Kisah Seorang Operator Telepon
Kisah Seorang Operator Telepon
Vivi Al-Hinduan
Azan Isya
berkumandang di kejauhan. Cecep Gorbachev memacu motor bututnya membelah malam.
Sudah tiga tahun ia bekerja di tempat itu. Melakukan hal yang sama dari waktu
ke waktu. Sungguh membosankan. Lama-lama aku bisa terjebak kedalam nadaism, batinnya. Melakukan rutinitas
sehari-hari bernama kerja yang membosankan, nothing
special, nothing remarkable, nothing loved. Semua serba biasa-biasa saja.
Terlalu biasa-biasa saja. Tak heran banyak pekerja di seluruh dunia yang menderita
stres di usia muda, usia produktif mereka.
Sebenarnya Cecep
sudah jenuh bekerja sebagai operator
yang khusus menerima dan mendengar curahan hati dari para pelanggan jaringan
telepon itu, yang tersebar di seluruh Indonesia. Ia sengaja memilih shift malam, mulai dari jam 19.30 sampai
jam 5 subuh. Pagi hingga sore hari, Cecep bekerja sebagai tenaga honorer Tata
Usaha di SD tempat bapaknya mengajar.
Ia banting tulang
setiap hari agar mampu membeli sebuah motor besar impiannya untuk menggantikan
motor bututnya ini. Namun, gaji yang ia terima setiap bulan dari dua pekerjaan
itu belumlah cukup untuk ditabung guna membeli motor baru impiannya itu.
Cecep memasuki
halaman kantornya yang sunyi. Seorang satpam berjaga di pos depan. Kejutan apa
lagi yang bakal kudapat malam ini? Batin Cecep. Kadang ia iri dengan kehidupan
yang dijalani orang-orang yang meneleponnya di tengah malam itu, untuk
mencurahkan isi hati mereka. Kehidupan mereka begitu penuh warna, seperti
pelangi yang takkan pernah mampu diraihnya.
Seperti malam
Jum’at lalu, ketika ia mengangkat sebuah telepon dari seorang pria yang mengaku
bernama Sinyo, tepat jam sebelas malam.
“Selamat malam, dengan Cecep
Gorbachev di sini. Ada yang bisa dibantu?” Cecep mencoba seramah mungkin.
Suara serak menakutkan di seberang sana
membuat Cecep terlompat dari kursinya.
“Maaf, dengan mas siapa ya?” tanya
Cecep gemetar.
“Panggil saja Sinyo.”
“Oke, Mas Sinyo, ada yang mau
dicurhatin?”
“Saya baru saja melihat seorang
pembunuh, beberapa jam yang lalu.”
Jantung Cecep seperti ingin lepas.
“Kenapa nggak dilaporin ke polisi,
Mas?”
“Saya mau cerita dulu sama situ.”
“Oke deh kalo begitu, silahkan
cerita.”
“Saya melihat sebuah sedan hitam
berhenti di dekat tempat sampah. Saya kebetulan lagi mengais tempat sampah
itu.”
“Apa yang anda cari di sana?”
“Harga diri saya yang hilang.”
“Oke, lanjut.”
“Saya melihat seorang pria muda
turun dari sedan itu, membawa lima kantong plastik hitam kecil berisi potongan
tubuh istrinya. Ia membuang kantong plastik pertama di tempat sampah itu, lalu
pergi ke sungai yang tak jauh dari tempat sampah itu untuk membuang kantong
plastik kedua.”
Sinyo melanjutkan,”setelah itu ia
mengendarai sedannya berlalu dari hadapanku.”
“Anda hafal nomor plat
kendaraannya?”
“Iya.”
“Kalau begitu, setelah ini saya sarankan
anda segera lapor polisi dan menyebutkan plat nomor kendaraan si pembunuh itu.”
“Apakah ada perlindungan terhadap
keselamatan saya selaku saksi pelapor? Jangan-jangan setelah melaporkannya,
malah nyawa saya terancam.”
“Tenang saja, Mas. Katanya ada
sebuah lembaga negara yang siap menjamin keselamatan saksi pelapor. Katanya
sih...”
Sesaat cecep ragu.
Apa benar lembaga negara itu bisa menjamin keselamatan nyawa seorang saksi
pelapor, seperti iklan layanan masyarakat yang ditontonnya di tivi? Karena dari
berita di tivi dan koran yang ditonton dan dibacanya setiap pagi di kantor ini,
seorang pelapor kasus korupsi yang begitu menggurita di negeri ini malah
ujung-ujungnya dipenjarakan. Nasib.
“Tapi saya tetap nggak bisa, Mas,”
kata Sinyo.
“Loh, kenapa?”
“Karena sayalah pembunuh itu.”
***
Cecep masuk ke
sebuah ruangan yang sangat dikenalnya selama tiga tahun bekerja di kantor itu,
ruang operator telepon. Dengan perasaan lelah dan jemu yang teramat sangat, ia
masuk keruangan itu dan duduk di kursinya. Oh,
poor room. There is no time. No end. No today. No yesterday. No tomorrow. Only
forever and forever without end1).
Setengah jam duduk
di situ, belum ada juga yang menelpon. Cecep keluar dari ruang operator menuju pantry. Ia menemukan sebungkus kopi
instan. Ia menyeduh kopi instan untuk menghangatkan malamnya yang panjang.
Ach, betapa hidup
sekarang ini menjadi serba instan, batin Cecep sambil mengaduk kopi. Banyak
penyanyi di negeri ini yang mendadak ngetop lewat jalur instan, mampukah mereka
bertahan menghadapi kerasnya persaingan dunia hiburan tanah air? karena pada
akhirnya kualitas juga yang menentukan. Belum lagi cinta instan, politisi
instan..haduh, puyeng! Padahal barang-barang instan itu tercipta dari hasil
penelitian bertahun-tahun di laboratorium, yang tentu saja prosesnya tidak
instan.
