CERPEN: REMBULAN MERAH JINGGA
Rembulan
Merah Jingga
Vivi
Al-Hinduan
Jingga
duduk menatap rembulan yang temaram dari jendela kamarnya. Sesekali
ia melirik buku tulis di meja belajarnya. Ia bosan dan benci sekali
mengerjakan PR Matematika itu. Memangnya kalo PR Matematika ini dapat
nilai 100, kelak aku bisa sekaya Bob Sadino apa? batin Jingga. Ia
mengalihkan pandangannya ke arah jendela, kembali menatap Sang
Rembulan. Rembulan itu tertutup kabut tipis. Warnanya merah, lebih
merah dari darah. Siluet makhluk raksasa mengerikan bergerak-gerak di
dalamnya, seperti ingin berontak. Tiba-tiba makhluk itu melambaikan
tangan padanya, memanggilnya. Jingga menutup tirai jendela. Ia
berlari keluar kamar, menghampiri ibunya yang tengah asyik menonton
sinetron.
“ Ma,
ada makhluk aneh di dalam rembulan merah.”
“ Aduh,
kamu jangan suka ngayal yang enggak-enggak deh. Tidur, gih! Mama mau
nonton jadi keganggu nih. Mana sinetronnya lagi seru banget.”
“ Tapi,
Ma..”
“ Udah,
Jingga. Tidur sana! besok kamu harus sekolah.”
“ Yaah,
sekolah lagi. Aku bosan!”
“ Jingga!”
“ Kenapa
sih harus sekolah? Kenapa Mama selalu memaksaku jadi juara kelas?
Mama tahu nggak, Bill Gate, Ted Turner, Bob Sadino, hingga perancang
busana Tex Sevario asal Indonesia yang merancang busana untuk Lady
Gaga, semuanya sekolahnya tidak selesai. Mereka bukan juara kelas.
Tapi mereka semua kaya raya. Setidaknya jauh lebih kaya dari kita.”
“ Jingga,
cukup! Masuk ke kamarmu sekarang juga!”
Jingga
berlari ke kamarnya dengan kesal dan galau. Ia mengintip dari balik
tirai jendela. Makhluk raksasa aneh tak berjenis kelamin itu telah
berhasil keluar dari rembulan merah. Ia merayap turun ke bumi.
Tangannya yang panjang dan besar menyentuh atap-atap rumah penduduk.
Tiba-tiba makhluk itu membelah diri menjadi jutaan makhluk-makhluk
kecil. Mereka masuk ke rumah-rumah penduduk. Jingga menutup tirai
jendela dan mematikan lampu. Ia menggigil ketakutan.
***
Jingga
berkali-kali mengucek matanya. Rasanya seperti mimpi. Makhluk aneh
tak berjenis kelamin itu muncul di layar televisi saat jeda iklan,
ketika Jingga dan Mbak Yun, pembantunya, sedang asyik menonton acara
infotainment selebritis tanah air.
“ Mbak
Yun? ”
“ Iya,
Non?”
“ Mbak
Yun liat nggak itu di tivi?”
“ Liat
apa, Non?”
“ Makhluk
rembulan merah.”
“ Hah?
Non Jingga ngigau ya? Nggak ada apa-apa tuh, cuma iklan doang.”
Acara
infotainment berlanjut kembali. Dilayar televisi 29 inci itu muncul
makhluk-makhluk rembulan merah, ramai sekali. Mereka menyamar sebagai
selebritis yang sedang berduka, selebritis yang sedang bahagia.
Selebritis banyak uang, selebritis banyak hutang. Selebritis hobi
menikah, selebritis hobi berpisah… dan menikah lagi. Jingga merasa
kepalanya pusing. Ia berlari ke kamarnya. Mbak Yun tertawa melihat
aksi makhluk rembulan merah di televisi.
