Kenapa Cerpen Saya Ditolak Media?
EntrepreneurKreatif.Com-SobatPreneur yang suka nulis cerpen,
barangkali pernah bertanya pada diri sendiri, “Kenapa ya cerpen saya selalu
ditolak media? Apa yang salah, ya?” Nah, berikut beberapa penyebab kenapa
cerpen yang berulang kali kita kirim tidak pernah dimuat di media cetak.
Tulisan ini saya rangkum berdasarkan pengalaman pribadi saya, ditambah beberapa
sumber bacaan. Semoga dapat membantu, khususnya bagi teman-teman penulis
pemula.
1. EYD Berantakan
Ini adalah penyebab utama yang paling sering teradi pada semua penulis pemula, termasuk saya di awal belajar menulis fiksi. Ejaan Yang Disempurnakan (sekarang namanya Ejaan Bahasa Indonesia), menjadi tolok ukur utama tim redaksi dalam mempertimbangkan lolos tidaknya sebuah cerita pendek yang dikirm. Untuk media sekelas Kompas atau Femina misalnya, penulisan EYD yang benar menjadi fokus utama mereka, terutama Kompas. Kalau Anda ingin menulis cerpen untuk dikirim ke Kompas misalnya, pastikan penulisan EYD Anda tidak ada kesalahan sedikit pun alias harus benar 100 persen. Saya ulangi, EYD Anda harus benar 100 persen.
Biasanya, kesalahan EYD yang paling umum adalah penulis pemula tidak bisa membedakan penggunaan kata ‘di’ sebagai kata depan (kata kerja pasif) dan ‘di’ sebagai kata keterangan tempat.
Contoh: penulisan di sebagai kata keterangan tempat, maka harus dipisah.
Di rumah, di sana, di mana, di manakah? Di sini, di situ, di antara.
Sebaliknya, penulisan di sebagai kata depan (kata kerja pasif) maka wajib digabung.
Dicintai, dihina, dikhianati, disapa, dirindukan, dan seterusnya.
Saya pernah membaca sebuah cerpen yang sudah dimuat di Majalah Femina, versi online. Tepat di bagian bawah cerpen tersebut, ada tulisan seperti ini:
Cerita yang menarik dengan alur yang terjaga. Masih banyak kesalahan dalam penulisan EYD seperti penggunaan di yang lumrah terjadi banyak ditemukan di karya ini. Sayangnya ending kurang menggigit alias menggantung. Emosi pembaca tidak tuntas dengan klimaks yang hambar. Cerita ini seperti tidak selesai atau dipaksakan selesai.
Selain
kata di, kata pun juga sering terjadi typo.
Untuk penulisan kata meskipun, bagaimanapun, walaupun, semua disambung. Sedang untuk kata
seorang pun, kapan pun, aku pun, engkau pun, dipisah.
2.
Kalimat Pembuka
Terlalu Bertele-tele
Setelah EYD,
ada satu lagi poin penting yang dibidik editor/ tim redaksi, yakni cerita yang
Anda buat. Bagi sebuah cerpen dengan panjang 6-8 halaman (standar nasional)
maka paragraf pertama sebagai pembuka cerita harus langsung memikat redaksi dan
apalagi juri lomba. Paragraf pertama
bisa kita mulai dengan narasi yang menarik dan tidak bertele-tele, apalagi
hanya untuk mendeskripsikan setting yang tidak penting dan tempelan, misalnya.
Bisa juga dibuka dengan dialog. Untuk novel dengan jumlah halaman minimal 100
hingga tak terhingga atau cerber (cerita bersambung) dengan jumlah halaman
40-50, maka halaman pertama harus mampu memikat redaksi.
3.
Cerita Tidak
Memikat Redaksi
Cerita yang
terlalu umum, membosankan, tidak
menarik, konflik datar dan ending mudah ditebak, akan sulit bersaing dengan
ratusan cerpen lain yang sama-sama membidik media nasional sekelas Kompas atau
Femina. Jadi, usahakan cerita Anda unik dan sesuai dengan ‘kelas’ dari media
yang dituju. Dan jangan mengirim cerita yang mengandung SARA atau porografi,
kecuali untuk media dengan segmen pembaca tertentu.
4.
Tidak Sesuai
dengan Gaya Media yang Dituju
Dengan jam
terbang yang tinggi dan sering membaca karya orang lain yang telah dimuat di
berbagai media, kita akan tahu gaya cerpen yang dimuat di media tersebut.
