Header Ads

Pada Sebuah Bintang

Pada Sebuah Bintang
Vivi Al-Hinduan



Setiap malam aku memandang langit.  Selalu berharap ada bintang jatuh yang melintasi langit malam. Kalau berhasil kutemukan, akan kucuri dan kutelan. Kukunyah dan kulumat habis hingga tak tersisa.  Aku menghangatkan tubuh dengan menghirup cappuccino hangat untuk melawan dinginnya  malam. Akankah kamu hadir di antara bintang-bintang dan meluncur ke bumi dalam wujud bintang jatuh?  Tapi malam ini sama seperti malam-malam sebelumnya. Tak satu pun bintang  di langit. Aku dipaksa menelan hampa hingga pagi tiba.
***
“Aku ingin ber-reinkarnasi menjadi bintang,”  kamu berkata padaku malam itu, di antara desahan nafas yang memburu.
“Kenapa?” tanyaku.
“Aku ingin selalu menerangi malam-malammu.”
Aku mencium kamu penuh nafsu. Menjelajahi setiap jengkal tubuh polosmu yang diterangi sinar rembulan.
“Aku mencintaimu,”  bisikku lembut.
“Apakah kau akan menikahiku?” tanya kamu sambil membelai rambutku yang tergerai , basah oleh keringat.
“ Apakah itu mungkin?” tanyaku pasrah.
“Ach! Kenapa kita tak dapat merubah takdir? Apakah kita harus hidup seperti ini selamanya tanpa ikatan perkawinan?”
Aku tertawa.
“Kenapa kau tertawa?”
“Kamu lucu.”
“Aku?”
“Ya. Kau ingin aku menikahimu?”
Kamu mengangguk.
“Mari kita ke Belanda.”
“Kenapa nggak ke Amerika saja?”
***
Tapi aku dan kamu sama-sama tahu, kita takkan pernah menikah di Belanda, apalagi Amerika. Karena sore itu, kamu menemui aku di taman sunyi, tempat kita memadu kasih.

“ Aku akan menikah minggu depan,”  kamu memecah sunyi.
“Dengan aku?” aku mencoba bercanda.
Kamu hanya tersenyum.
“Aku ingin menikah dengan seorang laki-laki sejati,” tegasmu.
“Tolong jangan bilang kalau..”

Kalimatku terhenti oleh ciumanmu di bibirku yang rapuh. Waktu serasa berhenti sesaat. Namun tiba-tiba kamu melepaskan dekapan hangat bibirmu di bibirku . Aku serasa terlempar dari lorong waktu.

“Tidak!”
“Kenapa?”
“Aku ingin menghentikan semua kegilaan ini. Cukup sudah!”
“Kenapa kau lakukan ini semua padaku?”
“Aku ingin menjadi seorang wanita sejati yang menikahi seorang pria sejati.”
“Omong kosong!”
“Aku serius. Ini bukan takdir kita. Ini hanya penyimpangan kejiwaan. Kau bisa sembuh jika mau”
“Mari kita kabur dari negeri ini, beib.”
“Tolong jangan pernah katakan itu lagi.”
“Dasar perempuan penipu!”
“Tidak. Kaulah yang telah menipu dirimu sendiri.”
“Apa yang salah denganku?” aku terisak.
“Tidak ada. Kamu tidak bersalah. Akulah yang telah tersesat selama ini. Aku merasa seperti  Colombus yang telah tersesat jauh dalam usahanya menemukan benua yang sebenarnya.”
“Kukira kau batu permata, rupanya kaca penggores luka.”
“Maafkan aku. Masih ada waktu untuk kembali. Bertaubatlah.”
“Kenapa kau tega melakukan ini padaku?”

Tapi kamu tidak menjawab. Suara klakson mengagetkanku. Seorang pria berkacamata hitam telah menunggumu di mobil itu. Kamu menyerahkan sebuah undangan pernikahan berwarna biru muda, dan perlahan meninggalkanku.

