Rindu Semusim Lalu
Rindu
Semusim Lalu
Vivi
Al-Hinduan
Selalu
saja ada yang tertinggal saat kita pindah. Kenangan. Dan kenangan itu
tertinggal di Kalimati, semusim yang lalu….
Kalimati, tiga bulan yang lalu
“Rindu,
habis ini kita rehat sebentar di Kalimati, ya?”
“Kalimati?”
“Iya.
Itu nama pos terdekat dari sini. Pos Kalimati berada pada ketinggian 2.700 meter
dari permukaan laut. Kita bisa mendirikan tenda untuk beristirahat. Kalimati berupa padang rumput luas di tepi hutan cemara.
Di sana banyak ranting untuk membuat api unggun.”
Aku berusaha menyerap
semua informasi itu sambil menahan gigil.
“Sebenarnya
ada satu pos lagi, Arcopodo. Jaraknya satu jam dari Kalimati.” Fajar
menambahkan.
“Kenapa
nggak istirahat di Arcopodo aja sekalian?”
Mata
itu menatapku tajam sebelum ia menjawab singkat, “Karena saya tahu kamu nggak
bakal sanggup lagi buat jalan kaki ke sana.”
Kami berjalan dalam
diam. Lelaki berkulit cokelat itu berjalan di depan. Langkahnya tegap. Dari kejauhan
tampak sosok Mahameru yang menjulang tinggi. Aku tak sabar ingin mengabadikan
puncak Semeru setinggi 3.676 meter di atas permukaan laut itu. Kini, berada di
kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, terasa seperti mimpi. Di Taman
Nasional seluas 50. 273 hektar ini, tampak deretan pegunungan lain di sekitar
Semeru, seperti Bromo, Batok, Watangan, Kursi, dan Widodaren.
Dengan
membawa kamera film, aku nekat pergi ke tempat ini demi proyek film
dokumenterku. Ditemani Fajar, pemandu lokal berhati sedingin Oymyakon di Rusia,
kami berjalan pelan menembus gelapnya malam menuju Kalimati.
****
“Jadi
tujuan kamu ke sini cuma buat mengusik ketenangan Mahameru dengan kameramu
itu?”
“Mengusik?
Aku justru ingin mendokumentasikannya. Emangnya nggak boleh?”
“Dari
tadi kamu kerjanya cuma selfie dan merekam sana-sini. Kayaknya nggak ada yang
luput dari kameramu, ya? Mulai Ranu Kumbolo sampai Oro-Oro Ombo saja direkam. Kurang kerjaan
amat.”
“Hey,
dengar ya! Kamu tuh kubayar buat jadi pemanduku. Bukan buat nyeramahin aku.”
“Oke.
Saya kembalikan uang kamu. Saya pulang sekarang. Silahkan teruskan pendakianmu
ke Semeru sendiri. Gimana?”
Aku
terdiam. Sejak kemarin waktu dikenalkan dengan lelaki ini, aku sudah tidak
suka. Dan ternyata firasatku benar. Sepanjang hari ini kerjanya hanya bikin
kesal.
“Kita
istirahat sebentar di sini . Jam satu dinihari, kita jalan lagi. Kita ikut
rombongan dari Bandung itu. Jangan samapai terlambat.”
***
Aku melihat rekaman video
itu dari kamera film. Ranu Kumbolo, danau indah yang berada di kaki Gunung
Semeru. kameraku asyik merekam bukit terjal dengan pemandangan yang sangat
indah di sekitar danau Ranu Kumbolo. Di depan bukit itu terbentang padang
rumput luas yang dinamakan Oro-oro Ombo. Oro-oro Ombo dikelilingi bukit dan
gunung dengan pemandangan yang memukau mata. Padang rumputnya yang luas dengan
lereng yang ditumbuhi pohon pinus mengingatkan tentang Eropa.
“Fajar,
sini!”
“Ada
apa?”
Ia
berjalan ke arahku. Aku mengambil kamera Polaroid.
“Duduk
sini di sampingku.”
Ia
menurut. Aku memotret kami berdua. Dua
kali.
“Nih,
satu lembar buatmu. Yang satu buatku.”
“Buat
apa?”
“Haduh!
Dingin amat sih jadi cowok. Ya buat kenang-kenangan dong. Udah, ambil nih.”
