Header Ads

CERPEN : SANG PROFESOR

Sang  Profesor*)
Vivi Al-Hinduan
*)Telah dimuat di Majalah Noor Edisi November 2010


Hari Sabtu ini berbeda dengan sabtu-sabtu sebelumnya. Hari ini suasana Universitas Tanah Air sangat meriah. UTA, demikian masyarakat meyebut nama universitas negeri favorit di Pontianak itu, akan mengadakan acara wisuda. Sekitar  1.500 wisudawan beserta ribuan orangtua dan kerabat mereka telah memenuhi auditorium  lantai  1 dan 2 sejak pagi. Bahkan beberapa kerabat mereka yang tidak kebagian tempat di dalam auditorium duduk diluar, menyaksikan acara dari dua buah layar proyektor besar.
Wisuda kali ini juga berbeda dari wisuda-wisuda sebelumnya. Tepat sebulan lalu, Prof. Naya Syailendra dilantik menjadi rektor UTA. Wanita yang berusia 45 tahun itu merupakan rektor sekaligus guru besar wanita pertama dan termuda dalam sejarah UTA.  Bahkan atas prestasinya itu, Prof. Syailendra mendapat penghargaan dari MURI.


Sebelum acara puncak berupa prosesi wisuda, sang rektor dipersilahkan naik ke podium untuk memberi kata sambutan,
“ Adik-adik sekalian, sebentar lagi kalian akan berganti status dari mahasiswa menjadi sarjana. Dan dalam beberapa detik kemudian, sebagian besar dari kalian akan berganti status lagi dari sarjana menjadi pengangguran. Dan saya takut, status terakhir itu agak lama kalian sandang.  Adik-adik sekalian, saya mewakili pihak universitas, memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada kalian dan orangtua kalian yang susah-payah menguliahkan kalian disini. Bahkan mereka ada yang sampai menjual sawah, tanah, bahkan berhutang di bank dan rentenir demi biaya kuliah kalian. Tapi apa yang telah kami berikan pada kalian? Selembar ijazah S1. Ya, hanya itu. Bukankah itu yang kalian inginkan?”


Sunyi merayapi ruangan. Mereka menunggu sang profesor melanjutkan pidatonya.
“ Hmm…tolong sampaikan pesan saya buat adik-adik kalian yang saat ini sedang duduk di bangku kelas 3 SMA. Jika ingin menjadi seorang sarjana teknik, pertanian, sastra, ekonomi, dan hukum, silahkan datang kemari. Kami akan memberimu selembar ijazah. Pajanglah ijazah itu diruang tamu kalian,bilang pada semua tetangga kalau anak Bapak dan Ibu telah lulus cumlaude dari UTA. Mmm, bukankah itu prestasi yang sangat membanggakan? Cumlaude dengan IPK 3,85. Tanpa peduli kalau nilai itu mereka peroleh dengan menyontek, menyogok dosen pengampu mata kuliah tersebut, atau belajar mati-matian menghapal diktat tebal berbahasa asing yang sama sekali tak berguna di kehidupan nyata mu kelak. Who cares? Siapa yang peduli dengan proses? Bukankah tujuan akhir kalian kuliah hanya demi selembar ijazah S1 ? apa ilmu yang didapat seorang sarjana pertanian yang lulus cumlaude? Kok saya lebih banyak melihat mereka di bank dibanding di sawah? Bahkan mungkin seorang mahasiswa ekonomi selama kuliah tidak pernah melihat wujud asli selembar saham, apalagi masuk ke bursa efek atau perusahaan pialang. Kalau begitu, apa yang bisa kita harapkan dari manusia-manusia teori itu? Nol besar! “
Kembali sunyi. Para guru besar dideretan depan saling berbisik. Sang Profesor kembali melanjutkan,


“ Saya salut melihat bisnis penulisan skripsi yang sangat marak dikampus kita. Skripsi yang mestinya harus kalian buat sendiri ternyata berisi pemikiran orang lain. Bahkan saya mendengar selentingan, ada beberapa dosen disini yang punya side job membuatkan skripsi mahasiswanya. Luar biasa! Siapa yang harus disalahkan? Universitas hanya akan memberimu selembar ijazah, Nak. Bukan ilmu. Kalau ingin ilmu tempatnya bukan disini, tapi diluar sana. Selamat berjuang!”


