Februari Merah Jambu
Februari Merah Jambu
Vivi Al-Hinduan
Besok
adalah Hari Valentine. Hari Kasih Sayang
sedunia, begitu kata ibu-ibu muda di komplekku, sebuah komplek yang lumayan
elit di kotaku.
“Wajib
dirayain loh, Jeng. Cuma setahun sekali,” kata Jeng Astri, tetanggaku.
“Iya,
Jeng. Besok malam kita ngerayainnya di rumah saya. Jeng Fat ajak suaminya dong.
Kita bikin barbeque party di taman belakang rumahku,” kata Jeng Tyas.
“Nggak
di hotel aja?” Jeng Astri antusias
menyarankan.
“Waduh,
lagi bokek nih, Jeng. Dirumah aja ya? makanannya pake katering kok, tenang
aja.”
“Dress code nya apa ya yang bagus?” tanya
Bu Broto.
“Yang
pasti pink. Trus romantic dress. Ehm..polkadot juga lucu ya?” Mbak Ratna
mengusulkan.
“Wah,
aku mau pakai tas Hermes pink yang
bulan lalu kubeli di Singapura. Trus gaun pink
Zara, sepatunya Prada aja ah.” mata Jeng Astri berbinar cerah.
“Eh,
saya dibelikan suami saya kalung berlian Swarovsky loh,” kata Mbak Dewi.
“Wah,
hebat dong.”
“Iya,
aku juga punya kok Swarovsky.”
“Wah,
kalo gitu gitu dress code nya Swarovsky
party aja ya? seru bo’. Blink-blink.”
Aku
hanya terdiam menyaksikan kehebohan ibu-ibu muda di komplekku menyambut
Valentine.
“Jeng
Fat pernah nggak ngerayain Valentine?”
tanya Mbak Dewi.
Aku
ingat, waktu masih SD, aku dan teman-teman sekelas saling bertukar kado setiap
tanggal 14 Februari. Untuk merayakan Valentine, kata teman-temanku. Tamat SD,
aku masuk ke sebuah pesantren putri di Bangil selama tujuh tahun. Setelah
tamat, aku dinikahkan dengan sepupuku sendiri yang merupakan lulusan UIN di
Surabaya. Ia membuka usaha restoran Timur Tengah yang laris manis di kotaku dan
bahkan banyak permintaan dari pengusaha muda di daerah lain agar ia segera
mewaralabakan restoran Timur Tengahnya itu.
“Eh,
aku pengen banget beli baju rancangan Dolce& Gabbana, yang warna hitam itu
loh. Biar kayak Bianca Balti,” kata Jeng Astri sambil tertawa genit.
“Aku
pengen beli sepatu Miu-Miu, kalo bisa punya koleksi pakaian Chanel minimal satu
buah. Terus tambah koleksi Hermes satu lagi. Oh, aku pengen punya baju
rancangan Tex Saverio. Itu loh, Jeng, Alexander Mc Queen-nya Indonesia.” Mbak
Dewi berkata dengan penuh antusias. Matanya tak lepas menatap model-model
cantik berwajah bule di sebuah stasiun tivi khusus fashion yang memperagakan busana khusus menyambut
Valentine. Sepertinya seluruh dunia benar-benar antusias menyambut Valentine.
Aku
bingung, benarkah apa yang dikatakan Jeng Astri, bahwa semua orang di seluruh
dunia serentak merayakan Valentine setiap tanggal 14 Februari? Kalau memang
benar, mengapa setiap tanggal 14 Februari
masih saja banyak darah yang tumpah dan nyawa orang-orang lemah yang tak
berdosa melayang begitu saja di Gaza, Palestina? Tidak sedetik pun para tentara
Israel itu menghentikan sejenak agresi militernya ke Gaza pada Hari Kasih
Sayang itu. Kalau itu mereka lakukan, tentulah aku tau, karena pasti seluruh
stasiun tivi di dunia ini akan berebut menayangkan berita langka itu secara
langsung.
