Header Ads

Gadis di Kafetaria

Gadis di Kafetaria

Aku memasuki kafeteria di pusat kota itu. Hatiku hampa. Tanpa siapa. Tanpa cinta. Kafé  masih lengang, belum banyak pengunjung yang datang. Aku memesan lemon tea untuk menyegarkan tenggorokanku yang kering. Jantungku berdegup kencang. Apa ya  kira-kira yang akan dilakukan Pak Margono padaku? Apakah ia akan mengancamku atau justru menyogokku dan memohon agar aku rujuk kembali dengan putri tunggalnya yang telah kutalak satu itu? Ach!

Minumanku tiba. Seorang gadis berkulit putih dan berkaos biru langit memasuki kafeteria dan duduk berjarak dua meja di hadapanku. Sendiri saja. Tunggu siapa?

Aku tak habis pikir, kenapa Tyas, istriku yang sangat kucintai, tega melakukan ini padaku? Apakah permintaanku kelewat batas? Rasanya tidak. Aku hanya ingin punya anak laki-laki, setelah Tyas memberiku tiga orang putri. Bukannya aku tidak mencintai ketiga bidadari kecilku yang lucu dan menggemaskan itu. Aku hanya ingin memiliki seorang putra yang kelak akan meneruskan nama besar  klan Suryadinata.

Suara ponselku berbunyi, ada pesan masuk. Ah, paling-paling Tyas, pikirku. Atau mungkin Nyonya Margono  yang suka mencampuri urusan rumah tangga putrinya itu. Aku memmerhatikan gadis yang duduk di hadapanku, terpisah jarak dua meja dariku. Ia baru saja selesai menelpon-atau ditelepon-seseorang. Mungkin seorang pria yang akan bertemu dengannya sebentar lagi di kafé ini.

Tak sengaja mata kami beradu pandang. Ia tersenyum padaku, malu-malu mau. Pikiranku mulai melayang tak karuan, aku berdoa semoga kali ini semesta menolongku. Semoga ayah mertuaku tidak bisa datang karena encoknya kumat dan semoga siapa pun yang akan ditemui gadis itu di kafé ini membatalkan janjinya.



Sesaat ragu menyergapku, apakah Tyas akan cemburu? Aku ingat perkataan Tyas yang sangat menyakitkan itu, yang menjadi awal pertengkaran kami.

“Nggak bisa, Mas. Aku nggak mau punya anak lagi, capek. Lagian, aku udah lama pake alat kontrasepsi ini.”
“Kan bisa dilepas, toh?”
“Pokoknya aku nggak mau melahirkan lagi. Sakit, tau!”

Brengsek! Semua ini pasti gara-gara alat kontrasepsi itu. Kontrasepsi yang selalu menimbulkan kontrapersepsi. Setidaknya aku sudah melakukan semua sesuai ajaran Islam, kataku menghibur diri. Mulai dari menasehatinya secara baik-baik, tapi ia keras kepala. Lalu kucoba pisah ranjang dengannya, dengan harapan ia akan berubah. Eh, ternyata ia malah mengadukan masaalah itu ke orangtuanya, yang akhirnya memaksaku untuk menjatuhkan talak satu padanya.
Tiba-tiba aku teringat, ada pesan masuk masuk di ponselku. Aku membukanya. Setengah tak percaya aku membaca sms itu. Dari Pak Margono, ayah Tyas.

Di, papa nggak bisa datang malam ini, ada janji ketemu sama rekan bisnis di hotel. Besok malam saja kamu ke rumah, ya? Udah lama kita nggak makan malam bareng.  Papa tunggu besok malam ba’da Isya.

Thanks God. Akhirnya si tua itu membatalkan janjinya. Aku menatap gadis di hadapanku. Gadis lucu, gadis lugu, baju biru. Ia tersenyum menggoda. Aku memberanikan diri menghampirinya. Lembut kusapa dia tersipu, dan tertunduk malu. Ataukah hanya pura-pura begitu? Ah, bodoh amat. Toh ia hanyalah sosok asing yang tak sengaja kutemui di kafé ini. Mungkin besok aku sudah menghapus bayangnya dari ingatanku, untuk selamanya.
“Didi,” kataku memperkenalkan diri.
“Karina. Silahkan duduk.”
“Karina nungguin siapa?”
“Teman.”
“Teman istimewa nampaknya?”
Karina tertawa,”Kalau kamu?”
“Sendirian saja, sekedar melepas lelah.”

