Header Ads

Cerpen 'Warung Bu Asih'

Cerpen Warung Bu Asih

Vivi Al-Hinduan

Pukul enam pagi. Suara bising kendaran bermotor, berpadu dengan riuhnya anak-anak sekolah yang berebut tempat duduk untuk sarapan bubur sebelum memulai pelajaran, dan teriakan para supir bus antar kota, adalah pemandangan sehari-hari yang sudah akrab bagi Bu Asih. Lokasi warungnya yang berdekatan dengan Taman Kanak-Kanak dan sebuah SMP, serta berada di pinggir jalan raya, tak jauh dari terminal bus antar kota, adalah konsekuensi yang harus dihadapi perempuan berusia setengah abad itu.

Sudah lebih dari sembilan tahun Bu Asih membuka warung di daerah itu. Setiap Senin hingga Sabtu, jam lima subuh, ia dan Warni, anak perempuannya yang sudah lulus SMA tahun lalu, datang ke warung dan mempersiapkan segalanya. Bu Asih menjual bubur dan nasi kuning untuk sarapan. Juga kopi, teh, dan kopi susu serta penganan tradisional yang sangat digemari para supir bus yang selalu berkunjung ke warungnya.



Setelah anak-anak masuk sekolah dan para supir bus kembali ke terminal, Warmi dan Bu Asih segera mencuci piring. Kadang, mereka tak sempat beristirahat sejenak karena datang rombongan kedua sekitar pukul sebelas siang, para ibu yang menjemput anak mereka di TK. Mereka memesan nasi kuning atau bubur, jika masih tersisa, atau kadang sekadar  duduk sambil minum teh dan kadang kopi susu, sambil menyantap kue dan bergosip. Kebiasaaan terakhir ini baru berakhir saat Bu Asih hendak menutup warungnya, ketika adzan Zuhur terdengar.

Seperti siang itu, beberapa ibu membawa anak mereka yang baru keluar dari TK, sibuk bergosip di Warung Bu Asih. Bu Asih mencuri dengar pembicaraan mereka, tanpa ikut menyahut. Mereka tengah asyik membicarakan tentang  ibu dari seorang murid baru di TK itu.
“Dia pindahan dari Bali, ya?” seorang ibu muda bernama Tina membuka pembicaraan.
“Iya. Tapi bukan orang Bali asli. Nggak tahu aslinya orang mana,” sahut yang lain.
“Tinggal di mana sih dia di sini?” Bu Desi yang terkenal usil dan cerewet menimpali.
“Nggak jelas juga ya, Bu. Katanya sih ngontrak di dekat sini,” Bu Tina menjawab.
Bu Asih yang mendengar jadi ikut penasaran. Ia merasa sosok yang mereka perbincangkan belum pernah mampir ke warungnya.

Di lain waktu, pernah juga dua orang guru SMP mampir untuk minum di warungnya. Bu Asih menyimak perbincangan mereka yang terdengar serius.
“Luar biasa, ya? Satu ton lho buku yang mereka jual ke tukang loak,” ujar seorang guru perempuan.
“Saya nggak habis pikir, Bu. Mau jadi apa wajah pendidikan di negeri ini, kalau oknum pegawai perpustakaan daerah tega menjual buku perpustakaan ke tukang loak,” seorang guru berhijab menyahut.

“Padahal di lembaga sosial yang didirikan anak saya, butuh banyak buku untuk disalurkan ke daerah-daerah terpencil, terutama di perbatasan,” ujar ibu guru berambut ikal itu sambil menyeruput teh manis.
Bu Asih hanya beristigfar dalam hati.
***
Hari ini Minggu. Warung Bu Asih tutup. Setiap minggu, Si Abang, panggilan anak tertuanya yang sudah menikah dan tinggal dengan mertua, selalu berkunjung membawa anak-anaknya. Mona, menantu Bu Asih tidak pernah ikut, kecuali jika ada kenduri. Kali ini, Bu Asih sudah memasak sayur ikan asam pedas kesayangan cucu-cucunya.

“Saya sudah berhenti kerja, Mak. Di PHK.”
Bu Asih terkesiap mendengar penuturan Budi, nama asli putranya itu.
“Jadi sekarang Abang kerja di mana?”
“Belum ada, Mak. Kemaren sudah masukkan lamaran jadi supir, tapi belum ada panggilan.”
“Istrimu apa kabar? Kenapa jarang ke sini?”                                  
“Baik.”
Cuma itu jawaban Budi.
***
Namanya Kartika. Itu yang Bu Asih dengar dari para ibu tukang gosip itu. Kata mereka, orangnya putih, tinggi, berambut hitam panjang, dan selalu menyetir mobil sendiri. Perempuan itu punya pekerjaan yang sangat tabu di telinga Bu Asih.