***
“Buku
apa itu, Kak?” tanyaku pada Kak Migdad, sepupu merangkap suamiku itu.
“Ini
buku tentang cara menulis skenario film. Banyak kok dijual di toko buku.”
“Buat
apa Kakak beli itu? Mau jadi penulis skenario?”
“Yah,
kali aja ada produser yang berminat nawarin aku jadi penulis skenario sinetron
Cinta Fitri season tujuh puluh sampai
seratus. Atau Sex and The City versi
Indonesia.”
“Haha,
bisa aja.”
“Mau
baca? Siapa tau nanti kamu jadi penulis skenario sinetron...”
“Aku
mau bikin film tentang Valentine.”
“Valentine?
Tapi kita tidak merayakannya, Fat.”
“Tapi
ibu-ibu muda di komplek ini besok malam mau ngerayain Valentine dirumah Jeng
Tyas. Kita juga diundang. Khusus buat yuppie
couple, katanya.”
“Yuppie couple?”
“Itu
loh. Pasangan muda di kota besar yang baru menikah, berpendidikan tinggi, akrab
dengan teknologi tinggi. Para suami
istri yang bekerja di perusahaan-perusahaan besar. Mbak Dewi bilang pokoknya
yang memenuhi syarat seperti itulah.”
“Apakah
kita termasuk yang seperti itu?”
Aku
terdiam.
Kak
Migdad menatapku lembut, “Sayang, kalo tujuan kita merayakan Valentine hanya
untuk menunjukkan betapa sayangnya kita pada pasangan, bukankah setiap saat
kita sudah merayakannya di rumah ini? Lalu buat apa pake acara seremoni tahunan
segala?”
Kak
Migdad benar.
“Besok
malam kita ke mall yuk,” ajaknya. ”Aku mau ajak kamu melihat kegiatan industri
besar-besaran beromset trilyunan rupiah di seluruh dunia yang memanfaatkan
momen Valentine. Minimal kamu akan melihat skala kecilnya dulu.”
“Maksud
Kakak?”
“Makanya
besok malam kita ke mall, nanti kamu juga pasti tau sendiri.”
Apakah
semua itu ujung-ujungnya duit? Aku
memang seorang wanita lugu yang hanya lulusan pesantren, tapi apakah Mbak Dewi dan yang lainnya itu, yang selalu menyebut
diri mereka para yuppie couple
berpendidikan tinggi itu juga tau fakta di balik semua ini? Entahlah.
***
“Kamu
tau Fatimah, para narapidana di Amerika Serikat yang rata-rata keturunan
Afro-Amerika itu, ternyata selama ini dijadikan buruh gratis untuk industri-industri
besar di sana. Mereka disuruh membuat
pakaian jadi, selimut, dan apa saja yang bisa mereka kerjakan dari balik
dinding penjara. Kalaupun diberi upah,
ya kecil sekali.”
“Emang
Kak Migdad pernah ke sana?”
“Ya
enggaklah, sayang. Aku nonton di tivi, acara Voice of America.”
“Oh.”
Kak
Migdad mengendarai mobil menuju mall di pusat kota. Mobil kami berhenti di
lampu merah. Di sebelah mobil kami, pasangan muda yang memakai kaos couple berwarna merah muda berboncengan
di sepeda motor. Gadis yang kutaksir umurnya masih sangat belia itu menempelkan
tubuhnya ke punggung pasangannya, mencengkeram pinggang pasangannya dari arah
belakang. Mesra sekali.
“Lucu
ya, Kak.”
“Kenapa?”
“Cerita
Kakak tentang buruh narapidana kulit hitam itu mengingatkanku dengan Obama,
yang beberapa tahun lalu ke Jakarta. Betapa rakyat dan pemerintah kita begitu
memujanya laksana dewa.”
“Yah,
itulah bedanya Barrack Obama dengan barak pengungsi,” Kak Migdad tertawa lepas.
Mobil
kami melaju menuju mall. Sampai di mall, kami kebingungan mencari tempat parkir.
