjelaskan.
“ Sudahlah
Ben, tidak ada gunanya. Mereka tidak peduli dengan perbedaan itu.”
“ Tapi,
Prof…”
Aku
mengacuhkannya.
“ Pak
Ustad, bukankah Islam itu ajaran yang rahmatan lil alamin? Rahmat
bagi semesta ini? Bagi semua umat diluar Islam?”,tanya Benji.
Pak
Ustad mengiyakan.
Benji
bertanya,” Pak Ustad, setahu saya Nabi Muhammad sangat mengayomi
umat Yahudi dan Nasrani sewaktu beliau menjadi Rasul?”
“ Benar,
Pak Ben.”
“kenapa
umat Islam saat ini tidak mencontoh apa yang dilakukan Nabi mereka?
Pak Ustad, saya sangat mengagumi ajaran Islam meskipun pemerintah
negara saya membenci kalian. Ajaran Islam sangat indah.Tapi kenapa
umat Islam, terutama di Indonesia dan di Timur Tengah, kehidupannya
sangat jauh dari ajaran Islam?Apa yang salah dengan kalian?”
Pak
Ustad terdiam.Kiranya terkejut mendengar pertanyaan yang baru kali
itu didengarnya.
Aku
jadi ingat sebuah anekdot tajam yang menyebutkan, disaat orang-orang
di Barat sana telah lama meninggalkan Tuhan mereka, umat Islam di
negeri ini justru telah ditinggalkan oleh Tuhan mereka. Miris.
Di
perjalanan pulang, Benjamin Askadot bercerita bahwa dia melihat
perbedaan mencolok antara makna pemakaian jilbab bagi para muslimah
di Palestina dan di Indonesia.Jika para muslimah di Palestina rela
mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan jilbab mereka dari rampasan
dan pelecehan tentara Israel, maka muslimah di negeri ini memaknai
jilbab hanya sebagai trend semata, bahkan melihatnya sebagai peluang
bisnis. Masya Allah.
Aku
mengatakan kepada Benji, jika Iran yang telah puluhan tahun diembargo
oleh Amerika Serikat saja mampu menerbangkan seekor monyet ke luar
angkasa,pemerintah Indonesia yang bersahabat erat dengan pemerintah
Amerika Serikat ini bahkan kewalahan mempertahankan permainan khas
topeng monyet ditengah gencarnya arus modernisasi dan globalisasi
yang melanda negeri ini.Bukan tidak mungkin, dalam waktu dekat
permainan rakyat itu akan diakui oleh Malaysia.Alangkah lucunya
negeri ini. Aach..
Pontianak,
09072011
No comments:
Post a Comment