“Ssst..dengar-dengar katanya dia PSK loh di Bali,” ujar Bu Desi dengan wajah penuh gosip.
“Hah?? Yang benar, Bu? Pantesan mampu tinggal di Bali, ya? Biaya hidup di sana kan mahal,” sahut Bu Tina.
“Pasti pelanggannya bule semua. Ekspatriat, Jeng,” Bu Rita menimpali.
“Berapa, ya, tarifnya semalam?” timpal Bu Dian sambil tertawa.

Bu Asih makin penasaran dan tak sabar ingin melihat sosok wanita itu. PSK? Bu Asih merasa jijik.
Usai rombongan ibu-ibu itu berlalu, Bu Asih dan Warni bersiap menutup warung. Tiba-tiba, sebuah sedan putih berhenti tepat di depan warungnya. Seorang anak perempuan berseragam TK membuka pintu mobil dan langsung masuk ke warungnya.

Tak lama, muncullah sosok itu. Persis seperti yang digambarkan para ibu, perempuan itu memang cantik. Putih, tinggi seperti seorang model atau artis sinetron yang sering dilihat Bu Asih di layar kaca. Bu Asih terkesiap.

“Mama, aku mau beli permen lollipop itu,” ujar si bocah.
“Berapa harganya, Bu?”
“Eeng..seribu rupiah, Mbak,” Bu Asih tergagap.
“Saya Kartika,” perempuan itu mengulurkan tangannya. “Ibu yang namanya Bu Asih, kan? Saya sering dengar dari ibu-ibu yang sering sarapan di sini. Katanya bubur buatan Bu Asih enak.”
“Eeh, iya. Aduh, makasih Mbak.”
“Oh ya, Bu. Saya lagi cari supir buat ngantar saya kerja. Capek juga ke mana-mana nyetir sendiri. Kalau Ibu ada kenal orang yang bisa nyetir, hubungi saya, ya?”
“Iya, Mbak.”
***
“Mona minta cerai, Mak.”
Astagfirullah…”
“Katanya dia nggak mau ngurusin pengangguran kayak Abang.”
“Emak emang sebenarnya ndak suka dengan perempuan itu dari dulu. Sombong. Mentang-mentang anak pensiunan pejabat.”
”Abang juga sudah ndak sanggup nurutin gaya hidupnya. Udah kayak artis aja tiap minggu mesti ke salon.”
“Jadi, sekarang Abang kerja di mana?”
“Belum ada, Mak. Pusing.”
“Ada ibunya murid TK yang di samping warung Emak itu. Dia  lagi butuh supir. Tapi…”
“Kenapa, Mak? Abang mau kerja di situ. Abang ada SIM A.”
“Bukan masalah itu.”
“Terus?”
Bu Asih menceritakan semuanya.
***


3 bulan kemudian

Sejak resmi bekerja sebagai supir pribadi Kartika tiga bulan silam, kehidupan Budi mulai membaik. Setiap malam Minggu, ia selalu siap mengantar Kartika pergi, dan baru tengah malam pulang. Sore itu, Budi menyempatkan diri mampir ke rumah ibunya, sebelum mengantar Kartika pergi.
“Iya, Mak. Setiap malam Minggu, Mbak Tika dan putrinya berkeliling kota. Kadang mereka baru pulang tengah malam,” ujar Budi.

Dari  Budi, Bu Asih tahu bahwa yang digosipkan para ibu selama ini tidak benar. Memang Kartika selalu keluar setiap malam Minggu dan baru pulang menjelang tengah malam, namun bukan menjadi PSK seperti yang diduga Bu Asih selama ini.

“Dia membagikan nasi bungkus ke para gelandangan dan pengemis yang tidur di pinggrir jalan. Kadang juga ke panti asuhan membawa putrinya,” ujar Budi.

Kini, Bu Asih tidak menghiraukan lagi omongan negatif para  ibu tentang Kartika. Kartika juga berbisnis online dari rumah, menjual baju dan tas wanita demi  menghidupi dirinya beserta putri semata wayangnya, sejak bercerai dengan suami tiga tahun silam. Kadang, sebulan sekali, Tika dan Inge, putrinya, berkunjung ke rumah Bu Asih. Diam-diam, Bu Asih berharap suatu saat kelak, Kartika dapat menjadi menantunya. Bu Asih yakin, tak ada yang tak mungkin bagi Tuhan, yang Maha membolak-balikkan hati manusia.

Pontianak, 9 Februari 2016
(telah dimuat di Harian Pontianak Post pada Minggu, 17 April 2016)














No comments:

Powered by Blogger.