Sang Profesor turun dari podium dan berjalan menuju tempat duduknya. Auditorium sunyi senyap dan tegang, dalam ketegangan yang dapat memutuskan sehelai kawat. Tiba-tiba, dari deretan wisudawan paling belakang terdengar tepukan tangan yang terdengar lantang di ruangan besar itu. Lalu beberapa tepukan tangan terdengar di sisi kiri ruangan, bagian tengah barisan, dan lantai dua. Dan seperti kanker ganas, tepukan meriah menyebar dan terdengar  bagai gemuruh diseluruh auditorium, bahkan sampai diluar auditorium UTA. Sang Profesor menghentikan langkahnya. Sejenak pikirannya melayang ke masa silam. Beberapa wajah para Guru Besar memerah. Menahan marah atau malu, entahlah.
************


Beberapa wartawan media cetak dan televisi memenuhi ruangan rektorat kampus UTA. Hari itu adalah hari yang paling bersejarah bagi UTA. Seorang Guru Besar wanita yang baru berusia 45 tahun akan dilantik menjadi rektor. Prof. Dr. Ir. Naya Syailendra, M. Eng, lulusan summa cumlaude dari Jerman itu akan dilantik menjadi rektor sekaligus menerima penghargaan dari MURI sebagai rektor wanita termuda pertama di Indonesia. Seorang wartawan dari stasiun televisi nasional sedang melakukan wawancara ekslusif bersama sang rektor,

“ Prof. Syailendra, selamat atas pelantikan anda sebagai rektor sekaligus mendapat perhargaan dari MURI atas prestasi anda. Sangat menginspirasi generasi muda kita.”

“ Terima kasih.”
“ Bisa cerita sedikit tentang masa kecil anda?”

“ Masa kecilku sangat bahagia. Saya lahir di desa, anak pertama dari enam bersaudara yang semuanya perempuan. Ayah saya seorang lulusan sekolah teknik setingkat SMP. Beliau sangat mencintai kami dan selalu mendorong kami untuk meraih mimpi, seliar atau sesederhana apapun impian kami. Ayah sangat senang mengutak-atik vespanya dan barang-barang elektronik dirumah. Impiannya adalah menjadi seorang insinyur dan meraih gelar seperti yang saya sandang saat ini.”
“ dan ibu anda?”
“ Oh, ibu adalah anugerah terindah bagi kami. Beliau seorang wanita yang sangat lembut, penuh kasih terhadap anaknya. Saya sangat beruntung menjadi anaknya.”
“ Prof, setelah semua yang anda peroleh hingga saat ini, adakah impian anda yang belum terwujud?”
“ Mmm, sebenarnya semua yang saya peroleh saat ini adalah impian ayah saya yang terwujud melalui saya. Saya sebagai putri sulungnya sangat ia harapkan dapat mewujudkan impiannya, karena ia tidak mungkin mengharap orang lain untuk mewujudkan itu, selain putrinya sendiri.”
“ Lalu impian anda sendiri apa?”
“ Sederhana. Kalau saja waktu bisa kuputar kembali, saya tidak ingin sekolah setinggi ini. Saya ingin bertualang ke kutub utara bersama adikku yang nomor tiga, Natasya. Jujur, saya iri dengan Tasya yang berhasil mewujudkan mimpinya. Ia senang dengan aktivitas outdoor sejak kecil, dan hobinya adalah bertualang. Sekarang ia tinggal di Belanda dan menikah dengan pria warga Belanda. Bekerja di LSM yang peduli terhadap pelestarian lingkungan. Bahkan adik saya yang nomor empat, Nasywa pun berhasil mewujudkan mimpinya yang sederhana, menjadi ibu rumah tangga. So simple, right?”

