CERPEN: SEMESTA YANG MERINDU SENJA
Semesta
Yang Merindu Senja
Sial!
Aku gagal mati kali ini. Tapi aku tak pernah menyesal. Setidaknya aku
telah mencoba. Dan akan mencobanya lagi, lain hari. Aku terbangun
dengan kedua tangan di borgol di tepi ranjang.
“
Semesta, bisa lihat
kami? ’’
Aku
mengangguk lemah. Hanya bayangan yang dapat kulihat. Samar.
“
Saya Dokter Amrul,
dan ini Komisaris Besar Manurung. Kamu sudah seminggu di sini.”
Aku
mencoba membuka mata. Pengaruh obat bius membuat mataku terasa berat
sekali. Perlahan kulihat seorang lelaki berjubah putih tersenyum
kepadaku. Di sampingnya, seorang lelaki tambun berseragam cokelat.
“ Beruntung sekali
kamu masih hidup.”, ujar si lelaki berseragam cokelat.
“ Kamu menggigit
lidahmu sendiri hingga nyaris putus, Nak. Kamu ingat?”
Aku
kembali mengangguk. Buat apa lagi aku hidup? Aku telah kehilangan
segalanya.
“
Usianya baru tujuh
belas, tapi ia harus menjalani hidup setragis ini. Kasihan sekali.”,
kudengar si lelaki tambun berseragam cokelat berbicara kepada lelaki
yang mengaku sebagai dokter.
“
Untung kamu selamat,
Nak. Kabar baiknya, besok sore kamu sudah bisa pulang.”, ujar si
dokter kepadaku.
Pulang.
Pulang ke mana? Ke Balai Bekuak? Mendadak semua bayangan itu
berkelebat di otakku. Perlahan merangkai sebuah kisah. Tentang senja
yang
dulu
hadir
menemaniku, kala mentari hendak beranjak pergi. Senja berwarna
jingga kemerahan yang
selalu datang diiringi senandung adzan, dulu. Senja yang sama, di
mana kisah ini bermula…
Balai
Bekuak,
Dua
Tahun Silam
Raksasa
itu menatapku dengan pandangan buas. Matanya yang lapar menjelajahi
tubuhku dari atas sampai bawah. Aku terdiam kaku, seakan terlempar
dari ruang waktu. Dia mendekatiku. Tangannya yang kasar menjelajahi
tubuhku. Aku ingin berteriak, tapi tangannya mencekik leherku.
“ Awas
kalau sampai ada yang tahu, kau akan kuusir dari rumah. Menggelandang
di jalan, dan nasibmu akan lebih parah. Tak ada satupun yang akan
peduli
padamu, Nak.”
Lalu dia menyeretku
ke dalam kamar. Dia menghempaskanku ke ranjang reot itu. Aku seperti
sebuah layang-layang putus yang kalah bersaing dengan layang-layang
lain yang lebih kuat. Tubuhku limbung diterbangkan angin. Aku goyah.
Tubuhku digesek tak kenal ampun oleh benang dari layang-layang itu.
Perih dan berdarah. Saat itu yang kuingat, senja sedang memerah di
langit Khatulistiwa. Rombongan Ruai sedang beranjak pulang menuju
sarang, membawa serta mimpi-mimpi indahku di kepakan sayap mereka .
Lalu semua menjadi gelap.
****
“
Istri macam apa,
kau? Selalu menceritakan kejelekan suami di sana-sini. Apa kamu tidak
malu suamimu jadi bahan gosip orang sekampung?”
“
Biar saja. Biar
semua orang tau kalau kamu selingkuh dengan janda itu.”
“
Hei, siapa yang
selingkuh? Jangan sembarangan ya!”
“
Halah, pura-pura.
Kalau untuk janda itu ada saja duitmu. Buat
anak bini selalu ndak
ada,
sudah habis lah. Nyesal
aku kawin sama kamu.”
“
Emang cuma kamu saja
yang nyesal? Aku lebih nyesal lagi. Kalau
ndak mikir orangtuamu, sudah kucerai kau dari dulu.”
“
Ceraikan saja! Aku
ndak takut!”
“
Udah setahun ini
kamu selalu nolak tiap aku minta melayaniku. Macam-macam alasannya,
takut hamil lah, udah ndak kuat lagi. Ah, dasar!”
“
Oh, jadi itu
alasanmu selingkuh dengan janda itu?”
“
Aku
ini laki-laki normal, Nung. Bisa
mati aku didiamkan setahun. Kau
kira aku patung apa?”
Aku menutup kedua
telingaku dan memejamkan mataku. Pertengkaran
itu baru reda menjelang adzan Subuh.
***
Sore itu rumah sepi.
Hanya suara tivi yang memecah sunyi. Ibuku tertidur di depan tivi.
Ketiga adikku sedang bermain bersama teman-teman mereka, seperti
biasa. Jam setengah tiga sore, biasanya Bapak belum pulang dari
kebun. Aku bersiap mandi di kolam belakang. Aku berjalan menuju dapur
yang panjang dan gelap. Aku mandi sepuasnya di kolam kecil itu.