“Masih ada waktu untuk kembali. Kembalilah! Seorang pria sejati telah menunggumu di suatu tempat,” bisik kamu untuk terakhir kalinya di telingaku.
“Aku akan selalu menunggumu. Aku akan menunggu hingga kau mati dan ber-reinkarnasi menjadi bintang yang kembali jatuh ke pelukanku untuk selamanya,” aku berteriak hingga serak.

Ach, cinta, apakah kau masih bermakna? Tatkala asa telah menjelma luka? Aku tau kamu masih mencintaiku. Tapi kamu dihadapkan pada dua pilihan, dan kamu tak mungkin memilih keduanya.  Aku tak menyalahkan pilihanmu. Bukankah hidup adalah pilihan? Pun meski aku mengharubiru, itu takkan mampu mengubah takdirku.

Aku mungkin telah salah mengambil nomor undian jenis kelamin, ketika masih mendekam di rahim ibu, hingga terlahir sebagai seorang perempuan. Mungkin satu-satunya yang patut disalahkan hanyalah cinta, makhluk paling irrasional di muka bumi ini, yang telah melabuhkan hatiku padamu untuk selamanya. Tapi siapakah yang mampu menahan datangnya cinta?

“Kenalkan, ini Kei,” kamu pernah memperkenalkan pria itu padaku bulan lalu.
“Kei,” ia memperkenalkan diri.
Aku menyebut namaku, tanpa menaruh curiga sedikit pun padanya.
“Kami teman sekantor,” kamu melanjutkan. “Aku dan Kei akrab sejak setahun terakhir.”
“Oh,” itu saja yang keluar dari bibirku waktu itu.
****
Malam ini sama seperti malam-malam sebelumnya. Bintang-bintang kecil berkelap-kelip di langit malam yang gelap. Ingin rasanya aku terbang dan menggunting gravitasi agar bintang-bintang itu berguguran ke bumi. Atau aku memancing bintang jatuh yang kebetulan melintas di langit malam dengan aroma cappuccinoku yang seksi, lalu membiarkannya larut di ususku.

Aku telah meneguk habis cappuccino ketigaku dan mengisi cangkirku dengan cappuccino keempat untuk melawan kantuk dan menghangatkan tubuh. Tapi  aku kalah. Selalu kalah. Pun aku tak mampu berbuat apa-apa ketika dokter memvonisku menderita kanker serviks. Aku ingat, aku pernah mengeluh padamu tentang vaginaku yang beberapa kali mengeluarkan darah setelah berhubungan.

“Kamu sudah periksa?” kamu bertanya padaku waktu itu.
Aku menggeleng, “Aku takut.”
“Mungkin cuma kista kecil. Bisa dioperasi kok.”
“Masak?”
“He-eh. Makanya periksa biar jelas.”
“Tapi..kalo yang lain gimana?”
“Misalnya? Nggak mungkin HIV kan?”
“Aku tak tau. Aku takut kalau ternyata bukan sekedar kista.”
“Halah, jangan suka nakutin diri sendiri. Ntar kejadian loh.”
Ternyata firasatku benar. Aku ingin pingsan ketika dokter itu mengatakan kemungkinan terburuk penyakitku.
“Leher rahim Anda harus diangkat.”
“Tapi Dok..”
“Ya, terserah Anda. Kalau mau coba pengobatan alternatif ,ya, silahkan saja.”

Bintang-bintang masih menari di langit. Udara tengah malam menusuk tulangku. Mungkin kamu takkan pernah ber-reinkarnasi menjadi bintang. Namun, aku takkan pernah putus menggantung harap pada sebuah bintang.  Aku bukanlah seorang pecundang yang menyerah meski kamu meninggalkanku, dan penyakit ini datang begitu saja menggantikan kamu di tubuh aku. Tidak! Aku membawa cangkir kosong cappuccino masuk ke rumah. Hampa.
***

Di langit, sebuah bintang tampak bersinar lebih terang dari bintang lainnya. Bintang itu berkelap-kelip dan bergerak perlahan melintasi langit malam menuju bumi.

No comments:

Powered by Blogger.