“ Lalu kapan anda akan mewujudkan mimpi anda, Profesor?”
“ Entahlah. Yang pasti bukan saat ini.”
“ Oke, terima kasih Prof. Syailendra.”
“ Sama-sama.”

***********
Naya tersenyum miris melihat foto hitam putih yang dipajang di dinding kamarnya. Seorang pria setengah baya tersenyum memamerkan vespa antiknya yang telah di modifikasi. Diatas jok vespa, terdapat sebuah karton bertuliskan Prof. Dr. Ir. Nakula Syailendra. Tepat disampingnya, sertifikat dari MURI terbingkai indah dengan pigura berwarna emas. Ayah, aku sudah berhasil mewujudkan mimpimu, bahkan lebih dari yang kau bayangkan. Kau benar, menjadi sarjana itu lebih daripada sekedar mendapat selembar ijazah S1, dan aku sudah membuktikannya. Semoga kau tenang di alam sana…

Naya menghempaskan tubuh ke sofa. Sejenak pikirannya melayang ke masa silam, kelas 1 SMP di sebuah pedesaan di Kalbar…

“ Anak-anak, siapa yang bisa menyebutkan lima fungsi lain buku tulis selain untuk ditulisi?” Tanya Bu Guru.

“ Untuk menyembunyikan bakwan dari kantin, Bu.” Sahut Agus yang disambut tawa riuh seisi kelas. Bu Guru tersenyum.

“ Ada lagi yang bisa menyebutkan? Rino Saputra?”

Rino, pemuda kurus berkacamata tebal tersentak.

“ Untuk menulis puisi cinta, Bu.”

Seisi kelas tertawa.

“ Itu sama juga artinya ditulisi, Rino. Ngomong-ngomong, buat siapa puisi itu kamu tulis, Naya Syailendra?”

Naya yang tengah asyik membaca komik tersentak kaget. Semua mata tertuju padanya. Dengan tergugup Naya menjawab,

“ Selain untuk ditulisi, buku juga berguna untuk menepuk lalat, dipakai untuk menyembunyikan foto dan surat cinta, kalau digulung bisa dijadikan teropong, kalau sudah bosan tinggal dibakar, dan juga untuk menampar orang…”


Plaak! Plaak!

Tamparan keras mendarat di kedua pipinya. Naya merasa kepalanya pusing. Setetes
darah kental mengalir dari bibirnya.

“ Anak bodoh! Sudah berapa kali aku bilang, kau harus selalu dapat nilai sepuluh setiap pelajaran. Apa kau tau, berapa banyak yang sudah kami korbankan untuk sekolahmu?”

Naya terdiam. Lelaki dihadapannya menghisap rokok dan kembali meneguk sebotol arak.

“ Nay, kemarin Mr. Lim datang kesini membawa Nola ke Singapura.”

“ Apa? Maksud Ibu, Nola diju..”

“ Ya. Kita terpaksa harus menjual adikmu demi sekolahmu, Nay. Apa kamu pernah memikirkan itu?”

Naya lemas. Setelah Nola, siapa lagi yang harus dikorbankan?demi aku?

Naya tersadar dari lamunannya. Ia menuju ke dapur dan mengambil obat tidur dari dalam lemari es. Ach! Kenapa bayangan itu selalu menghantuiku? Naya duduk dikursi makan, kepalanya terasa berat. Bayangan masa kecil berkelebat di ingatannya.

“ Dasar kalian anak perempuan tidak berguna! Tidak ada satupun yang bisa diharapkan menjadi penerusku.” Nakula meneguk kembali araknya.

Bayangan itu berganti..