Rasanya sudah lama aku tidak merasakan segarnya air. Aku ingin
membasuh semua kotoran ditubuhku. Ketika membuka kembanku dan
menggantinya dengan handuk, tiba-tiba, aku melihat mata itu
menatapku dari jendela dapur yang terbuka. Mata Si Raksasa. Mata yang
nyalang, siap menerkam. Seringainya membuat nyaliku rontok. Aku
bergegas naik ke rumah, tapi dia menghalangiku di pintu dapur,
“
Semesta, aku sangat
menginginkanmu.”
“
Tidak, aku mohon..”
“
Diam! “
Tangannya
yang kasar menyibak handukku. Ia menyeretku ke pojok dapur.
***
“
Siapa yang
menghamilimu, Semesta? Buruh-buruh sawit itu ya? Jawab! “, Ibu
membentakku.
Aku
mengangguk. Bukankah Si Raksasa itu juga salah satu dari mereka?
Plaaak..!
Sebuah tamparan mendarat di pipiku.
“
Sudah kubilang
jangan pernah dekati mereka! Mereka itu kotor, najis seperti
bapakmu!”
Ibu mengamuk seperti
kesetanan. Ia menamparku bertubi-tubi.
“
Sudahlah Nung,
cukup! Kita suruh saja dia menggugurkan kandungannya.”, ujar Bapak.
“
Tidaaak! Sampai
kapanpun aku tidak akan menggugurkannya! “
“
Kalau begitu
sebutkan namanya. Ibu akan memaksanya menikahimu.”, sahut Ibu.
Aku
menyebut nama Si Raksasa. Dan Ibu kembali memukulku.
***
Tuhan,
Kamu dimana? Aku belum selesai bercerita. Malam itu, Ibu membawaku ke
rumah seorang dukun beranak. Aku
dipaksa minum ramuan tradisional buatan si dukun. Aku menolak. Tapi
si dukun itu memaksaku meminum ramuan itu. Akhirnya tertelan juga.
Rasa panas membakar kerongkonganku. Aku muntah. Ibu membawaku pulang.
Di tengah jalan, tak henti ia memarahiku.
“
Dasar anak tak tau
diri! Bikin malu keluarga! Siapa yang mau tanggungjawab mengurus
anakmu kelak? Tidak ada, Semesta! Jangan mimpi, kau!”
“
Aku, Bu. Biarlah aku
yang akan mengasuh sendiri anakku.”
“ Omong
kosong! Kau bisanya cuma bikin malu aku, Semesta! Sama
saja kau dengan bapakmu itu!”
Sampai
di rumah, aku kembali dipaksa Ibu meminum ramuan itu lagi.
****
Positif.
Dokter di Rumah Sakit Agoes Jam, Ketapang, memberitahuku bahwa aku
positif tertular Virus HIV dari Si Raksasa. Aku menderita AIDS. Dia
adalah dokter kandungan yang mengkuretase rahimku. Ya. Aku keguguran.
Seminggu kemudian,
aku sudah diperbolehkan pulang ke Balai Bekuak, desaku yang jaraknya
tiga ratus kilometer dari Kota Ketapang, dengan menempuh perjalanan
darat kurang lebih delapan jam dengan sepeda motor. Di sini, listrik
menyala hanya dua belas jam, dari jam enam sore sampai jam enam pagi.
Selebihnya hanya sunyi.
***
Setelah
hampir dua bulan mengurung diri di rumah, malam itu, ketika Ibu pergi
melayat tetangga kami yang meninggal ditabrak truk tadi sore, Bapak
memanggilku ke kamarnya. Ia minta dipijit.
“
Semesta, apakah kau
merindukanku?”, tanya Bapak.
“
Jangan, Pak. Aku
mohon..”
Bapak
membelai lembut pipiku. Aku berlari keluar dari kamarnya dan menuju
dapur. Ia mengejarku ke dapur. Entah setan apa yang menggodaku,
secara spontan aku meraih pisau dapur yang tergeletak di atas meja
makan. Aku menusukkan pisau itu tepat ke dada Bapak berkali-kali
sambil berteriak marah,
“
Ini untuk
perbuatanmu yang telah merusak tubuhku!”
Aku
menikamnya lima kali.
“
Ini untuk janin yang
terpaksa kugugurkan!”
Aku
menikamnya sepuluh kali.
“
Dan ini untuk
penyakit terkutuk yang kau tularkan kepadaku!”
Aku
menikamnya lima belas kali.
Adik-adikku
berhamburan ke dapur. Mereka menjerit dan menangis. Bapak roboh ke
lantai. Darah membasahi tangan dan bajuku. Si Raksasa itu sudah mati.
****
Aku sakit. Sejak
mendekam di penjara ini, aku sudah dua kali dilarikan ke Rumah Sakit
Bhayangkara. Dokter yang memeriksaku mengatakan bahwa virus HIV telah
menyebar di tubuhku. Waktuku mungkin tidak lama lagi. Tapi, bukankah
kematian itu indah? Seindah senja tak pernah abadi. Aku tak sabar
menjemputnya.
Tuhan, aku rindu
Kamu, seperti secangkir kopi hangat yang merindukan gerimis pagi. Aku
tak sabar ingin bertemu Engkau, sebentar lagi. Tunggu aku ya, Tuhan
sayang. Kita
akan segera bertemu di
kala senja
tiba,
bermain bersama sekawanan Ruai di Balai Bekuak seperti dulu. Ya.
Sebentar lagi.
Pontianak,
28 Februari 2014
No comments:
Post a Comment