CERPEN: SENJA DI KHATULISTIWA
Aku adalah seorang lelaki. Lelaki
yang gagal, tepatnya. Ya, gagal di semua bidang kehidupanku. Di usia 59 ini,
aku ditinggal oleh anak-anakku. Kini aku terbaring lemah di ranjang setelah
menjalani operasi by-pass bulan lalu. Aku menunggu kedatangan mereka dan
anak-anak mereka, cucu-cucuku yang sangat kusayangi lebih dari apapun di dunia
ini. Bulan lalu Ivan dan Mia beserta kedua anak mereka datang menjengukku di
rumah sakit. Hanya sekali saja. Lalu Nina dan suaminya, Budi, juga menjengukku.
Setelah itu tidak pernah lagi. Mereka tenggelam dengan kesibukan masing-masing.
Dosakah mereka?
Oh, andai hidup bisa kuputar
kembali, aku akan berusaha menjadi ayah yang lebih baik bagi mereka. Selama ini
aku terlalu keras mendidik mereka, demi
memuaskan egoku sendiri sebagai seorang ayah.
Dan akibatnya, anak-anakku tumbuh menjadi orang yang keras kepala dan
suka membantahku. Salahkah aku?
Ivan, sulungku yang sangat
kubanggakan dan kupaksa kuliah di Fakultas Kedokteran, ternyata harus tersiksa selama
bertahun-tahun menjalani kuliahnya, terutama masa-masa co-ass yang melelahkan
itu. Sebenarnya ia ingin masuk jurusan Teknik Informatika, tapi aku memaksanya
menjadi dokter, dengan alasan bahwa di negeri ini profesi dokter sangat
menjanjikan secara materi. Sesungguhnya itu hanyalah pelampiasan dendamku pada
masa lalu. Dulu aku gagal menjadi dokter karena tak punya biaya. Ia hanyalah
korban keegoisanku. Sekarang setelah ia menjadi dokter, jangankan membalas
jasa, masih ingat sama orangtua saja sudah syukur. Ia sibuk dengan
pekerjaannya. Dan istrinya? Oh, istrinya yang juga dokter itu, menantu yang
sangat aku banggakan, ternyata ….
Lelaki
itu menerawang. Matanya menatap jendela kaca kamarnya yang kusam. Dari halaman
depan, tampak istrinya yang hampir setua dirinya, sedang membeli sayuran dan
berjalan masuk ke rumah. Rumah itu senyap. Betapa ia sangat merindukan suara
cucu-cucunya. Matanya terpaku menatap foto keluarga di dinding kamar, beberapa
meter di depan ranjangnya. Foto sewaktu ia masih menjadi Camat. satu-satunya
jabatan tertinggi dalam karirnya, setelah diberhentikan enam bulan sebelum masa
pensiunnya. Oh, betapa kejamnya permainan politik negeri ini.
Di
foto itu tampak Ivan, putra sulungnya memakai toga dan jubah wisuda hitam. Hari
itu ia berhasil memperoleh gelar S. Ked yang ditempuhnya dengan susah payah,
sebelum terpenjara kembali di pengapnya
rumah sakit sebagai seorang co-assistant.
Lalu kedua putrinya, Ludi dan Nina. Ludi, dimana dia sekarang? Pikirannya
menyeretnya ke sebuah lorong waktu…
“ Kamu gila apa? Dikuliahin mahal-mahal di Akuntansi, eh
malah mau jadi sutradara film dokumenter. Aku nggak ngerti jalan pikiranmu.”
“ Itu karena Papa yang nggak pernah mau belajar mengerti aku.
Aku sudah turuti semua kemauan Papa, kuliah di jurusan sialan itu sampai
kepalaku mau pecah. Sekarang aku sudah lulus. Biarkan aku hidup dengan caraku
sendiri, Papa ! “
Ludi,
putri bungsunya yang tomboi dan keras kepala itu sering membuatnya kesal. Anak
itu selalu melawannya. Setiap hari selalu saja mencari masalah dengannya.
