Header Ads

Mbok Yam, Perempuan Pasar Senggol

Mbok Yam, Perempuan Pasar Senggol
Vivi Al-Hinduan

Tak sukar menebak berapa umur Mbok Yam.  Dari kerut di wajahnya, jemari tangan yang keriput, kita dapat menduga perempuan itu berusia sekitar enam  puluh. Setiap subuh, ia sudah berangkat ke Flamboyan untuk memborong sayur-mayur, dan  paginya dijual kembali di Pasar Senggol, sebuah pasar tradisional di tepian Kapuas, yang tak jauh dari Masjid Jami’ Sultan Abdurrahman.


Dari kerutan di wajahnya pula, kita seolah dapat membaca perjalanan hidup janda dua anak itu, yang tak semulus Jembatan Tol Kapuas. Terutama sebulan terakhir, sejak menantunya dijebloskan ke penjara. Mbok Yam masih ingat betul kejadian nahas itu. Waktu masih menunjukkan pukul dua dini hari, saat Mbok Yam seperti biasa bangun dan mengambil wudhu untuk sholat Tahajud.

Tiba-tiba, ia mendengar suara ribut, teriakan aparat, dan suara letusan peluru berdesing merobek gendang telinga. Disusul  gedoran kencang di pintu. Mbok Yam bergegas mengintip dari balik gorden lusuhnya, tiga orang petugas bersenjata lengkap memaksanya membuka pintu.

Pintu terbuka, mereka bergegas masuk tanpa permisi. Seorang pria separuh baya yang tadi tidak terlihat di jendela, menghampiri Mbok Yam yang gemetar. Ia menanyakan keberadaan Mang Udin, menantu Mbok Yam. Spontan, Mbok Yam menunjuk Poskamling di dekat Sungai Kapuas, tempat biasa Mang Udin sering mabok dan melinting ganja bersama beberapa warga di kampung yang sangat terkenal di Pontianak sebagai kampung narkoba itu. Mbok Yam hanya bisa menangis bersama Nong, putri sulungnya, ketika aparat memborgol Mang Udin melewati depan rumah perempuan tua itu. Sebenarnya sudah ribuan kali Mbok Yam mengingatkan menantunya itu, tapi Mang Udin tak pernah menggubris.

Mbok Yam sedih bukan karena memikirkan nasib putrinya setelah Mang Udin ditahan. Toh selama ini menantunya itu cuma pengangguran yang lebih sering mabok dan berjudi di Poskamling, sambil sesekali mencari nafkah dengan melinting ganja dan menjadi bandar narkoba.

Bukan itu. Mbok Yam sedih karena di rumah itu hanya Mang Udin satu-satunya orang yang bisa mengendarai motor bututnya dan setia mengantar Mbok Yam ke Pasar Flamboyan setiap subuh untuk membeli sayur. Cucunya masih usia SD, dan Nong tentu tidak bisa mengendarai motor.

Sedang putra bungsu Mbok Yam, Jarkasi, telah lama merantau ke Malaysia sebagai TKI ilegal. Sejak kematian suaminya setahun silam tanpa meninggalkan warisan apapun, kecuali rumah semi permanen di Beting, Jarkasih yang hanya lulusan SMP itu nekat mengadu nasib di Malaysia demi membiayai keluarga. Ia bekerja di perkebunan sawit milik seorang cukong.

Setahun sekali, setiap akhir Ramadan, putra bungsunya pulang ke Beting membawa uang dan makanan dari Malaysia. Tahun lalu, Jarkasi pulang membawa kabar gembira.
“Aku ingin menikah dengan gadis Malaysia, Mak.”
“Gadis Malaysia atau TKW?”, tanya Mbok Yam.
“Gadis asli Malaysia, Mak. Dia membuka kedai di dekat basecamp kami di Kuching.”
“Ya, sudah. Kalau memang sama-sama cinta, menikah saja. Daripada zina.”
“Tapi, Mak..”
“Kenapa?”
“Aku malu,” ujar Jarkasi sambil menunduk.

Mbok Yam sudah paham maksud anaknya tanpa perlu dijelaskan. Jarkasi pasti malu jika calon besannya tahu di mana ia tinggal. Mbok Yam juga tak mengerti, kenapa kampung yang dulu terkenal sebagai kampong religius dan menjadi pusat dakwah para habaib di Pontianak ini, kini telah dikotori tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab. Entah darimana mereka dating, Mbok Yam tak mengerti.
****
Subuh itu Mbok Yam dibonceng tetangga menuju Pasar Flamboyan. Ia berjalan pelan melewati para pedagang. Kini tubuhnya renta dan sudah tidak kuat lagi menapaki beceknya Flamboyan. Di tambah mata yang rabun, apalagi di subuh hari yang masih gelap.

Usai dari Flamboyan, Mbok Yam segera menuju Pasar Senggol. Bagi perempuan seperti dirinya, Pasar Senggol bukan sebagai tempat transaksi belaka. Tapi pasar tua itu juga menjadi saksi bisu pertemuan Mbok Yam pertama kali dengan Bang Amat, almarhum suaminya yang merupakan pengemudi sepit yang selalu parkir di bawah gertak Pasar Senggol.

Kini Pasar Senggol telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidup Mbok Yam, dengan segala peristiwa yang telah ia alami. Mbok Yam tersenyum menatap pasar itu. Di sanalah ia siap menggelar hidupnya. Beberapa sepit mulai melaju yang membuat gertak Pasar Senggol bergetar. Para pedagang dan pembeli mulai berdatangan ke Pasar Senggol.

Transaksi bisnis mulai berlangsung. Mbok Yam dengan senyum terbaiknya setia menyapa para pembeli. Senyum yang membantunya  menghapus duka di hatinya. Senyum yang selama ini telah menguatkannya untuk mengarungi kerasnya hidup.

Pontianak, 18 Oktober 2015
(Telah dimuat dalam antologi cerpen 'Langit Bumi Arwana' tahun 2015





No comments:

Powered by Blogger.