Jingga
mengunci pintu kamarnya. Ia menghidupkan laptop. Dilayar muncul
makhluk-makhluk rembulan merah. Mereka tertawa-tawa gembira. Jingga
membuka games
di laptopnya. Semua games
berisi
makhluk-makhluk rembulan merah. Mereka menjadi tokoh utama semua
games
di laptopnya. Jingga baru saja hendak mematikan games
ketika makhluk itu menyapanya,
“ Jingga,
ayo masuk kesini! Bermainlah bersama kami.”
“ Kau
berbicara denganku?”
“ Iya,
Jingga. Ayo sini! Kami datang untuk menghibur anak-anak yang kesepian
sepertimu.”
“ Bagaimana
caranya aku bisa masuk ke dalam sana?”
“ Masuklah
ke dalam laptopmu.”
Jingga
menurutinya. Ia masuk ke dalam laptopnya.
“ Wow,
menakjubkan! Aku ingin bermain sepuasnya di sini.”, Jingga berseru
girang.
“ Bermainlah
sepuasnya, Jingga. Kapanpun kau inginkan.”, kata makhluk itu.
Jingga
berlari sepuasnya di dunia barunya itu. Dunia yang sangat
menyenangkan. Di mana tak ada PR yang harus ia kerjakan. Di mana ia
mendapat banyak teman baru, para makhluk rembulan merah yang siap
menemaninya bermain atau sekedar mendengarkan curahan hatinya,
sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh kedua orangtuanya. Jingga
berjanji akan sering-sering bermain di dunia barunya itu.
***
Berita
tentang makhluk rembulan merah yang turun ke bumi untuk menghibur
anak-anak yang kesepian, tersebar ke seantero negeri. Mereka muncul
di televisi, di games,
di laptop, di situs-situs internet, bahkan dilayar ponsel, tablet,
dan Blackberry anak-anak di kota. Mereka bernyanyi, menari, bermain
bersama anak-anak yang orangtua mereka tidak pernah punya waktu
sedetikpun untuk bermain bersama anak-anak mereka.
Dalam
sekejap, makhluk-makhluk rembulan merah telah menjadi sahabat baik
sekaligus pengasuh anak-anak di kota. Anak-anak itu sangat bahagia
bersama makhluk-makhluk rembulan merah. Bahkan mereka jauh lebih
bahagia bersama makhluk itu dibanding ketika mereka berada di dekat
orangtua mereka sendiri.
Hari
ini Hari Minggu, berita tentang makhluk rembulan merah dimuat di
koran. Jingga membawa koran itu ke ruang kerja Papa.
“ Papa?”
“Hmm?”
“ Papa
udah baca belum berita tentang makhluk jadi-jadian yang keluar dari
rembulan merah? Mereka muncul di tivi, di video games,
di situs internet, di handphone,
di tablet, dan di Blackberry. Mereka menghibur anak-anak yang
kesepian sepertiku.”
“ Jingga,
kamu liat nggak kalo Papa lagi sibuk? Tolong jangan ganggu Papa!”
Jingga
terdiam.
“ Udah,
pergi sana! Papa mau kerja.”
Jingga
berlari ke kamarnya. Ia menghidupkan laptop dan masuk ke dalam games.
Ia bermain sepuasnya bersama makhluk-makhluk rembulan merah.
***
Negara
gempar. Orangtua panik. Sekolah-sekolah heboh. Beberapa anak
dikabarkan hilang, diculik makhluk-makhluk rembulan merah. Semua
koran memuat berita itu. Beberapa tokoh masyarakat asyik berdebat di
televisi.
“ Ini
bencana nasional. Anak-anak yang kita harapkan dapat meneruskan
tongkat estafet kepemimpinan negeri ini telah diculik makhluk
rembulan merah. Sebentar lagi kita akan mengalami lost
generation.”,
kata seorang pengamat sosial yang titelnya berderet-deret, lebih
panjang dari namanya.
Di
masjid-masjid dan surau-suraupun berita penculikan itu dibahas.