Kenapa anak itu begitu keras? Apa
karena sifatnya terlalu mirip denganku? Lelaki itu membatin.
Putri
keduanya, Nina. Seorang guru kesenian di sebuah SMA Negeri favorit di
Pontianak, yang juga almamaternya sendiri. Ia cantik, cerdas, lulusan S1
Keguruan dengan predikat cum laude,
berbakat di bidang lukis dan musik. Dan diatas semua itu, Nina adalah seorang
PNS. Yah, putri yang sangat mereka sayangi. Dia mengikuti jejak ibunya, menjadi
guru. Dan menjadi PNS, sesuai keinginan sang ayah. Paduan profesi yang mulia.
Oh, tapi ada masalah, si pelukis itu. Siapa dia?
“
Assalammualaikum. Nina nya ada, Om?”
Lelaki
itu menatap pemuda kerempeng dihadapannya. Kurus, tinggi, rambut gimbal,
panjang, dan tak terurus. Begitu kumal. Ditambah dengan kumis dan sedikit
jenggot di dagunya yang membuatnya tampak seperti seorang seniman, sebuah
pekerjaan yang kurang kerjaan.
“ Oh,ada..baru pulang
ngajar, mungkin lagi mandi. Ada perlu apa ya? “
“ Saya Budi, dari
Sanggar Lukis Mandala. Kemarin Ibu Nina ada telpon saya, katanya lusa mau
ngajak murid-muridnya melihat sanggar kami. Kebetulan ada pameran lukisan dan
fotografi di Taman Budaya Kalbar. Saya bersedia menemani.”
“
Oh, silahkan masuk dulu, Mas. Sebentar, saya panggil dia.”
Sejak
itu Budi sering kerumahnya. Dan putrinya juga sering pergi menghadiri pameran
seni. Mulai dari Taman Budaya, Mega Mall, hingga hotel bintang tiga. Tapi kali
ini dia sendiri, tidak bersama murid-muridnya. Oh, tidak. Dia tidak sendiri,
tapi berdua dengan si pelukis itu.
Hingga
di suatu senja yang cerah di langit Khatulistiwa….
“
Pa, Nina akan menikah dengan Budi.”
“
Apa? Kamu serius?”
“
Iya, Pa. Kami sudah saling mengenal tiga bulan ini. Nina nggak mau lama-lama pacaran, takut dosa.”
“Kamu
tau kan Si Budi itu cuma pelukis yang kerjanya nggak jelas?”
“
Lha, kerjanya jelas, Pa. dia pelukis. Tenang aja, Nina sudah mempertimbangkan itu jauh-jauh hari.”
“
Termasuk menafkahi dia?”
“ Memang profesi seperti pelukis, penulis, dan
pemusik kurang dihargai di negeri kita. Masyarakat kita terlalu mendewakan
punya mantu dokter, karyawan bank, politikus, sampai anak pejabat.”
“
Kamu udah tau itu kan? Kenapa masih nekat? “
“
Karena kami ingin memulai semua dari nol. Sejak awal Nina memang ingin cari
suami yang belum mapan. Kami akan
membangun rumah tangga bersama, menikmati
suka dan duka berdua. Nina sadar,
di awal pernikahan, kesulitan ekonomi pasti akan sangat terasa sekali. Ya,
itulah hidup. Justru disitulah kesetiaan kami akan diuji.”
“
Tapi Nin, apa bisa dia menanggung kamu? Apalagi kalau kalian nanti punya anak.
Kamu jangan terlalu idealis kenapa sih?
Realistis sedikitlah.”, istriku menasehati.
“
Ma, Budi itu serius dengan pekerjaannya.
Kemarin dia barusan menjual
lukisannya seharga sepuluh juta rupiah, yang beli seorang anggota dewan. Rezeki
itu sudah diatur Allah, nggak mungkin
ketukar. Kenapa mesti takut? Insya
Allah dia sanggup menafkahi Nina. Yang penting dia bisa mengatur keuangan.”