Aku
memberinya selembar. Ia menatap lama foto itu, dan tertawa datar.
“Kenapa
ketawa? Lucu ya?”
“Iya.
Saya tidak pernah menyimpan kenangan. Tapi demi kamu, akan saya lakukan.”
Fajar
memasukkan foto itu ke saku jaket kumalnya.
“Kenapa?”,
tanyaku penasaran.
“Apanya?”
tanyanya dingin.
“Kenapa
kamu nggak mau menyimpan kenangan? Oh, aku tau. Pasti kamu pernah sakit hati
diputusin sama pacarmu, kan?”
“Sok
tahu.”
“Alah,
ngaku aja kenapa sih? Aku juga pernah…”
”Almarhumah
adik saya.”
“Apa??”
“Dia
saudara saya satu-satunya. Dia meninggal sepuluh tahun lalu karena ditabrak
lari oleh truk.”
“Oh!”
“Namanya
Ratna. Sebelum meninggal, dia pengin sekali mengajak saya ke Mahameru. Tapi selalu
saya tolak karena waktu itu kuliah saya belum selesai. Dan dia meninggal
sebelum sempat mewujudkan mimpinya.”
“Maaf,
Fajar. Aku nggak tahu.”
“Sejak
itu, segalanya berubah dalam hidup saya. Orangtua saya saling menyalahkan satu
sama lain dan akhirnya berpisah gara-gara kecelakaan itu. Saya hidup
berpindah-pindah kerja dan kontrakan. Dan sejak pertama kali menginjakkan kaki
di Mahameru, saya selalu ingin kembali lagi. Meski pun awalnya hanya ingin
memenuhi impian Ratna.”
“Kamu
belum jawab pertanyaanku.”
“Tentang
kenangan? Bukankah ia selalu tinggal sesering apa pun kita pindah?”, Fajar
balik bertanya.
“Itu
sebabnya kamu tidak pernah mau mengenal seseorang secara dekat, agar nggak ada
kenangan tentang dia?”
“Kita
berangkat sepuluh menit lagi agar pagi-pagi sekali sudah tiba di Mahameru. Tolong
semua bawaan kamu ditinggalkan saja di sini. Terutama kamera itu,” Fajar
berkata kaku.
“Tapi
aku mau merekam…”
“Saya
tunggu di luar.”
****
Dari Arcopodo menuju
puncak Semeru diperlukan waktu 3-4 jam, melewati bukit pasir yang sangat curam
dan mudah merosot. Sebagai panduan bagi para pendaki, di jalur ini banyak
terdapat bendera segitiga kecil berwarna merah. Kami bergabung bersama
rombongan pendaki dari Bandung dan Yogyakarta.
Aku mengenakan baju
tebal untuk mencegah hipotermia dan juga kacamata untuk melindungi wajah dari
hujan abu. Kami disarankan untuk tidak menuju kawah Jonggring Saloko, juga
dilarang mendaki dari sisi sebelah selatan, karena ada gas beracun dan aliran
lahar.
Jam lima subuh, kami
tiba di puncak gunung tertinggi di Pulau Jawa itu. Pemandangan dari puncak ini
sangat indah, bagaikan samudra di atas langit. Saat hampir mencapai puncak, aku
merasa seperti berada di atas awan.
“Kamu
tahu, Soe Hok Gie meninggal di
Gunung Semeru pada 1969 akibat menghirup asap beracun di gunung ini,” ujar
Fajar.
“Kamu jangan nakutin
aku, dong. Perasaanku nggak enak nih.”
“Aku serius, Rin. Kamu mahasiswi
Jakarta tapi nggak tau sejarah tentang aktifis mahasiswa paling terkenal dari
Jakarta. Payah.”
“Udah ah, jangan ceramah
mulu. Aku ingin sendiri.”
“Hati-hati,
Rin.” Ujarnya.
Mata
kami saling bertatapan. Wajahnya berubah. Dingin dan menusuk. Entah kenapa,
tiba-tiba bulu kudukku merinding. Fajar pun lenyap di tengah rombongan pendaki
lainnya. Aku berusaha menepis bayangan wajahnya, namun selalu tinggal.
Setelah
Fajar menghilang, aku duduk menepi dari keramaian. Menyumpah dalam hati karena
tak dapat mengabadikan pemandangan indah ini dengan kamera filmku. Padahal batas
akhir pendaftaran lomba film dokumenter itu tinggal seminggu lagi.