Cecep berjalan
kembali ke ruang operator. Cecep duduk di kursinya tepat ketika telepon
berdering.
“Selamat malam, dengan Cecep
Gorbachev di sini. Ada yang bisa dibantu?”
Hening.
“Hallo, selamat malam, dengan siapa
di sana?”
Tiba-tiba terdengar suara tangis
seorang wanita di seberang sana. Bulu kuduk Cecep merinding? Apakah Kuntilanak
yang baru saja menelponnya?
“Selamat malam, Kang Cecep,” sahut
suara sedih wanita di ujung sana.
“Malam, Mbak. Kok nangis?”
“Saya baru saja diputusin sama
pacar saya.”
“Maaf, dengan mbak siapa nih?”
“Devina di Garut.”
“Jangan nangis dong, Mbak Vina.
Putus cintakan bukan akhir cerita.”
“Cinta adalah kenangan, terkadang
di atas segalanya. Cinta adalah kenangan, goresan dua hati yang kasmaran… 2)”
Devina bernyanyi pelan.
“Wah, bagus banget suaranya Mbak
Vina. Mbak penyanyi ya?”
“Bukan, Kang. Saya mahasiswi.”
“Pernah kepikiran buat jadi
penyanyi profesional?’
“Nggak ah, saya malu.”
“Kenapa harus malu?”
“Suaraku jelek begini.”
“Nggak ah, bagus kok. Saya bayangin
pasti orangnya cantik.”
“Tapi mantan pacar saya selalu
menghina suara saya.”
“Tapi Anda sendiri yakin nggak
kalau suara Anda merdu?”
“Iya sih, tapi orang-orang
terdekatku nggak ada yang memuji suara saya. Cuma Kang Cecep aja nih. Kang Cecep
bohongin saya kan?”
“Nggak, saya jujur kok. Kalau kamu
terus-terusan mendengar perkataan negatif mereka, lama-lama kamu bisa mematikan
potensi kamu sendiri loh. Siapa yang rugi, coba?”
“Terus saya mesti gimana, Kang?”
“Coba ikut lomba nyanyi yang
diadakan di Garut. Kalau menang, berarti Anda memang berbakat jadi penyanyi.
Mau kan mencoba?”
“Kang Cecep ah. Ngomongnya sebentar
pake Anda, sebentar pake kamu. Gimana, sih?”
“Eh..biasalah, Neng. Kakang mah
galau dengerin suara Neng Vina yang serak-serak seksoy ini.”
“Ih, si akang mah suka gitu. Kalau
kalah gimana, Kang?”
“Yah nggak apa-apa juga. Setidaknya
Anda sudah berani mencoba. Iya kan?”
“Makasih ya, Kang Cecep.”
“Sama-sama, Neng Vina.”
Telepon diputus.
Cecep melihat jam
dinding di ruangan itu. Jam satu dini hari. Ia menghabiskan sisa kopinya untuk
melawan kantuk. Telepon kembali berdering. Siapa lagi sih ini?
“Selamat malam, dengan Cecep
Gorbachev di sini. Ada yang bisa dibantu?”
“Malam Kang, saya mau bunuh diri
sebentar lagi. Ada saran nggak, cara terbaik buat bunuh diri pake apa ya?”
“Haduh, jangan dong. Kenapa Anda
sampai nekat mau bunuh diri? Anda di mana sekarang?”
“Saya lagi di telepon umum dekat
rumah. Saya nggak tahan, Kang. Hidup makin susah. Mau beli cabe aja saya nggak
mampu, apalagi yang lain. Udah seminggu kami nggak makan.”
“Iya, tapi jangan pesimis gitu
dong, Bu. Dengan Ibu siapa ini?”
“Sudahlah, nggak penting situ tau
nama saya. Saya cuma rakyat kecil. Suami saya sudah setahun di penjara karena
mencuri kambing tetangga. Ketiga anak saya barusan saya bunuh, tuh. Saya nggak
tahan melihat mereka menderita. Sebentar lagi saya akan menyusul mereka.”
“…. “
Telepon diputus.
Betapa tak berartinya nyawa rakyat
kecil di negeri ini, batin Cecep.
***
Azan subuh
terdengar di kejauhan. Cecep senang karena tugasnya berakhir juga hari ini.
Besok hari Minggu, ia akan tidur siang sepuasnya di rumah. Baru saja Cecep
hendak meninggalkan ruangan, telepon berdering. Dengan malas Cecep
mengangkatnya.
“Selamat pagi, dengan Cecep
Gorbachev di sini. Ada yang bisa dibantu?”
“Pagi, Mas Cecep. Saya Pak Babeh di
Jakarta. Mau curhat boleh?”
“Silahkan, Pak Babeh.”
“Anu Mas, aku lagi sedih banget
loh.”
“Kenapa, Pak?”
“Anu, soale udah tujuh tahun saya
bekerja tapi gaji saya nggak naik-naik juga. Sedih saya.”
Sama dong, kata Cecep dalam hati.
Gajiku juga statis, kecil lagi.
“Emangnya gaji Bapak berapa?
Cukupkan buat makan sehari-hari?”
“Yah, lumayanlah. Gaji saya sebulan
itu cuma sekitar... enam puluh dua juta rupiah saja.”
“Hah?!”
1) Puisi karya Ivan Albright berjudul
‘Poor Room’.
2) Lagu berjudul Semua Jadi Satu;
dipopulerkan oleh Dian Pramana Putra dan Malida.
No comments:
Post a Comment