Berbeda sekali gaya cerpen yang dimuat di Kompas dengan di Femina, Kawanku,
Hai, dan Republika. Masing-masing media punya standar tersendiri yang biasanya
tersirat. Kitalah yang harus jeli melihatnya. Jika Anda ingin mengirim cerpen
islami, lebih besar peluangnya untuk dimuat di Republika atau Majalah Ummi
dibanding Kompas atau Koran Tempo, dan sebaliknya. Femina cenderung tertarik
dengan cerpen yang tokoh utamanya perempuan dewasa, usia 25-40, berkepribadian
mandiri. Cerita mengalir ‘lembut’,
konflik ringan, ending cerita mudah ditebak, dan sebagainya.
5.
POV Tidak
Konsisten
Point of
View alias sudut pandang tokoh bisa menggunakan sudut pandang ‘aku’ (orang
pertama) atau ‘dia’ (orang ketiga). Jarang sekali ada yang menggunakan POV kamu
(orang kedua). Dalam menggunakan POV, kita harus konsisten dari awal sampai
akhir cerita. Saya pernah membaca cerpen salah satu peserta lomba cerpen FLP
Kalbar, yang mana saya menjadi salah satu jurinya. Di awal tulisan dia menggunakan
POV orang ketiga, tapi di bagian pertengahan hingga akhir cerita tiba-tiba
berubah menjadi POV orang pertama. Bingung, kan?
6.
Dialog
Ping-Pong
Yang perlu
dicatat adalah bahwa dialog bukanlah memindahkan percakapan sehari-hari ke dalam cerita fiksi. Jika
kita melakukannya, maka akan terjadi dialog ping-pong. Seperti halnya sebuah
permainan ping-pong (tenis meja) dialog yang kita hasilkan akan ‘kosong’,
membosankan, dan tak bermakna. So, bagaimana redaksi tertarik memuatnya?
Contoh dialog ping-pong:
Amif
bergegas ke sekolah karena sudah hampir pukul tujuh pagi. Di depan gerbang
sekolah, ia bertemu Mifa yang baru turun dari angkot. Amif menyapa Mifa, “Hai,
Mifa.”
“Hai juga,
Mif.”
“Tumben naik
angkot, nih?”
“Iya. Mana lama lagi nunggu angkotnya ngetem. Sebel.”
“Motor kamu
mana?”
“Masuk
bengkel dari kemaren.”
“Sama, aku
juga telat bangun. Makanya buru-buru jalan kaki.”
“Motor kamu ke
mana?”
“Masuk
bengkel juga.”
“Oh, sama
dong.”
“Ciee sama
ya, kita? Berarti kita jodoh, dong.”
“Eh, masuk,
yuk. Bel sudah berbunyi tuh.”
“Ayo!”
7.
Terlalu Banyak
Catatan Kaki
Catatan kaki
(footnote) bertujuan untuk menerangkan kata atau kalimat dalam cerpen kita yang
tidak dimengerti oleh pembaca. Biasanya, kita membuat catatan kaki karena
menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing non-Inggris pada dialog. Bisa juga
karena menggunakan istilah yang tidak umum seperti istilah kedokteran, sains,
dan sebagainya yang tidak dimengerti oleh pembaca awam. Atau ketika kita
mengutip puisi, potongan cerpen, musik milik orang lain di dalam cerpen kita.
Namun, harus
diingat bahwa cerpen memiliki halaman yang terbatas hanya 6-8 halaman saja.
Bahkan, untuk standar cerpen di daerah bisa 3-6 halaman saja. Bayangkan kalau
Anda memaksakan catatan kaki di setiap halaman. Pembaca akan pusing, apalagi
redaksi. Alhasil, cerpen kita akan ditolak oleh redaksi. Rugi, kan? Bagaimana
agar cerpen kita dilirik redaksi? Segera saya bahas di tulisan berikutnya. Tunggu saja, ya.
4 comments:
terima kasih artikelnya mbak, kebetulan saya juga suka menulis cerpen..dari sekian yg saya tulis cuma 3 yang tembus & diterbitkan hahah mungkin karena cerpen2 saya masih banyak typo ny huhuh
sama2 semoga bermanfaat :) mengenai typo, bisa baca tulisan saya yg ini
http://www.entrepreneurkreatif.com/2016/09/kalah-sebelum-bertanding-akibat-typo.html
artikelnya menarik, dan kata per kata tertata rapi, mungkin setelah baca artikel ini saya bisa memperhatikan tulisan yang saya buat. Namun kadang kadang tetap aja typo dari ketikan tak bisa terhindari, apalgi EYD nya masih banyak salahnya,
semangat, mbak :) pelan2 belajarnya. bisa baca cerpen2 yg dimuat di koran kompas atau majalah femna sbg acuan
Post a Comment