Header Ads

CERPEN: SAJADAH MERAH

Sajadah Merah

Vivi Al-Hinduan



Ia  menatap Sang Saka itu, lama sekali. Warnanya mulai memudar. Bendera yang hanya dikibarkannya setahun sekali, setiap tanggal tujuh belas Agustus. Ia mengingat kembali semua kejadian yang telah menimpanya. Mulai dari suaminya yang ditangkap polisi karena mencuri kambing tetangga, perlakuan seorang dokter di rumah sakit milik pemerintah yang sewenang-wenang, hingga permintaan putri bungsunya yang tak mampu Ia penuhi. Warna merah bendera itu seolah mengingatkannya akan darah orang-orang yang senasib dengannya, yang tumpah membanjiri negeri ini dari Poso hingga Papua. Ia tak tahan melihat warna merah itu. Cukup sudah. Tidak boleh lagi ada darah yang tumpah sia-sia, batinnya.

Dia lalu mencium bendera itu untuk terakhir kalinya. Warna merah itu kini tak lagi garang. Tapi hanya menjadi pecundang, seperti kelakuan pembesar di negeri yang kini sudah kehilangan wibawa sebagai sebuah bangsa yang berdaulat. Dan warna putihnya tak lagi suci. Karena kesucian bendera itu tak membekas sedikitpun di benak para petinggi negeri ini. Mereka yang tak pernah kenyang menjarah negeri.

Satu-persatu rentetan kisah kembali telintas di benaknya. Dimulai  ketika enam bulan yang lalu, suaminya diciduk petugas kepolisian, tepat ketika mereka sedang menyantap gulai kambing buatannya, untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-32.
“Maaf, suami anda kami tahan karena terbukti mencuri kambing Pak Haji Imron. Pak Haji telah melapor kemarin pagi. Dan tadi pagi, tiga orang teman suami anda sudah kami tahan.”

Pasrah. Hanya itu yang bisa Ia lakukan. Sejak suaminya di-PHK sebulan yang lalu, Danang-suaminya-lebih sering berkumpul dengan teman-teman lamanya, dari pagi hingga menjelang Maghrib. Kadang mereka hanya berjudi di pos ronda. Ia ingat, menjelang hari ulang tahunnya, Danang pernah berkata kepadanya,