“Brengseek lo, Jaarr!” teriakku. Kesal.
***
Entah
sudah berapa jam aku di sini, terhipnotis menyaksikan sekeping surga yang
dihadiahkan Tuhan ke bumi. Tak ingin ada satu pun yang mencuri pemandangan ini
dari mataku. Saking asiknya, tanpa sadar Fajar telah lenyap entah ke mana. Tiba-tiba
mendung menggantung di atas Mahameru. Beberapa rombongan pendaki bergegas turun
melewatiku.
“Cepetan
turun, Mbak. Sebentar lagi hujan. Di arah selatan ada gas beracun.”
“Apa??
Fajar!”, teriakku spontan.
Aku
panik dan berlari mencarinya. Tetapi lelaki itu seperti lenyap ditelan
keagungan Mahameru yang perkasa. Aku terus berlari menembus pekatnya kabut, menyeruak
di antara rombongan pendaki yang juga panik. Seseorang menahan tanganku,
“Mau
ke mana, Mbak? Di sana ada gas beracun. Tadi ada yang pingsan dan dibawa turun.”
“Teman
saya hilang.”, aku gemetar. Butiran bening
menetes dari mataku tanpa bisa kucegah.
“Pulang
saja, Mbak. Jangan ke sana, bahaya!”
Aku
terus berlari menuju ke arah selatan. Dari kejauhan, samar terlihat Fajar
terjebak di pekatnya kabut. Ia seperti berteriak meminta tolong. Tanpa menghiraukan
teriakan para pendaki lainnya, aku berlari seperti kesetanan, menembus belerang
pekat itu hanya demi satu tujuan, menyelamatkan Fajar.
Seperti
dikunci dalam kamar pengap yang penuh gas beracun, beginilah rasanya terjebak
di tengah kepungan asap hitam ini. Aku mengucek mata yang perih. Sosok Fajar
tiba-tiba lenyap begitu saja. Nafasku sesak menghirup gas beracun ini. Siapakah
yang kulihat tadi? Benarkah itu Fajar?
“Fajaaarrr!
Tolong aku!” aku menangis histeris.
Aku
masuk semakin dalam, terjebak dalam kepungan asap. Yang ada hanya pekat. Dari kejauhan,
terdengar suara seorang lelaki berteriak,
“Rin,
jangan ke sana! Cepat putar haluan!”
“Fajar?
Kamu di mana? Fajaarrr!!”
Tak
ada sahutan. Derap langkah kaki terdengar menuju ke arahku. Di balik kabut, terlihat
samar Fajar dan tiga orang lainnya memakai masker. Mereka berusaha menembus pekatnya gas beracun ini.
“Cepat
keluar, Rin!”
Itu
suara terakhir yang sempat kudengar sebelum gas beracun ini menelanku. Selamanya.
Malang, tiga bulan kemudian
“Jadi pindah ke Jogja, Mas Fajar?”
“Jadi, Pak. Besok pagi Insya Allah saya
berangkat. Saya dapat proyek di sana.”
“Wah, sepi nanti kontrakan ini kalau ndak ada
Mas fajar.”
“Nanti kan ada teman saya dari Surabaya yang mau
ngisi rumah ini. Dia bawa istri dan anaknya juga.”
“Oh ya, Mas. Tadi waktu saya beres-beres
kamarnya Mas Fajar, saya nemu ini.”
Pak Pomo, penjaga rumah
tempat Fajar mengontrak, menyerahkan selembar foto Polaroid ke tangan Fajar. Fajar
menatap lama foto itu.
“Simpan saja, Pak. Saya nggak butuh.”, ujarnya.
“Beneran buat saya?”
“Iya. Ambil saja kalau Bapak mau. Saya tak ingin
membawa kenangan.”
“Mantannya, ya? Cantik loh. Nama Mbak di foto
ini siapa, Mas?”
“Rindu,” jawab Fajar dingin. Sedingin
Oymyakon di Rusia.
Pontianak, 5 Februari
2015
1 comment:
The best birthday gift for me!!! Thx Vivi, keep on writing...
jadi pengen jalan2 lagi dan tak henti mengeksplor indahnya Indonesia, my playground... dalam pencarian #papadevi akakakakka
Post a Comment