Dadaku
sesak mendengar perkataan Nina. Ini tidak mungkin terjadi. Tidak ada sejarah di
keluarga kami yang menikah dengan seorang seniman yang hidupnya tidak jelas.
Mandi saja jarang.
“
Pokoknya Papa tidak setuju! Kalau kamu
masih nekat ingin nikah sama laki-laki nggak
karuan itu..silahkan keluar dari rumah ini.”
“
Baiklah, Nina akan pergi. Assalamualaikum ..”
Jantungku
sakit. Sesak seperti akan meledak. Aku berusaha bernapas. Pandanganku kabur.
Aku jatuh pingsan.
Aku adalah seorang lelaki. Lelaki
yang gagal, tepatnya. Ya, gagal di semua bidang kehidupanku.
“
Pak, bisnis batu antik kita gagal lagi. Padahal pembeli sudah mau membayar
sepuluh milyar. Maharnya satu milyar. Tapi
yang punya barang ndak mau
jual.”
“Aah,
sudah! Kamu pulang aja, saya capek.
Kamu gimana sih, Jon? Aku sudah kasih
uang transport dua juta untuk pergi cari pemilik barang antik, tapi gagal
terus. Hitung-hitung uangku sudah hampir sepuluh juta habis nggak ada hasil.”
Hahaha, salah sendiri kenapa mau
ditipu, bahlol ! dasar pecundang. Kemarin sudah gagal jadi Walikota. Sekarang
mau jadi Caleg, tapi nggak punya duit. Payah!
“ Waduh, lupa. Aku mau nelpon Si Yanto dulu.
Udah enam bulan dia nggak setor duit.
Nggak ada berita lagi.”
“
Pak, kemaren saya ketemu Yanto. Dia beli motor baru, Jupiter Mix lagi. Istrinya
pakai kalung emas, belum lagi gelang emas berderet di tangannya.wuiih, kayak
nyonya besar aja. Padahal katanya pangkalan minyak Bapak rugi terus, kok bisa
ya? Jangan-jangan Bapak ditipunya. Hati-hati, Pak.”
“
Alah, bilang saja kamu iri sama dia. “
“
Sumpah, saya jujur, Pak. Dia itu penipu besar! Semua orang udah tau, Bapak aja
yang bego.”
“
Hah??! “
Aku
mendengar suara merdu Ebiet G Ade mengalun lembut dari audio di ruang tamu.
Istriku yang memutarnya. Oh, istriku yang setia. Betapa selama aku tak pernah
menghargainya? Bahkan mengucapkan terima
kasih pun tidak.
Sekarang aku tengah tengadah ke
langit/ berjalan diatas bintang-bintang/ bersembunyi dari bayang-bayangku
sendiri/ yang sengaja kutinggal diatas bukit….
Diluar
hujan mulai turun membasahi Khatulistiwa.
Barangkali tangan-Mu tak kan lagi
mengejarku/ untuk merenggut segenap hidupku/ aku yang bersembunyi dibawah
kulitku sendiri/ kapan lagi akan mampu berdiri…
Oh,
betapa jujurnya lagu itu. Lagu yang menceritakan seseorang yang berusaha lari
dari kematiannya. Paradoks dengan judulnya, Hidup III. Ah, betapa selama ini
aku sudah menipu diriku sendiri? Berpura-pura menjadi lelaki yang sukses,
padahal mungkin sebaliknya.
Ingatannya
menerobos ruang waktu. Menembus dinginnya hujan…
“
Wah, hebat Pak. Yang positif bakal
memilih Bapak sekitar empat ribu orang di kecamatan ini. Semua orang mengenal
Bapak sebagai mantan Camat yang paling top. Mereka semua berharap Bapak dapat
mewakili mereka di DPRD nanti.”
“
Oh, tentu. Dari kemarin juga orang-orang bilang begitu. Mereka optimis memilih
saya. Banyak yang minta kalender dan kartu nama saya.”