Pelayan kafé mengantarkan pesanan  Karina. Cappuccino dengan es krim vanila di atasnya. Sangat menggoda.
“Aku suka itu.”
“Maaf?”
“Itu. Cincin kawinmu.”
“Oh, aku lupa menanggalkannya.”
“Hahaha...curang.”
“Tidak. Aku baru saja menceraikan istriku tiga hari yang lalu.”
“Kenapa?”
Aku menceritakan semuanya.
“Aku pernah hampir menikah,” kata Karina,”tapi batal.”
“Oh ya?  Kenapa rupanya?”
Karina menghirup cappuccinonya,
“Aku seorang pianis, dulu. Setiap akhir pekan aku tampil di sebuah hotel bintang lima di selatan Jakarta.”
Karina melanjutkan,”Di situ aku kenal dengan seorang pria beristri yang tidak bahagia dengan istrinya. Ia ingin menjadikanku istri keduanya.”
“Dan kau menerimanya?”
“Tentu saja.”
Aku terdiam.
“Kenapa, Di? Kau menganggap tindakanku tidak bermoral?”
“Tidak, tentu saja tidak.’”
 “Masih adakah moral di negeri ini? Berapa harganya? Biar kubeli.”
Aku tertawa.
“Sekarang ini orang yang berpoligami dicaci maki, tapi yang terang-terangan berzina atas nama selingkuh malah dibiarkan. Ach, negeri yang aneh.”
“Lalu kenapa kau batal menikah dengannya?” tanyaku penasaran.
Karina menghela napas, “Ia lebih memilih bersama Ratih.”
“Istrinya?”
“Karyawan baru di hotel itu.”
“Wow!”
“Kenapa wow?”
“Kau dicampakkan begitu saja karena seorang karyawan baru?”
“Hidup itu kejam, ya?”
“Apakah mantan pacarmu menikahi gadis itu?”
“Tidak. Ia meninggalkannya begitu saja setelah puas  merenggut semua keluguan si gadis bodoh itu.”
“Gadis itu telah mendapat karma yang sepadan.”
Karina menerawang, ”Gadis desa yang malang. Kehidupan kota telah melumatnya. Tak bersisa.”
Sebuah pesan masuk ke ponsel Karina.
“Aku harus pergi sekarang. Sudah ditunggu di depan.”
“Senang kenalan denganmu.”
“Besok malam datanglah ke café ini, jam setengah delapan.”
“Tapi aku sudah janji dengan ayah mertuaku untuk makan malam dirumahnya,” aku mulai bimbang,
”Mantan ayah mertuaku,” aku segera meralat.
“Kau akan mendapat kejutan yang jauh lebih menyenangkan jika memilih datang ke kafé ini.”
“Dan apakah yang akan kudapatkan itu?”
“Kau akan melihat Karina bernyanyi sambil bermain piano.”
“Oh ya?”
“Aku janji  takkan mengecewakanmu,” Karina tersenyum sambil mengedipkan sebelah mata.
***
Aku duduk di kafé ini. Tak sabar menyaksikan penampilan Karina.  Aku sengaja mematikan ponsel agar Pak Margono tak bisa menghubungiku. Emangnya dia siapa? Toh dia hanyalah mantan mertuaku yang selalu saja mencampuri urusan rumah tangga aku dan Tyas. Bahkan dia memaksa putriku yang masih SD untuk belajar bahasa Belanda. Buat apa, coba?
Zondag, Maandag, Dinsdag, Woensdag.”
“Apa artinya, sayang?” tanya Bu Margono.
“Minggu, Senin, Selasa, Rabu.”
“Pintaarrr...” kedua mertuaku bertepuk tangan.
Aku merasa muak dan bergegas menuju kamar, ketika putri sulungku itu bertanya,
“Papi?”
“Ya, sayang?”
Mijn naam is Miesje, wat is Uw naam?”**)
Aku masuk ke dalam kamar dan menghempas pintu. Dari luar terdengar tawa keras Pak Margono yang penuh kemenangaan.
Tepuk tangan para pengunjung kafé membuyarkan lamunanku. Di panggung, seorang wanita cantik bekulit putih bersih duduk di depan piano. Tapi ia bukanlah Karina. Ke mana Karina? Apakah ia sakit?
Penyanyi itu bicara melalui mikrofon kecil yang diletakkan di atas piano,

“Selamat malam semua, saya Karina. Malam ini saya ingin membawakan sebuah tembang lawas berjudul  A Great Pretender. Untuk mengenang seorang teman lama, Ratih. Ia bunuh diri tepat setahun silam di kafe ini.”

Jari-jari lentik Karina mulai menari di atas tuts piano. Lampu-lampu di atas kepala pengunjung dipadamkan. Aku merasa napasku sesak.

*) Terinspirasi dari lirik lagu Dian Pramana Putra, dengan judul yang sama.
**) Nama saya Meisje, siapa nama anda?
Dalam bahasa Belanda, meisje juga berarti anak perempuan.








No comments:

Powered by Blogger.