Seorang khatib berkoar-koar memberi khotbah pada shalat Jum’at.
“ Pemuda
hari ini adalah pemimpin hari esok. Apa jadinya pemimpin kita esok
hari, jika pemuda kita hari ini telah jauh dari ajaran Islam? Dan
anak-anak kita telah larut dalam bujuk rayu makhluk rembulan merah.
Kini mereka hilang. Raib. Ini akibat kesalahan kita para orang tua.”
Emang
gue pikirin? Gue kawin aja belom,
bodo
amat.
kata seorang jamaah di dalam hati.
Para
jamaah sholat Jum’at yang lain sibuk memencet tombol ponsel pintar
mereka,
mengirim dan membaca SMS. Ada juga yang asik ber-BBM ria. Yang lain
sibuk melihat gambar-gambar yang menggoda dari makhluk-makhluk
rembulan merah yang saling menggoda satu sama lain di layar tablet
mereka.
Meskipun
gempar karena sebagian besar murid-murid telah raib, namun
sekolah-sekolah di seluruh pelosok negeri tetap berjalan seperti
biasa. Para guru tak pernah berhenti menjejalkan teori-teori ke otak
kiri para siswa mereka setiap hari, tak pernah sedikitpun terlintas
dalam benak mereka bahwa teori-teori itu tak berguna sama sekali bagi
masa depan mereka kelak. Sementara anak-anak itu telah larut dalam
bujuk rayu makhluk-makhluk rembulan merah karena mereka tidak tahu
mau jadi apa mereka kelak, dan sekolah tidak pernah mau tau tentang
itu, pun orangtua mereka.
***
Di
langit, rembulan merah semakin membara. Anak-anak manusia telah
terperangkap di dalam rembulan merah. Mereka berteriak, menangis,
marah, menjerit-jerit, dan memohon kepada para makhluk jadi-jadian
itu agar sudi melepaskan mereka dari rembulan merah. Mereka ingin
kembali ke bumi. Mereka ingin melanjutkan hidup. Mereka ingin meraih
masa depan yang semakin suram dan tak menentu. Mereka ingin
menghidupkan kembali mimpi-mimpi indah yang telah lama redup dari
diri mereka.
Diantara
anak-anak itu, tampaklah Jingga yang tak henti menangis. Wajahnya
pias. Ia tak berhenti memohon agar kedua orangtuanya membebaskannya
dari sekapan para makhluk rembulan merah. Agar mereka sudi meluangkan
waktu untuknya barang sekejap. Namun mereka tak mendengarnya. Mereka
bahkan tak menyadari kalau Jingga telah diculik makhluk rembulan
merah. Mereka tenggelam dalam kesibukan masing-masing.
Tangis
anak-anak yang terperangkap dalam rembulan merah telah mewujud
tetes-tetes darah yang perlahan menetes dari rembulan merah. Tetesan
darah itu tak henti menggenangi bumi, laksana tetesan darah yang
menetes dari rahim ibu pertiwi yang merana menyaksikan nasib
anak-anak negeri.
***
Setahun
kemudian, seorang ibu bersama putranya duduk menatap rembulan merah
yang berselimut kabut tipis dari beranda rumah mereka, di malam yang
kelam.
“
Tidakkah kau lihat
rembulan itu, Nak? Warnanya merah beringas. Di dalamnya bermukim
monster yang ganas. Monster yang bermata nyalang dan garang, siap
mengganyang.”
“
Aku melihatnya,
Bunda. Monster yang keluar dari rembulan merah. Dia turun merayap,
siap menyantap. Lahap melumat.”
“ Tidakkah kau
tahu monster apa itu, Nak? Itulah sang angkara murka. Yang telah
mencabik-cabik jati diri anak bangsa.”
“ Aku
tahu, Bunda. Monster itu bernama Jingga.”
Pontianak,
23 Januari 2012
No comments:
Post a Comment