In Curhat We Unite
EntrepreneurKreatif.Com-In Curhat We Unite adalah tulisan yang saya buat pada tahun 2013. Selamat membaca.
Judul
diatas saya ‘pinjam’ dari hasil riset Merlyna Lim, dengan judul yang sama. WNI
asal Bandung yang menjadi peneliti masalah media baru dari Arizona State
University, Amerika Serikat itu menemukan bahwa media sosial di Indonesia
bukanlah alat demokratisasi dan perubahan sosial yang efektif. Menurutnya, tak
kurang dari 99% gerakan yang mencoba meniru Bibit-Chandra dan Prita gagal.
Merlyna Lim mengatakan bahwa konsumen kelas menengah di Indonesia-Majalah Tempo
menyebutnya dengan istilah kelas konsumen baru, baru tertarik berpartisipasi
dalam gerakan politik bila resikonya kecil. Mengklik setuju di internet itu
resikonya kecil, tapi berunjuk rasa di jalan dan berhadapan dengan aparat itu
beresiko besar.
Hal
ini berlawanan dengan kelas menengah di Malaysia, di mana kelas konsumen baru
turut berperan sebagai kelas menengah yang lebih aktif dalam dunia politik. themalaysiainsider.com menulis bahwa tren ini ditandai dengan gerakan Perhimpunan Bersih 2007, tsunami
politik pilihanraya (pemilu) Mac 2008, Perhimpunan Bersih 2.0 dan Himpunan
Hijau 2.0 di Kuantan. Berdasarkan kajian Pew Global Attitudes Survey yang dimuat
di laman web The Economist tanggal 3 September 2011 dengan judul, “The new
middle classes rise up”, lebih dari 60 persen reponden kelas menengah di
Malaysia mendukung demokrasi yang dilakukan kelas berpendapatan rendah dengan
selisih sekitar 10 persen. Budiarto Shambazy, Redaktur
Senior Harian Kompas dalam tulisannya yang mengulas Perhimpunan Bersih 2.0,
menyebutkan bahwa gelombang ketidakpuasan yang terjadi di Malaysia (Sabtu, 9/7/2012)
digerakkan oleh kelas menengah. Itulah sebabnya sulit membayangkan gelombang
ketidakpuasan seperti itu menjalar ke Indonesia. Dibandingkan dengan negara
lain di Timur Tengah, Maghribi (Afrika Utara), Malaysia juga Thailand, kelas
menengah Indonesia tergolong terbelakang dan tidak melek politik.
Enda
Nasution mengatakan dalam Majalah Tempo Edisi 20-26 Februari 2012 lalu, bahwa
setiap hari terdapat 1,3 juta ‘kicauan’ asal Indonesia di Twitter. Tapi topik
yang paling sering ditulis oleh para tweeps
Indonesia sepanjang 2011 lalu adalah soal Briptu Norman. Sebagian besar
pengguna media sosial di Indonesia memang masih apatis soal politik. Apalagi
pengguna internet di Indonesia sebagian besar masih berusia dibawah 35 tahun.
Konsumen kelas menengah Indonesia masih banyak yang suka curhat dan galau di
media sosial. Sementara, survey Kompas Desember 2011 menunjukkan bahwa
tingkat kekritisan sebagian besar kelas menengah semakin rendah seiring dengan
ruang lingkup problem di masyarakat. Artinya, semakin berat isunya, semakin
acuhlah manusianya.
Rocky Gerung, seorang pengajar
filsafat dari Universitas Indonesia menyatakan bahwa tahap kematangan politik
dan kondisi kejiwaan para ‘orang kaya baru’ di Indonesia ini masih kuat
diarahkan oleh lingkungan komunalnya. Dalam hegemoni kultural itulah pendapat
politik kelas menengah tersandera. Kelas menengah di Indonesia tidak mencari rasa
aman pada sistem institusi modern, melainkan pada nilai-nilai transendental. Mereka mampu beli Alphard, tapi
selalu mengeluh soal kemacetan ibukota. Tahun 2013-2014
merupakan tahun politik bagi seluruh bangsa Indonesia. Sebagaimana kita
ketahui, politik di Indonesia masih kental dengan politik uang. Dalam
tulisannya di Tempo yang ia beri judul “ Consumo Ergo Sum”, Gerung mengajukan
satu pertanyaan penting: “ Bila jumlah mereka mendekati 50 juta jiwa,
berpenghasilan Rp 50 juta setahun pada 2014, cukup mandirikah kelas ini dalam
pemilihan presiden nanti? Seandainya ‘sihir’ politik uang masih akan merajalela
pada Pilpres 2014 nanti, sanggupkah kelas menengah ini menatap jauh ke depan,
pada harapan sistem kebijakan publik yang bersih, dan karena itu mau melakukan
pilihan politik baru?”
Berpolitik dari ujung jari
Seolah berusaha menepis semua keraguan terhadap lemahnya partisipasi kelas menengah
Indonesia dalam hal politik, Di awal 2013 ini, fenomena laman change.org dengan
slogan “Wadah petisi dunia,
apa yang Anda ingin ubah?” berusaha mendidik kelas menengah Indonesia
agar melek politik. Petisi online yang marak di awal 2013 ini sengaja menyasar
kalangan menengah di Indonesia yang sangat aktif dengan internet-terutama media
sosial, agar berpartisipasi aktif dalam hal politik. Salah satu contohnya
adalah Fahira Idris yang menyerukan agar minimarket di Indonesia menghentikan
penjualan minuman keras dan minuman beralkohol kepada remaja dibawah usia 21.
Melalui laman Change, putri Fahmi Idris ini mendapat 2.546 dukungan ‘suara online’ dari
jumlah suara yang diperlukan sebanyak 2.454. Pemberian suara dilakukan dengan
cara meng-klik tanda bertuliskan SERAHKAN, disamping kata TANDATANGANI. Siapa saja dapat membuat petisi di laman Change
dan menyebarluaskannya di internet melalui surel maupun media sosial.
Contoh lain yang berhasil membuat petisi
online adalah Muhamad Isnur asal Jakarta dengan judul petisi di Change
“Perlakukan, Periksa Dan Adili Rasyid Rajasa Sesuai Rasa Keadilan Masyarakat”. Isnur mendapat dukungan sebanyak 1.844 jumlah yang meng-klik, dari total yang
dibutuhkan untuk mengajukan petisi sebanyak 656 ‘suara online’.
Tentu hadirnya laman Change ini sangat dibutuhkan untuk memberi pendidikan
politik bagi konsumen kelas menengah Indonesia terutama menjelang 2014 ini. Agar
kelas menengah kita yang sebagian besar terdiri dari kaum muda yang
berpendidikan tinggi dan sangat internet-friendly ini dapat menyalurkan
aspirasinya secara aktif dan cerdas dalam hal politik demi membangun budaya
perpolitikan Indonesia yang lebih baik, bukan sekedar bersatu dalam curhat dan
galau di media sosial. Semoga.
No comments:
Post a Comment