Tak
jauh dari situ…
“
Ah, ngomong jak. Siape nak mileh orang tue? Sekarang jamannye anak mude
tampil.”
“
Ha-ah. Udah pension maseh jak selak
nak maju. Kemaren gagal jadi Walikota, sekarang nak jadi Caleg pulak. Halah! “
Lagu
Ebiet kembali mengalun merdu. Lelaki itu menggigil kedinginan. Bayang-bayang
masa lalu berkelebat di ingatannya. Telinganya berdengung. Kepalanya berat. Ia
terbaring pasrah menanti ajal.
Lihatlah kedua belah tanganku/ yang
kini nampak mulai gemetaran/ sebab ada yang tak seimbang/ antara hasrat dan
beban/ atau mungkin karena jiwaku yang kini mulai rapuh/ gampang ditiupkan
angin…
“
Pa, minum dulu obatnya.”
Suara
lembut istrinya memecah kesunyian. Lelaki itu memaksa bangkit dari pembaringan,
tapi kepalanya berat. Ia terjatuh.
Apakah
ini akhir perjalananku? Ah, betapa singkatnya hidup ini. Ternyata jarak antara
hidup dan mati hanyalah sejauh antara azan dan iqamah, tak lebih. Bukankah
ketika lahir dalam keadaan telanjang, kita di azankan ditelinga kanan, dan
ketika meninggalkan dunia yang hina ini dengan berbungkus kafan, kita hanya
dihargai dengan sholat?
Kini terbayang kembali semua keping episode
kehidupanku. Anak-anakku yang keras kepala dan selalu membantah. Bukankah itu
cerminan diriku sendiri? Orang-orang dari kalangan bawah yang selalu menipuku
habis-habisan. Apakah karena aku telah
salah bergaul? Atau karena bisikan
pikiran bawah sadarku yang mengatakan bahwa aku tak pantas bergaul dengan
kalangan the haves?
Kegagalanku,
bukankah itu juga karena alam bawah sadarku yang memvonis bahwa aku takkan
pernah sukses? Bahwa seumur hidupku, jabatan tertinggi dalam karirku hanyalah
menjadi Camat? Kenapa bukan Walikota atau anggota dewan? Kenapa semua itu baru
kusadari kini, disaat tak ada waktu tersisa untuk menyesal?
Dadaku
semakin sesak, seperti ada yang menindih. Kerongkonganku kering. Aku butuh air.
Aku ingin berteriak, tapi seperti ada yang mengunci mulutku. Telingaku hampir
pecah. Mataku seperti ditarik paksa keluar. Oh,tunggu dulu! Aku belum sempat
mengucapkan selamat tinggal pada istri dan anak-anakku, meminta maaf pada Ludi…
Hujan
berhenti. Sederet pelangi menghiasi indahnya senja di langit Khatulistiwa. Dari
ruang tamu sayup terdengar lembut suara merdu Ebiet, selembut akhir perjalanan
hidup lelaki itu…
Tengoklah bilik dijantungku/
denyutnya tak rapi lagi/ seperti ingin segera berhenti/ kemudian sepi dan
mati….
KETERANGAN :
Ah, ngomong jak. Siape nak mileh orang tue?
Sekarang jamannye anak mude tampil.
( Ah, ngomong saja.
Siapa yang mau milih orang tua? Sekarang jamannya anak muda tampil )
Ha-ah. Udah pension
maseh jak selak nak maju. Kemaren
gagal jadi walikota, sekarang nak jadi caleg pulak. Halah!
( Iya. Sudah pensiun
masih saja rakus mau maju. Kemarin gagal jadi Walikota, sekarang mau jadi Caleg
pula. )
*) Telah dimuat di
Majalah Noor Edisi Mei 2009
Keterangan
: Cerpen ini merupakan cerpen pertama Vivi Al-Hinduan yang dimuat di media
cetak
No comments:
Post a Comment