“Mar, aku ingin makan gulai kambing buatanmu, sekalian kita merayakan hari ulang tahunmu lusa. Sudah lama aku ndak pernah makan gulai kambing buatanmu.”
“Uangnya dari mana, Mas? Kita ini orang susah. Bisa makan daging kambing jatah pembagian kurban setahun sekali saja sudah syukur.”
“Itu ndak usah kamu pikirkan. Kamu mau ndak?”
“Ya maulah. Tapi duitnya dari mana?”
“Sudah, kamu tenang saja. Ndak usah mikirin itu. Itu urusanku.”
“ Tapi, Mas…”
****
“Marni, suamimu divonis tiga tahun, tha?”
“ Iya, Mbak. Aku ndak ada kerja. Aku bingung bagaimana membiayai sekolahnya Dita dan Dito. Belum lagi buat makan dan bayar listrik. Aku..boleh pinjam uang lagi ndak, Mbak? ”
“Pinjam uang? Berapa?”
“Ehm..tiga ratus ribu saja. Itu juga kalau Mbak Narti ndak keberatan.”
“Buat apa lagi, Mar? kemarin sudah kupinjami lima ratus ribu tha?”
“Itu sudah habis buat beli beras dan mi instan. Yang ini buat biaya pengobatan Dito, Mbak.”
“Emang anakmu kenapa? ”
“Dia dirawat di klinik swasta dekat rumahku, Mbak. Tukang becak yang nganterin. Dia ditabrak lari.”
“Ya Allah..”
“Iya, Mbak. Namanya juga anak-anak. Dito nyebrang sembarangan waktu pulang sekolah. Katanya ditabrak motor, trus penabraknya langsung kabur.”
“Ampun, Gusti. Lukanya parah ndak?”
“ Tangannya patah. Dipasang pin atau apa gitu. Ndak ngerti juga aku. Tiga ratus ribu rupiah.”
“Bukannya bisa pake surat keterangan miskin?”
Ia  menghela nafas. Berat sekali.
Terlintas sejenak kejadian pahit di ruang direktur sebuah klinik swasta megah di dekat rumahnya itu, ketika Dokter Irwan yang berperawakan tambun itu menertawai keluguannya.
“Masak cuma tiga ratus ribu rupiah saja Ibu tidak punya uang? ”
“Maaf, Dok. Saya pikir biayanya gratis.”
Marni mengeluarkan surat keterangan miskin dari ketua RT nya. Dokter Irwan tertawa mengejek.
“Bu, maaf ya, klinik saya ini tidak menerima surat miskin, BPJS, atau apalah namanya. Ibu tahu, kemarin ada yang mengantarkan lelaki tua miskin tanpa identitas jelas, langsung kami tolak. Siapa yang mau menanggung biayanya? Pemerintah?”
Marni terdiam.
“Asal Ibu tahu saja, klinik saya ini adalah bagian dari industri kesehatan, Bu. Saya ulangi, industri. Ibu mengerti industri? “
Marni menggeleng.
“Industri adalah tempat mencari untung. Dan saya sebagai pemilik klinik ini mati-matian berjuang menghidupi perawat dan dokter yang bekerja di sini. Salah satunya dari uang para pasien yang dirawat di sini. Kenapa? Karena semakin banyak pasien yang sakit, semakin lama mereka menginap di sini, maka klinik kami semakin untung. Tapi kalau pasiennya seperti anak Ibu itu, otomatis pendapatan kami berkurang. Sementara biaya operasional yang kami keluarkan sangat besar. Ibu mengerti sekarang?”
“Saya pikir para dokter adalah manusia-manusia berhati mulia.”, ujar Marni terbata.
Dokter Irwan terbahak-bahak. Perutnya yang tambun berguncang. Di televisi, berita nasional menayangkan para dokter di seluruh Indonesia yang sedang berdemo menuntut pembebasan rekannya yang dipenjara karena diduga melakukan malpraktik.
“Coba Ibu bayangkan, saya ini kuliah delapan tahun loh. Kalau di jurusan sosial, saya ini sudah Strata 2. Orangtua saya habis ratusan juta rupiah buat membiayai kuliah saya sampai tamat, demi sebuah kebanggaan. Siapa yang tidak bangga punya anak yang menjadi dokter? Dan saya harus minjam uang di bank untuk biaya mendirikan klinik ini.”
”Tolonglah, Dok. Saya mohon…”
“Mmm..baiklah. saya ijinkan putra Ibu menginap semalam di sini. Pokoknya besok uangnya sudah harus ada. Saya tidak mau tahu.”
“Terima kasih, Dok.”
****
Marni duduk termenung di kasurnya. Sayup-sayup didengarnya suara kecil Dita sedang membaca ayat suci Al-Qur’an. Marni beranjak dari duduknya dan menghampiri kamar Dita.
“ Subhanallah! Anak Ibu sudah pintar mengaji. “
Dita tersenyum dan mengkhatamkan bacaannya. Ia menghampiri Marni.
 “Bu, Senin depan Dita ada praktek sholat di sekolah. Bu Guru bilang, masing-masing anak harus bawa mukena dan sajadah dari rumah. Tidak boleh pinjam sama teman. Untung Dita masih punya mukena lama, cuma sajadah saja yang tidak ada.“
“Nanti Ibu pinjamkan sama Bu Gino sebelah ya.”
“Dita mau yang baru, Bu. Warna merah ya?”
Duh, Gusti. Aku dapat duit dari mana? Batin Marni.
***
 “Mar..Marni, tunggu! “
Marni menoleh. Mbak Narti berlari kecil mendekatinya.
“Kamu dari mana, Mar?”
“Belanja, Mbak. Beli beras.”
“Eh, kamu mau ndak kerja sama aku?”
“Kerja di hotel?”
“Iya. Kebetulan bos ku lagi cari orang.”
“Buat apa, Mbak?”


“Ya buat kerja, tha.”
“Kerja apa, Mbak?”
“Udah, ndak usah banyak nanya. Kamu mau duit yang banyak, ndak? Biar bisa bayar hutang. Biar bisa beli beras. Biar bisa bawa anak-anakmu jalan-jalan ke mall. Mau tha?“
Marni mengangguk.
“Pokoknya habis Maghrib nanti kamu dandan yang cantik ya. Nanti aku jemput.”

Mbak Narti berlalu meninggalkan Marni. Marni kagum dengan Mbak Narti. Sejak bercerai dari suaminya, Mbak Narti kerja di hotel. Setiap habis maghrib, Mbak Narti sudah turun bekerja dan baru pulang menjelang Subuh. Kerja apa ya dia? Mungkin jadi cleaning server di sana. Tapi kok duitnya banyak amat ya? Batin Marni.
****
Marni lantas mengambil gunting di atas lemari pakaian dan mulai menggunting bendera itu. Ia melipat bagian yang berwarna putih, dan memasukkannya kembali ke dalam lemari. Lalu kain yang berwarna merah ia bawa ke luar kamar, menuju kamar Dita. Dita sedang bermain di surau bersama anak-anak tetangga. Diam-diam Marni memasukkan bagian bendera yang berwarna merah ke dalam tas Dita.

Dari kejauhan terdengar senandung adzan Mahgrib. Marni bergegas kembali ke kamarnya dan sibuk memilih pakaian untuk dikenakannya nanti. Ia tak mau mengecewakan Mbak Narti. Ia ingin tampil dengan pakaian terindah di hari pertamanya bekerja di hotel itu.
Pontianak, 5 Maret 2014

No comments:

Powered by Blogger.