“ Nay,sini! Aku ingin menunjukkan rumah pohon yang kubuat dibelakang sana. Ayo, ikut aku!” Natasya menarik tangan Naya.

“ Ssst,,pelan-pelan. Kalau Ibu tahu kita tidak tidur siang, dia akan memukul kita lagi dengan rotan itu.”

Naya seperti mendengar suara dari masa lalunya…

“ Suatu saat nanti aku akan lari dari sini. Pergi jauh, jauuuh sekali…Kau mau ikut aku kan, Nay?” bisik Nola suatu malam ketika mereka berdua tidak diberi makan malam itu dan dikunci di WC.

Tidaaaak..! cukup! Aku sudah tidak tahan lagi.

Tapi bayangan itu kembali menghantuinya.

“ Ibu, apa yang Ibu lakukan? Apa salah mereka?”

“ Aku hanya mengajari mereka disiplin. Mereka tidak memberi Nanda susu, malah asyik bermain petak umpat. Dasar anak nakal.” Sahut sang ibu sambil menyalakan rokok nya.

“ Tapi Bu, mereka masih terlalu kecil..”

“ Diam kau! Jangan coba-coba mengajariku.”

Naya melihat kondisi Nasywa dan Nuna, adik keempat dan kelima yang berumur 6 dan5 tahun. Mereka menangis. Bilur-bilur biru lebam menghiasi kedua paha mungil mereka.

Naya menangis tersedu. Apakah hanya karena lupa memberi Nanda susu, mereka harus menerima semua ini?kenapa aku harus terlahir dari orangtua seperti mereka? Kenapa Tuhan begitu tak adil pada kami? Apa salah kami?

“ Naya, kamu anak yang cerdas. Ibu yakin suatu saat nanti kamu pasti berhasil meraih semua cita-citamu, Nak. Jangan pernah menyesali keadaanmu. Kita memang tak bisa menentukan arah angin, tapi kita dapat merubah layar kita, kan?” ujar Bu Guru sambil mengusap lembut rambut Naya. Naya melihat rapornya. Ia kembali mendapat juara pertama pada kenaikan kelas kali ini.

“ Naya, selamat ya. Kamu dapat beasiswa ke ITB.”

“ Selamat ya, Nay, jadi mahasiswa PMDK..”

Teman-teman SMA menyalaminya. Naya hanya tersenyum tipis.

Dimalam sebelum keberangkatannya ke Bandung, semua keluarga mengerumuninya. Sambil terbatuk, Nakula berpesan pada Naya,

“ Kuliah lah yang benar. Aku yakin, kau akan menjadi seorang insinyur. Dan kuharap, kau selalu mengingat ini. Menjadi seorang sarjana itu lebih dari sekedar mendapat selembar ijazah S1. kau mengerti?”

Naya mengangguk.

“ Nay, jangan lupa. Jelajahilah dunia sepuasnya. Ceritakan padaku segala keindahan alam yang kau lihat disana. Kirimi aku surat, ya.” Ujar Natasya.

Malam itu, Naya duduk diranjangnya. Airmata mengalir di pipinya.
“ Nay, jangan nangis. Insya Allah aku baik-baik saja disana.”

Minggu depan Natasya akan berangkat ke Malaysia, bekerja sebagai TKW. Dan entah kapan bisa kembali ke Indonesia.
“ Nay, aku mungkin tidak akan pernah meraih mimpiku berkeliling dunia. Tapi aku tidak sedih, karena kuyakin kakak ku yang cerdas ini pasti akan membantuku mewujudkannya. Benar kan, Nay?”

Naya tak kuasa menahan tangisnya. Ia memeluk adiknya erat-erat dan tak ingin melepaskannya.

Malam itu, sebelum memejamkan mata, Naya bersumpah bahwa ia pasti akan membuktikan pada ayahnya, bahwa ia mampu meraih lebih dari apa yang di impikan Nakula selama ini. Dan Naya pun terlelap.



No comments:

Powered by Blogger.