Mall penuh sesak meskipun ini malam Sabtu. Akhirnya kami dapat juga tempat parkir
di halaman depan mall. Kami berjalan santai di dalam mall yang luas. Sebagian
besar restoran di dalam mall disesaki pasangan muda belum menikah yang
bergembira merayakan Hari Kasih Sayang global itu. Kami berjalan di depan gerai
yang menjual pernak-pernik untuk para remaja putri. Beberapa remaja putri yang belum memiliki pasangan, datang
berbondong-bondong menyerbu gerai itu. Pernak-pernik yang dijual hampir semua
berwarna merah jambu. Seorang remaja putri keluar dari gerai itu dengan membeli
sebuah bantal besar berbentuk simbol hati berwarna merah jambu.
Kami
naik eskalator ke lantai tiga. Di depan pintu masuk bioskop dengan enam buah
studio itu, dipajang poster-poster besar film-film drama romantis yang tayang khusus selama
Valentine. Untuk sementara, film-film
bergenre horor buatan tanah air tidak
diputar dulu, karena akan mengurangi keromantisan malam Valentine.
Kami
menuju sebuah toko boneka yang tak jauh dari bioskop. Aku melihat seorang ibu
dan anaknya yang kira-kira berumur lima tahun menunjuk ke sebuah boneka beruang
ukuran besar berwarna merah jambu yang dipajang di etalase toko.
“Ma,
belikan beruang itu. Pokoknya mau yang itu.”
Aku
mendekatkan wajah ke etalase untuk melihat harga boneka beruang itu.
“Berapa
harganya, Mbak?” kata si ibu mengagetkanku.
“Tiga
ratus ribu rupiah,” jawabku.
“Aduh,
mahal, Nak. Yang lain aja ya ,sayang? Mumu
kan udah punya boneka kayak gini. Lagian buat apa sih punya boneka gede? Yang
kecil aja ya?”
“Nggak
mau! Pokoknya Mumu hanya mau yang itu!”
Anak
itu mulai menjerit-jerit histeris. Dengan terpaksa si ibu masuk ke dalam toko
dan disambut dengan wajah penuh senyum kepuasan dari si mbak penjaga toko.
“Kita
makan, yuk. Lapar nih,” kata Kak Migdad.
Kami
menuju sebuah restoran yang menyajikan masakan khas Jepang. Restoran itu
ternyata tak mau ketinggalan pula dalam menggaet pelanggan di malam Valentine
ini. Mereka menawarkan menu spesial yang diberi nama seromantis mungkin khusus
untuk menyambut Hari Kasih Sayang global ini.
“Malam
ini para remaja di Yogyakarta merayakan ‘Festival Melupakan Mantan’ untuk
menyambut Valentine,” Kak Migdad membuka pembicaraan.
“Astagfirullahaladzim. Makin rusak saja
anak muda kita.”
“Yah,
barangkali ada yang senang melihat anak muda Indonesia hancur karena narkoba
dan perayaan seperti Valentine. Yang pasti, para pedagang untung besar tiap
Valentinan. Dan bangsa kita selalu berebut menjadi konsumen. Itulah kenapa
Valentine harus tetap ada. Karena harus ada yang tetap hidup dan mendapat
keuntungan dari momen tahunan ini. Kamu ngerti?”
Aku
menganguk. Aku jadi teringat dengan ibu-ibu muda di komplekku yang begitu
tergila-gila dengan produk impor demi menaikkan gengsi. Aku berpikir, apakah
ekonomi Valentine yang telah merambah ke
semua bidang ini juga turut dirasakan oleh Mas Joko yang berjualan pecel lele di dekat pintu gerbang komplek kami? Atau Yu Surti, si penjual jamu gendong
langgananku? Tiba-tiba aku teringat dengan Jeng Tyas yang tengah mengadakan pesta
Valentinan, entah seperti apa model pesta itu, aku tak tahu. Aku hanya seorang
wanita lugu lulusan pesantren.
Pontianak, 14 Februari 2015
No comments:
Post a Comment