Header Ads

Aku dan Sepatu


                  Aku mengenang kembali deretan sepatu yang tersusun rapi. Sebagian besar berupa sepatu olahraga. Ada 50 pasang yang terdiri dari merek-merek terkenal. Adidas, Puma, Nike, Reebok, yang beberapa di antaranya merupakan limited edition yang kubeli sewaktu mengikuti Olimpiade di luar negeri, dan sewaktu pelesiran ke Eropa. Masa jayaku 20 tahun silam.

       Aku merasakan jantungku berdetak kencang. Selalu seperti itu. Meski pun sudah 10 tahun berlangsung. Debarannya masih sama seperti dulu. Sebentar lagi peluru akan ditembakkan ke udara, tanda pertandingan segera dimulai. Aku melirik samping kiriku, seorang pelari jarak pendek alias sprinter dari Belgia. Rambutnya pirang dan sekujur tubuhnya dipenuhi bintik merah seperti orang terkena demam berdarah. Di samping kananku seorang sprinter dari Vietnam. Aku harus membawa medali emas bagi Indonesia di Olimpiade kali ini. Dorr! Sebuah tembakan melesat merobek  udara. Aku berlari secepat angin.


         Medali emas ke-5 itu kukaitkan di paku dinding ruang tamu. Tak terhitung banyaknya medali perak dan perunggu yang sudah kuperoleh selama sepuluh tahun berkarir sebagai atlet sprinter internasional. Kalau di Bulutangkis, prestasiku dapat disejajarkan dengan Taufik Hidayat. Aku adalah pahlawan bangsa yang berjuang  mati-matian mengharumkan nama Indonesia di pentas dunia.

           Tapi saat ini, di tempat ini, aku tak lebih dari seorang pecundang tengik. Kini aku berbaring di lantai semen yang dingin dengan hanya beralas  kain sarung tipis, berhimpitan seperti ikan pepes bersama lima lelaki berbadan besar dan bertato. Tidur di ruang  pengap  tanpa ventilasi dan berbau pesing menyengat ini. Nasib.
“Burhan, ada tamu cari kamu. Cepat keluar!” bentak lelaki berperut buncit itu.
       Mataku mencari sosok itu ke sana ke mari di ruang bezuk ini, tapi tak ada satu pun yang kukenal. Aku menghampiri petugas.
 “ Siapa yang mencariku?”
“Tadi ada seorang wanita datang. Dia membawa ini.”
Petugas itu menyerahkan bungkusan plastik yang isinya sudah bisa kutebak. Sebuah buku.
Siapa yang iseng mengirimiku buku-buku bisnis ini?

        Ini sudah ketiga kalinya sosok misterius itu mengirimiku buku yang dikarang seorang ahli Kebebasan Finansial. Buat apa aku membaca itu? Aku sudah bangkrut. Bahkan sekarang  membeli waktu pun aku tak mampu. Aku terperangkap di ruang kematian ini.

Aku membawa buku itu ke selku. Sepanjang perjalanan, aku berpikir keras dan mati-matian mencoba mengingat, siapa di antara teman-teman wanita yang dekat denganku yang senang membaca buku? Rasa-rasanya tidak ada…tunggu, aku ingat!

***
 “Sylvia Vivi Wilhelmina,” gadis di hadapanku tersenyum.
“Burhanuddin. Panggil aja Burhan.”
Dia menghisap rokok dan menghembuskan asapnya lewat hidung.
“Badanmu bagus sekali, Brur Hans.”
“Maaf, namaku Burhan, bukan Brur Hans.”
“Haha, aku tau. Namamu mengingatkanku pada almarhum abangku, Hans.”
“Maksudnya?”
“Iya, namanya Hans. Brur dalam bahasa Belanda artinya abang.”
“Oh, oke.” 
“Dia satu-satunya saudaraku. Dia meninggal setahun lalu karena overdosis narkoba.”
Aku menghela napas. Kasihan sekali.
“Sering ke bar ini, Hans?”
“Baru pertama kali. Aku ke sini sama teman,” aku menunjuk Yudi yang tengah main billiard di pojok sana.
“Kamu sendiri?” tanyaku.
“ Aku penyanyi jazz di sini.”
“Senang jazz?” tanyaku. Pertanyaan retorik.
“Pastinya. Sebentar lagi aku tampil. Mau request lagu apa?”
“Hmm, aku tidak terlalu suka jazz. Bikin ngantuk.”
 “Trus, sukanya apa?”
“Dangdut.”

***
 “Dapat kiriman lagi ya, dari pacarmu?”
“Pasti buku lagi.”
“Han, lo pacaran sama kutu buku, ya? Salah pilih, lo.”
“Muahahaha…”
            Aku merobek bungkusan hitam tipis itu. Sebuah buku tebal berwarna putih yang masih berbungkus plastik tipis transparan terlihat jelas. Di covernya ada tulisan mencolok dari tinta merah : The Cashflow Quadrant. Nama penulisnya sama dengan dua buku sebelumnya, Robert Kiyosaki. Apakah Sylvi yang mengirimiku buku-buku ini? Apakah ia masih sudi mengingatku? Ach!

“ Kenapa kau bisa berada di tempat ini, Han?”
            Pertanyaan itu berasal dari Bowok. Seorang pria seusiaku yang berewokan dan sekujur tubuhnya dipenuhi tato. Rambutnya yang gondrong dibiarkan tergerai, menambah kesan angker dirinya.
“Aku berada di sini karena alasan yang sama denganmu, Wok.”
Aku memperhatikan kamar pengap ini. Tempat terkutuk ini tak pernah sedikit pun terlintas di pikiranku. Bahkan dalam mimpi terliarku sekali pun.

***
           Aku menjual satu-persatu medali emasku di pasar gelap. Aku kehabisan duit. Sylvi  terus-terusan mengomel dari tadi karena susu bubuk bayi kami sudah habis. Sejak memutuskan untuk ‘gantung sepatu’ setahun lalu karena desakan usia, aku  beralih profesi sebagai pelatih. Ternyata, penghasilan sebagai seorang pelatih tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupku dengan seorang istri dan dua anak balita kami, belum lagi ditambah gaya hidup istriku yang mewah. Dia masih saja mengira aku adalah seorang atlet nasional yang hidup berlimpah uang. Ia tidak mau menerima kenyataan bahwa masa-masa indah itu telah lama berakhir. Dan sekarang aku harus mencari kerja sampingan di usia 40 tahun. Adakah kantor yang mau menerimaku?
 Hingga suatu hari…
“Mau kerja, Han? Aku punya kerjaan bagus buat kau.”
“Kerja apa, Bang?”
“Kerjanya ringan. Cuma ngantar paket.Tapi gajinya tiga kali lipat dari gajimu sebagai pelatih.”
Bang Joni menjelaskan apa yang harus kulakukan. Semula aku ragu, namun desakan ekonomi memaksaku untuk mengambilnya, dengan segala resiko yang harus kuhadapi.

“Jadi kau ketangkap basah aparat yang menyamar jadi pembeli narkoba?” tanya Paul.
“Iya. Dan Joni sudah kabur ke luar negeri. Sial!”
“Han. Jangan jadi atlet. Mati-matian kau membela bangsa, apa yang kau dapat, Bung?” tannya Roy.
“Apa yang kudapat? Banyak. Selama masa jayaku, aku sering liburan ke luar negeri dengan Sylvi, yang akhirnya kusunting menjadi istriku. Kami mendapat apa saja yang kami inginkan. Bulan madu ke Paris, belanja habis-habisan di Roma dan Singapura, serta berlibur ke kampung halaman Omanya Sylvi di Delf, Belanda.”
“Han, kamu ndak pernah nabung buat masa depanmu, selain foya-foya?” tanya Ibenk.
“Waktu itu aku tidak memikirkannya.”


Ingatanku melayang ke masa 15 tahun silam, di sebuah rumah elit di kawasan Menteng.
“Han, kamu tidak terpikir untuk berbisnis?”
“Halah, kok mikirin bisnis sih? Hidup untuk dinikmati.”
Yuke menghisap hashis yang dibelinya di Turki.
“Atau menginvestasikan uangmu di saham misalnya? Pokoknya biar duitmu muter, nggak habis begitu aja.”
“Aku nggak mau mikirin bisnis. Aku nggak berbakat sama sekali.”
“Ini bukan soal bakat, Bung. Ini suatu keterampilan yang bisa dipelajari siapa pun.”
“Kamu kebanyakan baca buku, ya?”
          Aku menatap deretan buku-buku tebal yang memenuhi lemari buku raksasa milik Yuke, wanita blasteran Jawa-Jerman yang cantik itu.
 “Kerjaanmu itu sangat mengandalkan fisik, Han. Setauku, semua kerjaan yang mengandalkan fisik itu dibatasi faktor usia, betul tidak?”
Aku mengangguk.
“Han, apa kamu pernah  berpikir mau makan apa setelah pensiun dari atlet?”
Aku  terdiam. Yuke benar. Sedikit pun tidak pernah terlintas di benakku mengenai masa depanku.
“Han, liat aku! Aku  menulis novel dan buku-buku motivasi yang laris manis. Dan semua itu mendatangkan royalti buatku. Aku bisa hidup setahun penuh tanpa harus bekerja sama sekali. Hebatkan?”
“Kok bisa?”
“Aku dapat  duit  dari hasil cetak  ulang buku-bukuku. Ya, royalty  itu yang menghidupiku.”
“Oh, jadi sekarang kamu menyuruhku jadi penulis? Kamu gila, ya?”
“Aku menyuruhmu mulai memikirkan bisnis, karena aku tau kamu  nggak mungkin bisa jadi penulis sepertiku. Baca buku aja nggak pernah.”
“Bisnis apa? Aku tuh nggak berbakat, sayang.”
“Hei, dengar, persetan dengan bakat! Mulailah dari hobimu.”         
“Kamu ngelantur, ya?”
“Atau mungkin Sylvi bisa membuka butik di rumahmu. Diakan hobi belanja.”
“Hahaha..Yuke, dia itu bisanya hanya ngabisin duitku.  Taunya belanja saja, tapi nggak bisa ngasilin duit.”
Yuke menatap mataku dalam-dalam.
“Kalau begitu, mungkin kamu sudah salah pilih istri.”
Aku menghela napas, “Ya, mungkin kamu benar.”

 *) telah di muat di Harian Pontianak Post, Minggu 9 Januari 2011 


No comments:

Powered by Blogger.